Site icon Jernih.co

Cerita Pendek: Tanah Terakhir

Sebelum wafat, menderita pikun amat parah. Sering turun dari rumah. Telanjang bulat. Masuk ke kolong rumah. Mencari undur-undur untuk diadu dengan semut kararangge.

Oleh  : Usep Romli HM

“Ketika proklamasi kemerdekaan, aku sudah usia sepuluh tahun. Sudah ikut mengerek bendera merah putih di alun-alun kecamatan. Kalian tahu apa!”

Demikian ucapan Ujeb, tatkala merasa kesal. Jangankan dulu, ketika badannya sehat segar kuat, disegani orang banyak. Sekarang, setelah lumpuh,  masih juga keras begitu.

Empat tahun terbaring tanpa daya. Namun matanya masih mampu melihat apa-apa dari tempatnya terbaring. Telinganya juga masih mampu mendengar segala omongan orang. Begitu pula otaknya masih jernih berpikir.

Kawan-kawan sebayanya sudah meninggal semua. Terakhir Haji Nur, lima bulan lalu. Sebelum wafat, menderita pikun amat parah. Sering turun dari rumah. Telanjang bulat. Masuk ke kolong rumah. Mencari undur-undur untuk diadu dengan semut kararangge.

Ketika kewafatan Haji Nur diumumkan dari sepiker masjid.  Ujeb tertegun. Air matanya meleleh. Sambil mengucapkan doa “Allohumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa fuanhu”, ia terisak. Kini tak ada lagi kawan sebayanya di kampung ini. Haji Nur sahabat kentalnya sejak kecil.

“Tak ada lagi kawan sependirian dalam membela kehidupan petani, “desis Ujeb, membayangkan kehidupan sebagai petani di kampung. Hingga tahun 1960, hidup sejahtera. Subur makmur. Tak permah kehabisan bekal pangan dari panen ke panen.

Tahun 1963, mulai ada perubahan. Semenjak ada orang-orang mengaku petani, menghasut orang-orang kampung masuk partai politik. Ujeb dan Haji Nur menjadi bulan-bulanan, karena dianggap tuan tanah. Bagian dari “setan desa” yang harus dibasmi demi kepentingan sama rata sama rasa.

“Aku disebut tuan tanah?”Ujeb melotot ketika mendapat laporan dari Ocim, salah seorang penggarapnya. “Sawah cuma sehektar kurang, lading sehektar lebih sedikit. Semua digarapkan kepada kalian dan kawan-kawan. Siapa tuh yang ngomong?”

Ketika Darmadi, orang yang ngaku-ngaku petani, sedang pidato di halaman balai desa, Ujeb datang. Menarik keras orang itu dari mimbar.

“Aku ini pengerek bendera merah putih waktu proklamasi! Kau tahu apa menuduhku sebagai tuan tanah! Tahu Kau, aku ikut angkat senjata melawan NICA? Melawan penjajah yang akan merebut kembali kemerdekaan?”

Darmadi yang baru berusia 20 tahunan, tak berkutik. Pidato memang jago. Tapi melawan veteran pejuang kemerdekaan yang sigap ini, ia tak mampu melawan.

Untung segera meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965. Darmadi dan kawan-kawan yang tergabung dalam Barisan Tani Indonesia, ditangkap. Ditahan di Kodim, kemudian di penjara dan dibuang ke Pulau Buru.

Namun kesusahan petani terus berlanjut. Program intensifikasi pertanian yang dilakukan pemerintah Orde Baru membuat kerepotan petani tradisional. Ujeb marah-marah terus. Menolak perubahan sistem.

“Tak waras tuh pemerintah!” dengus Ujeb.

“Ssst,Kang, hati-hati bicara,“ Dulah, adiknya, memperingatkan. “Bagaimana nanti kalau ada yang melaporkan ke kecamatan dan koramil.”

“Lalu apa kalau dilaporkan?”

“Ini pogram pemerintah. Yang membantah dianggap PKI.”

 “Uwah!”Ujeb meludah.

“Zaman PKI, yang beda pendapat dengan pemerintah dianggap subversif, antek-antek nekolim….”

Memang kemudian Ujeb dipanggil ke kecamatan. Menghadap Camat didampingi Komandan Koramil. Diberi keterangan tentang program pemerintah menyelenggarakan intensifikasi pertanian untuk memajukan petani. Tanaman padi yang selama ini digunakan, akan diganti dengan padi PB5 dan PB8 yang cepat tumbuh dan menghasilkan lebih banyak.

“Pak Camat pernah menanam padi?”tanya Ujeb. Matanya menatap tajam. Menghunjam ke mata Camat.

“Tidak. Dari dulu kerja saya sekolah saja,“jawab Camat, agak gelisah.

“Jangan ngomong soal yang tak pernah dikerjakan kalau begitu. Tak akan beres.”

“Saya ini bersama Pak Danramil, Pa Dansek, aparat pemerintah yang harus taat kepada atasan.”

“Saya orang tua!” Ujeb berkacak pinggang. “17 Agustus 1945 ikut menaikkan bendera merah putih di alun-akun kecamatan ini. Saya tak akan ikut-ikutan menanam padi baru. Besok akan tetap menanam padi lama.”

Namun hanya Ujeb yang berani menentang. Haji Nur yang semula keras, melemah. Ikut perintah. Menghentikan penanaman padi satu musim. Menunggu datangnya benih padi baru.

Ternyata penghentian menanam padi satu musim, membuat orang-orang kehabisan persediaan pangan. Gabah habis, beras tak ada . Terpaksa memakan singkong, umbi-umbian, jagung, yang juga sudah menipis. Bahkan ampas tapioka yang biasa digunakan makanan kuda, dimakan juga.

“Tega nian pemerintah menyengsarakan rakyat, hingga harus makan onggok,”Ujeb menggerutu. Ia sekeluarga masih bisa makan nasi. Hanya entah bagiamana kelak jika lumbung sudah benar-benar kosong.

Sejak itu, Ujeb merasa bertani tidak bebas lagi. Banyak aturan, pupuk harus menggunakan buatan pabrik. Padahal sebelumnya, cukup menggunakan kompos dan limbah daun-daunan. Racun hama dan penyakit juga harus buatan pabrik pula.

Musim panen tiba. Sepi dan menyedihkan melihat hasil perolehan. Setelah dihitung-hitung modal, bekas membeli benih, pupuk dan obat-obatan, muncul kerugian. Tak sedikit yang tinggal hutang.

Sengaja Ujen menemui Camat. Menunjukkan hasil panen yang bukan hanya rugi, tapi modal juga tak tertutupi.

“Ini baru sekali panen, Pak Camat. Sudah timbul hutang. Panen-panen selanjutnya, pasti hutang membengkak. Tak pernah dulu kami alami begini. Jangankan menyimpan persediaan pangan, beres panen semua habis….”suara Ujeb gemetar. Marah bercampur gundah.

Camat tertunduk lesu. Menjawab dengan suara amat pelan:“Saya cuma menjalankan perintah atasan.”

Ujeb sangat sedih mendengar kabar, Haji Nur membongkar lumbungnya. Bahan-bahannya dijual untuk modal bertani musim depan. Membeli benih, pupuk dan obat-obatan.

“Kan kita sekarang sudah tak bisa membut benih sendiri.  Padi sekarang tak dapat didaur-ulang menjadi benih baru. Jadi harus beli lagi,“kata Ujeb kepada orang-orang yang mengomentari kelakuan Haji Nur.

Ujeb semakin tambah sedih, mendengar kabar banyak sawah-sawah dijual untuk pabrik. Entah berapa ratus hektar. Alasan orang-orang yang menjual sawahnya, karena bertani tak lagi menguntungkan seperti dulu. Lebih baik dijdikan uang. Bisa diputar untuk modal dagang dan semacamnya.

“Biarlah kita nanti makan semen dan bata pabrik!” Ujeb marah-marah tak karuan.

Ujeb tak berdaya, ketika sawahnya yang hampir satu hektar, setengahnya terpaksa dijual lewat makelar. Sebab akan terhimpit bangunan pabrik. Makelarnya adalah Camat dan Lurah.

Dan lebih tak berdaya, ketika anak-anak berterus-terang tak akan bertani lagi. Selain sisa lahan tinggal sedikit, sedangkan biaya mengolahnya tetap besar.

“Hilang sudah bukti petani sugih mukti itu,“ Ujeb menggaruk kepala. Sambil membanding-banding, dulu dari hasil bertani mampu membangun rumah, makan minum tak kurang, tak punya utang, menabung hingga cukup untuk biaya berhaji ke Mekkah.  Bibit, pembasmi hama, pupuk, bisa bikin sendiri.

Dan ia semakin tak berdaya ketika anak-anaknya mendesak, agar sisa tanah sawah dijual lagi. Tinggal sepetak tersisa. Lahan rumah. Jika besok lusa dicabut nyawa oleh yang Maha Kuasa, siapa tahu dijual oleh para ahli warisnya.

Apalagi sudah terkurung bangunan-bangunan lain, yang membuat harga tanah semakin tinggi. Ada mal. Ada terminal, dan lain-lain.

 “Nyai! Nyai!” Ujeb memanggil istrinya. Seorang wanita paruh baya, yang ia nikahi sepuluh tahun lampau, setelah istrinya wafat, datang mendekat.

“Ada apa, Abah?”              

“Panggil anak-anak yang dekat. Abah ingin jalan-jalan ke luar.”

Setelah anak-anak kumpul semua, Ujeb mengatakan ingin keliling ke bekas tanah miliknya dulu. Seorang putranya yang bertubuh tinggi besar akan menyiapkan gotongan.

“Engkau Teten?” tanya Ujeb pada anaknya itu.

“Ya Abah.”

“Pakai seragam biru-biru begitu. Kerja apa?”

“Satpam, Abah. Di pabrik yang didirikan di atas sawah kita dulu.”

“Sukurlah,”Ujeb menahan haru. “Jika sawah itu tidak jadi pabrik, kalian mungkin tak akan jadi kuli pabrik. Kalian akan tetap menjadi petani sejati seperti Abah.”

Gotongan datang. Ujeb ditidurkan di situ. Lalu dinaikkan ke mobil bak terbuka. Nyewa dari kawan Teten. Dibawa berkeliling ke tempat-tempat yang dulu merupakan hamparan pesawahan subur.

Sekarang sudah habis oleh pabrik, toko, restoran dan bangunan-bangunan lain.

Lewat jembatan Sungai Cipela tercium bau busuk.

“Ini Sungai Cipela? Sekarang menjadi tempat pembuangan bangkai-bangkai,ya?” tanya Ujeb.

“Iya, Bah. Sudah lama. Sekarang tempat membuang segala macam. Sampah, limbah pabrik. Sering diprotes warga, karena airnya tak bisa dipakai lagi. Tapi tetap saja ….”

Adik Teten berbisik: “Sebenarnya tiap pabrik diwajibkan punya alat pengolah limbah. Tapi biaya pengolahan mahal. Ratusan juta per tahun. Maka para pemilik pabrik cari jalan mudah. Keluarkan saja sepuluh dua puluh juta agar bebas membuang limbah ke sungai tanpa dihukum. Itu disebut “uang keamanan”.

“Haram jadah!” Ujeb setengah berteriak mendengar bisikan itu,

Ia ingat Sungai Cipela. Ketika ia masih anak-anak, sering ikut menunggui padi menguning. Ayahnya sengaja membuat saung ranggon.  Di tengah sawah dipasangi kokoprak yang diberi tali membentang ke saung ranggon. Kalau datang rombongan burung pemamakan padi seperti pipit, gelatik, manyar dan bondol, tali kokoprak segera ditarik. Digoyang-goyang. Bunyi kokoprak mengejutkan burung-burung tersebut.

 “Jahat sekali burung –burung itu. Mengapa tak di bunuh saja, Ki ?”kata Ujeb kepada kakeknya.

“Hus, jangan. Cukup dihalau saja. Biarlah mereka memakan setangkai dua tangkai padi. Tak akan menghabiskan satu hamparan. Mereka juga berjasa memakan ulat dan serangga hama padi,”jawab kakeknya, yang baru mengangkat bubu dari selokan, yang mengalir dari Sungai Cipela. Isi bubu dikeluarkan.  Cukup banyak ikan bermacam-macam. Lele, paray, udang, mujair.

Ikan-ikan itu dibersihkan oleh neneknya. Kemudian diberi bumbu. Garam, bawang , kunir. Dibungkus dengan daun pisang. Lalu  dimasukkan ke dalam debu  panas pada pembakaran kulit gabah di bawah saung ranggon. Nenek juga menanak nasi liwet pada tungku tanah yang apinya menyala-nyala.

Setelah nasi liwet dan pepes ikan masak, semua yang ada sekitar saung ranggon, makan bersama-sama. Nasi liwet panas, pepes ikan sedap, sambal terasi dan aneka macam lalab sawah, mengundang selera. Perut Ujeb sesak padat. Ia melonjor di sudut saung. Mengantuk. Lalu tertidur lelap, dibelai angin semilir,  diiringi suara kokprak dan dengung baling-baling bambu.

“Kedaan semacam ini, harus dijaga dan dipelihara jangan sampai rusak atau hilang. Agar kita tak sulit mendapat makanan,”Kakek Ujeb berpetuah.

Sepuluh-dua puluh tahun, petuah kakeknya, masih dapat dipertahankan oleh Ujeb dan kawan-kawan petaninya. Tapi sekarang tidak lagi. Tata-cara bertani sudah berubah. Penghargaan kepada professi bertani semakin merosot. Banyak sawah subur beralih guna. Banyak kotoran merusak alam lingkungan. Sungai Cipela sudah membangkai. Tak ada lagi ikan di sana.

Teten menunjukkan bekas-bekas tanah yang dulu menjadi garapan para petani. Menjadi andalan hidup mereka.

 “Ya sudahlah. Aku sudah tahu semua. Ayo pulang,“ Ujeb berteriak. Namun dalam batinnya bertanya, masih tersisakah tanah untuk persemayaman jenazahnya kelak ? Tanah terakhir yang didambakan.  [  ]               

Exit mobile version