Mungkin dengan ending itu pula, Hardy ingin memberikan gula-gula kepada pembaca yang ia yakini juga sangat ‘Indonesia’. Hardy tahu, pembaca akan menyembunyikan soraknya dalam hati menyaksikan tokoh sejahat Tehuh mati dan masuk neraka, sementara si baik Husin tertawa lebar menggenjot pedal sepeda bututnya ke Sorga.
JERNIH– Belum genap sebulan lalu, seorang cerpenis terkemuka kita, Sori Siregar, meninggal dunia. Kita semua, terutama generasi yang dibesarkan bersama media massa cetak, tentu kehilangan. Kehilangan kita akan Bang Sori, juga Bang Hamsad Rangkuti yang telah pergi jauh sebelumnya, seakan turut menandai cerita pendek tak lagi menjadi ciri dari koran-koran edisi Minggu Tanah Air kita. Sebab bahkan koran cetak pun kini makin langka.
Salah satu yang menandai cerpen-cerpen alm Bang Sori Siregar adalah tema-tema sederhana yang selalu diusungnya. Sederhana, dekat dengan keseharian kita, namun selalu terasa ‘bertenaga’ manakala Bang Sori—antara lain—yang mengangkatnya.
Sependek ingatan saya, rasanya tak pernah ada tahun-tahun cerpen Bang Sori alpa dari Kompas Minggu, terutama. Meski memang tak selalu cerpennya terpilih di antara ‘Cerpen Pilihan Kompas’ tahun itu. Dalam keterbatasan pustaka yang ada di lemari buku saya, cerpen-cerpen Bang Sori yang tergolong crème dela crème—karena setelah lolos mengisi Kompas Minggu, terpilih lagi untuk cerpen terbaik tahun itu—adalah ‘Ramalan Para Kacung’ (terpilih dalam ‘Cerpen Pilihan Kompas 1970-1980’ dengan editor Seno Gumira Ajidarma), ‘Krueng Semantoh’ (dalam ‘Cerpen Pilihan Kompas 2001’ yang dieditori Kenedi Nurhan) dan ‘Foto’ (dalam ‘Cerpen Pilihan Kompas 2009’ dengan editor Ninuk Mariana Pambudy). Saya yakin jumlah sebenarnya tentu lebih banyak dari yang bisa ditelusuri dalam keterbatasan saya itu.
**
Cerpen Hardy Hermawan, ‘Kayuh Kemenangan’, menurut saya juga beranjak dari tema yang sederhana itu. Apalagi tema yang terkait erat dengan kondisi saat ini, manakala pandemi Covid-19 bukan justru mereda, bahkan menggila, membuat cerpen ini terasa sangat relevan dan dekat dengan keseharian kita.
Kekuatan Hardy yang lama bekerja sebagai wartawan majalah berita, terlihat dari kecekatannya bercerita, bernarasi. Sementara, laiknya para cerpenis yang wartawan, dialog memang kurang dibuat mengemuka. Tetapi tentu itu bukan kelemahan, apalagi bila kita mengingat kredo bahwa seorang penulis yang baik, sejatinya adalah seorang story teller yang mumpuni dan andal.
Ada banyak cara mengantarkan cerita. Ada yang membiarkan pembaca mengambil runtutan cerita dari kesinambungan dialog yang seolah tak putus-putusnya hingga cerpen berakhir. Kita barangkali akan menemukan itu pada (sebagian) cerpen Putu Wijaya.
Ada pula yang justru miskin dialog, dan umumnya seperti itu cerpen-cerpen para wartawan. Hal yang wajar, apalagi mengingat Hardy adalah wartawan angkatan ‘TEMPO terbit kembali’. Angkatan wartawan Majalah TEMPO yang langsung dimentori para ‘empu’ media massa terkemuka itu, antara lain langsung oleh Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Yusril Jalinus, Syu’bah Asa, dan sebagainya. Kredo di TEMPO meniscayakan kuotasi atawa pengutipan yang efisien, tidak bertele-tele. Dan itu terlihat jelas dalam dialog-dialog di cerpen Hardy.
Hal lain yang mendekatkan cerpen ini kepada gaya TEMPO adalah endingnya yang cukup menghentak, mengejutkan. Jalinan cerita yang dirajut seolah memaksa pembaca untuk memprakirakan bahwa pengarang akan mengakhiri cerita pada bagaimana perhelatan besar bersepeda itu akan berakhir. Hanya ada dua ujung, tentu. Sukses, dengan mungkin kejadian apa yang menegaskan kesuksesan itu. Atau gagal, dengan kejadian yang dengan jelas akan menyimpulkan kegagalan kompetisi yang diadakan tokoh Teguh tersebut.
Tetapi pengarang justru mengakhirinya dengan lebih kreatif. Ia tak membiarkan kompetisi itu berakhir dengan adanya pemenang—yang akan membuat tokoh Teguh sukses atau gagal, sebagaimana yang ia kehendaki untuk jadi juara. Ia memotongnya di tengah-tengah, pada sesi lomba.
Dengan itu, menurut saya, Hardy justru mengingatkan pembaca pada hal sederhana, biasa, namun fundamental dalam kehidupan: benar-salah. Dan Hardy tak ingin beranjak dari kesederhanaan berpikir kita yang paling monumental, yang mungkin datang sebagai sisa-sisa pendidikan di awal usia atau justru pondasi awal berpikir setiap kita yang lahir di Indonesia: setiap kesalahan punya konsekuensi profetiknya sendiri. Surga, atau neraka.
Mungkin dengan ending itu pula, Hardy ingin memberikan gula-gula kepada pembaca yang ia yakini juga sangat ‘Indonesia’. Bagaimana pun tokoh Husin sudah banyak menderita: difitnah diam-diam, di-PHK, dan meski ia mensyukurinya, terpuruk dalam kemiskinan. Semua gara-gara tokoh Teguh. Hardy tahu, pembaca akan menyembunyikan soraknya dalam hati menyaksikan tokoh sejahat Tehuh mati dan masuk neraka, sementara si baik Husin tertawa lebar menggenjot pedal sepeda bututnya ke Sorga.
Kalau ada yang cukup menyadarkan saya pada ‘kekurangan’ cerpen ini, barangkali justru kita harus berdebat lama tentang definisi apa itu ‘cerpen’. Saya juga tak akan mempermasalahkannya, karena seingat pelajaran Bahasa Indonesia di awal-awal masa SMA dulu tak menemukan bahwa sebuah cerita harus disebut cerpen karena karakter hurufnya sangat dibatasi. Seingat saya, tidak melulu pada hal itu.
Tetapi, dengan pembaca umum yang terbiasa menyimpulkan cerita dari judul, sementara media daring Indonesia pun malas untuk menyajikan cerita lebih dari dua-tiga halaman laptop, tampaknya memang tak akan banyak khalayak yang mau membaca cerpen belasan halaman seperti tulisan Hardy. [ ]