Site icon Jernih.co

Cerita Pendek : Situ Hiang

Di lubang itu, bermukim Si Rawing, ikan mas sebesar anak kerbau, yang suka muncul sewaktu-waktu, dan terihat oleh orang yang “kawenehan”. Ikan hantu berwarna hitam legam. Menyeramkan.

Oleh   :  Usép Romli H.M.

Delapan hektare, kira-kira luas situ itu. Dinamakan  Situ Hiang. Terbilang luas juga. Penampungan air mata air yang keluar dari puncak-puncak dan gigir bukit di sekelilingnya. Terletak agak tinggi daripada pelataran kampung, sehingga air bisa disalurkan melalui pipa bambu sebesar tangan orang dewasa, ke bak masjid.

Dan setelah musim pipa pralon, diganti dengan pipa pralon sebesar betis. Dari bak masjid, disedot lagi ke dekat rumah masing-masing, dengan selang karet. Yang tak mampu, terpaksa mengambil air harus langsung ke bak masjid.

Air dari situ, masuk ke selokan agak besar. Disalurkan ke pesawahan di pekampungan Cangkring, Cicukrih, Sukamulya, dan Baros. Subur-subur. Mampu ditanami dua tiga kali dalam setahun. Berkah air Situ Hiang.

“Banyak yang sayang ke  Situ Hiang itu. Karena itu, airnya tak pernah surut, biar pun kemarau panjang,“kata  Abah Suta, yang sering meluangkan waktu membersihkan pinggiran situ. Membabat rumput-rumput yang bergerumbul di situ. Menarik kiambang dari air situ ke darat. situ. “Hanya sebegini  bukti rasa sayang  Abah ke Situ Hiang.”

Padahal, untuk membersihkan situ, memerlukan sehari suntuk. Artinya, Abah Suta harus meniggalkan kerja kuli serabutan. Kuli mencangkul atau memikul barang ke pasar.  Tapi suka ada  yang ikhlas mengirim penganan dan minuman teh atau kopi, dari satu dua orang yang menghargai pengorbanan Abah Suta.

Aki Eru lain lagi. Setiap ada pedagang bibit ikan, jika kebetulan punya uang, ia suka membeli seratus-dua ratus ekor. Sebagian ditebarkan ke kolam di belakang ru-mahnya. Sebagian lagi ditebar di situ.

“Kan kolam Aki diairi dari Situ Hiang. Sebagai tanda balas budi saja,”kata dia, setelah melepas seember kecil bibit ikan nilem sebesar dua jari.

Sedangkan  Mang Jarimi dan istrinya, Bi Konah, rajin menanam pohon kayu di kebun, tak jauh dari situ, agak ke atas. Jenis-jenis kayu hutan terpilih. Seperti saninten, dan jamuju, kiriman dari pamannya karyawan Perhutani. Belum lagi kayu kampung, semacam juar, jeungjing, mahoni, surén, albasia, dan lain-lain. Kebun Mang Jarimi hijau teduh oleh pepohonan. Tiap padi dan sore, riuh oleh aneka macam suara burung.

Pokoknya, banyak yang bela ke  Situ Hiang. Pohon kiara dan bungur, yang menjadi sumber mata air, dibiarkan. Tak ada yang iseng memotong dahannya, walaupun sudah melebar ke sana ke mari. Apalagi menebang pohonnya.

“Terlarang,”kata Eyang Asum, sesepuh desa. Satu kata “terlarang” begitu ampuh. Dituruti semua orang, tua muda. Menjadi bahan saling ingat mengatkan jika ada yang mencoba membalak kiara dan bungur di sumber mata air Situ Hiang.

Kayu-kayu di kebun Mang Jarimi dan  Bi Onah juga, serta seluruh lingkungan perbukitan yang mengeliling Situ Hiang, ikut terlindungi. Tak ada yang berani melanggar tuah Eyang Asum.  

Anak-anak menunjukkan kecintaan kepada Situ Hiang, tatkala bergembira berenang di Situ Hiang. Perang air, adu kuat menyelam, di sekitar pintu pembuangan air situ. Cuma dipinggirannya saja. Tak ada yang berani merambah ke tengah. Sebab Situ Hiang amat dalam. Diukur dengan sebatang bambu panjang masih tenggelam.

Dan konon di bagian tengahnya ada pusaran berlubang. Membuat air suka berputar. Suka menyedot siapa saja yang berani lewat ke sana. Di lubang itu, bermukim Si Rawing, ikan mas sebesar anak kerbau, yang suka muncul sewaktu-waktu, dan terihat oleh orang yang “kawenehan“. Ikan hantu berwarna hitam legam. Menyeramkan.

Jika menatap hamparan air Situ Hiang, perasaan suka campur aduk. Apalagi jika sedang terang purnama. Bayangan bulan terpampang di permukaan situ. Serasa dekat. Serasa dapat dijangkau. Orang-orang dewasa, laki perempuan, suka jalan-jalan di tepi situ. Menatap bayangan bulan. Mungkin sambil mengikrarkan janji setia. Konon, yang berjodoh setelah memadu kasih di Situ Hiang, akan awet membangun rumah tangga hingga usia tua. Hingga salah seorang meninggal dunia.

Keadaan Situ Hiang mulai terganggu, setelah pemerintah desa mendirikan  badan usaha milik desa (bumdés). Bidang usahanya menggali tanah, cadas dan batu. Darimana lagi kalau bukan dari bukit-bukit sekeliling situ. Tak ada yang berani mencegah.Bahkan rata-rata mendukung, mengingat keuntungan yang akan diper-oleh. Kas desa penuh. Biaya untuk membangun sarana dan prasarana penting, akan tersedia. Tak ada yang membayangkan, penggerusan bukit-bukit akan mempengaruhi debit air situ. Semua terpesona euphoria.

Orang-orang yang meyayangi situ seperti  Abah Suta, Aki Eru, Mang Jarimi dan Bi Onah serta  Éyang Asum, semua sudah tiada. Anak cucunya tak ada yang mene-ruskan jejak mereka. Seolah-olah  tak punya pertalian batin dengan Situ Hiang, sejak masa kanak-kanak dan remaja.

Anak-anak Mang Jarimi, terutama  Obay yang sulung, bersemangat sekali menebangi kayu-kayu tanaman ayah dan ibunya. Meraup untung sangat besar dari penjualan kayu-kayu itu. Dijadikan modal membuat rumah baru gaya  minimalis. Tanah yang sudah gundul, disewakan kepada bumdes, yang segera mendatangkan traktor dan bekhu untuk menguras tanah, cadas dan batunya.

Begitu pula Juhana, cucu Aki Eru. Dia yang dulu paling juara menyelam di Situ Hiang, menjadi bandar batu, cadas dan tanah. Orang kepercayaan bumdes. Tiap hari menjelajah bukit-buki yang sudah hampir rata dengan pelataran kampung, serta mengincar bukit-bukit lain yang masih utuh. Tampakna dia berhasil meraup untung. Terbukti dari mobil mewah Pajéro keluaran terbaru miliknya.

Anak cucu  Eyang Asum, Abah Suta dan lainnya, yang dulu menyayangi situ, entah bagaimana. Mungkin sama dengan Obay dan Juhana, yang mencari keuntungan dari pengrusakan alam lingkungan sekeliling situ.

Tak ada yang menyadari, atau pura-pura tak memperhatikan dan acuh tak acuh saja, tatkala air situ mulai susut. Pipa pralon ke masjid yang semula sebesar betis, , diganti dengan pipa sebesar ibu jari kaki. Sumber mata air di bukit-bukit sudah lenyap. Pohon  bungur dan di hulu situ, pelan-pelan mati meranggas.

Permukaan situ penuh ganggang dan rumpun walini. Semakin mengeringkan air. Sawah-sawah subur di Cangkring, Cicukrih, Sukamulya dan Baros, kini menjadi tadah hujan. Selokan yang mengalirkan dari Situ Hiang, mampet oleh longsoran di sana sini.

“Keuntungan bumdes masih dicari-cari, kerugian rakyat sudah nyata di depan mata,”kata Pak Sopyan, tokoh mayarakat Cangkring yang berkali-kali mengeluhkan kondisi sawah di kampungnya rusak setelah penugaran bukit marak. Tak pernah ada yang menanggapi. Bahkan ia dianggap opisisi oleh para aparat desa.

Gambaran Situ Hiang yang asri, tempat bayangan purnama penuh berlabuh, tak terbayangkan lagi. Bahkan bagunan mewah minimalis milik  Obay, serasa menorehkan luka. Dan Pajero milik Juhana, yang sering dicuci oleh sisa-sisa air Situ Hiang, menambah tikaman duka di dada. [  ]

Exit mobile version