Menurut history.cultural-china.com, Haji Rui terkenal dengan sebutan Lord Bao dari Selatan. Bao adalah karakter historis yang terkenal berkat integritasnya sebagai hakim. Sosok ini pernah difilmkan dengan judul “Judge Bao”, dan dinikmati pemirsa dari kalangan Tionghoa dan pribumi di Indonesia.
Oleh : Teguh Setiawan
JERNIH—Tahukah Anda apa karya Tionghoa pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu? Menurut Prof Claudine Salmon, seperti dikutip Leo Suryadinata dalam makalah “Cerita Silat (Tionghoa) di Indonesia: Tinjauan dan Renungan”, karya Tionghoa pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu adalah “Haij Soeij” atau “Hai Rui”, dan terbit pada 1882. Namun, tidak ada penjelasan soal buku ini.
Ensiklopedia elektronik wikepedia.org menyebutkan, Haij (Haji) Soeij atau Hai (Haji) Rui adalah pejabat terkenal era Dinasti Ming. Ia lahir di Qiongshan, saat ini masuk Provinsi Hainan, pada 23 Januari 1514 dan meninggal 13 November 1587. Kakeknya menikah dengan wanita Arab dan memeluk Islam. Ia dibesarkan oleh ibunya yang wanita Hui atau Muslim.
Menurut history.cultural-china.com, Haji Rui terkenal dengan sebutan Lord Bao dari Selatan. Bao adalah karakter historis yang terkenal berkat integritasnya sebagai hakim. Sosok ini pernah difilmkan dengan judul “Judge Bao”, dan dinikmati pemirsa dari kalangan Tionghoa dan pribumi di Indonesia.
Rui membentuk diri sebagai penyair. Ia membaca sajak-sajak dan karya-karya klasik Cina. Ia gagal dalam ujian resmi untuk menjadi pegawai negeri di Provinsi Fujian. Ia tak menyerah dan terus berusaha sampai akhirnya lolos. Akibatnya, kariernya di pemerintahan baru dimulai pada usia 39 tahun.
Ia membangun reputasinya sebagai birokrat bersih dan nyaris tanpa cacat. Ia tak kenal kata kompromi terhadap semua tindak korupsi: suap, gratifikasi, dan manipulasi. Ia memperjuangkan ketidakadilan kepada petani dengan menetapkan aturan yang jelas dalam pembayaran pajak atas tanah oleh petani dan tak segan menghukum pengemplang pajak.
Haji Rui memperlihatkan keberaniannya ketika melakukan impeachment terhadap Kaisar Jiajing pada 1656. Kaisar marah dan memvonisnya dengan hukuman mati setahun kemudian. Namun, hukuman itu tidak pernah dilaksanakan. Haji Rui dibebaskan segera setelah Kaisar Jiajing wafat.
Kaisar Longqing mengangkatnya kembali pada 1570, tapi Haji Rui dipaksa mengundurkan diri ketika kelompok birokrat yang tak menghendakinya kembali mengangkat isu kepemilikan atas tanah.
Dia pensiun dan selama 15 tahun tinggal di Hainan. Kaisar Wanli membawanya ke Nanjing, tapi dua tahun kemudian mengembuskan napas terakhir. Hai Rui seolah hidup kembali di masa Revolusi Kebudayaan dan menjadi model birokrat jujur dan memiliki integritas.
Biografi Hai Rui dibaca banyak orang Tionghoa di Indonesia, yang memicu penerbit Bruning & Co di Batavia meluncurkan karya terjemahan lainnya: “Boekoe Liatkok” (“Lieguo-zhi” atau “Catatan Negara-negara Berperang”) dan “Bok Sioe Tjai” atau Sarjana Bok. “Jingu Qiguan”–yang diterjemahkan menjadi “Kebaikan Kini dan Dulu”-diterbitkan sebuah penerbit di Semarang.
Dekade berikutnya, sebelum abad 20, karya-karya klasik Tiongkok dialihbahasakan. Sebut saja “Sam Kok (Tiga Negara)”, “Song Kang”, “Batas Air” atau “All Men Are Brothers”, dan “See You”. Namun, “Hong Lou Meng” atau “The Dreams of the Red Chambers” tidak pernah diterjemahkan karena tingginya bahasa sastra Tionghoa yang digunakan.
Namun, buku klasik Tionghoa yang paling banyak diterjemahkan dan sampai saat ini masih dibaca sampai sebelum Perang Dunia II adalah “Sie Djin Kwie”, pemuda kuat yang menjadi jenderal penakluk. Suryadinata mencatat buku ini diterjemahkan sebanyak 12 kali.
Cerita silat
Cersil berasal dari Tiongkok, tapi tidak ada yang tahu kapan genre ini berkembang. Claudine Salmon mengatakan, “Xiayi Xiaoshuo”, atau kisah pendekar yang memiliki rasa keadilan, berasal dari Dinasti Ming atau Qing. Sedangkan, Leo Suryadinata mengatakan wuxiao xiaosuo-atau cerita silat Tiongkok-telah ada sejak Dinasti Han Barat.
Para peneliti sepakat, konsep xia (pendekar atau kesatria) atau youxia (pendekar berkelana) sudah terdapat dalam buku Simaqian. Sebagai cerita yang ditulis, xiaosuo baru muncul di era Dinasti Song. Pendapat lain mengatakan, cersil baru menjadi bacaan masyarakat Tiongkok sejak munculnya “Sanxia Wuyi” (Tiga Pendekar dan Lima Satria) atau “Qixia Wuji” (Tujuh Pendekar dan Lima Satria).
Penelitian redaktur “Rimba Hijau”, majalah yang diterbitkan Masyarakat Tjerita Silat (MTjersil), menyebutkan di Indonesia istilah cerita silat (cersil)-sebagai terjemahan dari wuxia xiaoshuo-diperkenalkan oleh Tan Tek Ho, penerjemah cersil Tionghoa yang punya nama asli Kuo Lay Yen, sebelum Perang Dunia II.
Terjemahan sesungguhnya wuxia xiaoshuo lebih rumit. Wu sering diterjemahkan sebagai silat, sementara xia adalah pendekar. Sedangkan, xiaoshuo bisa diterjemahkan sebagai roman, novel, atau cerita.
Menjadi lebih merepotkan ketika xia didefinisikan sebagai sikap memiliki budi pekerti luhur, memegang janji, siap berkorban untuk membantu orang lain, menjunjung tinggi keadilan, memiliki kesetiakawanan tinggi, membasmi kejahatan dan membela yang lemah, serta hidup demi negara dan rakyat. Jika definisi ini digunakan, banyak cersil yang tidak mengandung unsur xia.
Cersil Tionghoa tradisional mengandung unsur xia, karena hampir semua sosok utamanya sering digambarkan layaknya superman. Namun tidak seluruh cersil aliran baru, atau nontradisional, memiliki unsur xia. Penulis cersil aliran baru terkadang lebih suka menggambarkan pendekarnya sebagai manusia biasa yang bisa salah dan memiliki banyak kelemahan.
Di Indonesia, cersil Tionghoa tradisional dinikmati masyarakat keturunan Cina dalam bahasa Melayu. Ini disebabkan sejak penghujung abad ke-19, penutur bahasa Tionghoa terutama Hokkian terus menyusut. Kaum peranakan, terutama di Pulau Jawa, mengonsumsi cersil tradisional sebagai dongeng dari negeri leluhur.
Karya terjemahan terus mengalir sampai awal abad ke-20 dan mengalami booming setelah Dr Sun Yat Sen menumbangkan Dinasti Qing dan memproklamasikan Republik Tiongkok. Sejumlah nama besar adalah Pingjiang Buxiaosheng Huanzhu Louzhu dan Wang Dulu. Namun, menurut Leo Suryadinata, yang paling fenomenal adalah karya-karya aliran baru (xinpai wuxia xiaoshuo) karya Jin Yong, Liang Yusheng, dan Gu Long. Ketiganya muncul di Hong Kong pada 1950.
Di Indonesia, karya ketiganya dengan cepat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dikonsumsi masyarakatnya yang berasal dari berbagai latar belakang. Dua tahun kemudian, Kho Ping Hoo (KPH) mulai mencoba menulis cerpen. Namun, baru enam tahun kemudian cerpen pertamanya muncul di Star Weekly.
Cersil perdananya yang dibuat bersambung berjudul “Pedang Pusaka Naga Putih” dimuat di majalah “Teratai”, majalah yang didirikannya bersama sejumlah pengarang. Ia segera mendapat tempat di hati masyarakat pencinta cersil. Karya-karya KPH mampu mengatasi persaingan dengan karya-karya terjemahan karena kemampuan bertuturnya yang luar biasa.
KPH sangat produktif. Sampai akhir hayatnya, ia telah menulis 400 judul cersil berlatar Tiongkok dan 50 cersil berlatar lokal. Penggemar karya-karyanya tersebar di hampir sekujur Pulau Jawa dan dari berbagai lapisan masyarakat. Soeharto, mantan presiden Indonesia, dikabarkan penggemar berat karya-karya KPH. Dalam satu kesempatan, Soeharto pernah menyuruh ajudannya mendatangi percetakan untuk menanyakan kapan karya KPH berikutnya terbit.
Booming cersil Tionghoa memprovokasi penulis lokal untuk menulis genre yang sama tapi dengan latar belakang Jawa. Singgih Hadi (SH) Mintardja muncul sebagai penulis cersil lokal yang paling fenomenal. Ia menggunakan latar belakang Mataram era Sultan Agung untuk menulis cerita bersambung “Mendung di Atas Cakrawala” dan “Api di Bukit Menoreh”.
Mintardja mewarnai perkembangan cersil di Indonesia. Ia seolah tidak kesulitan melahirkan karya-karyanya karena menguasai Babad Tanah Jawi dan memahami sejarah Jawa dengan sangat baik.
Dilarang
Masa keemasan cersil di Indonesia sempat terganggu ketika Penguasa Pelaksana Darurat Perang Jakarta Raya melarang penerbitan cerita-cerita silat terutama yang berlatar belakang Tionghoa di sejumlah surat kabar.
Tidak ada penelitian apakah pelarangan ini berkaitan dengan keluarnya peraturan No 3 tahun 1960 tentang pembatasan terhadap pencetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyebaran, perdagangan dan/atau penempelan surat kabar atau majalah yang mempergunakan huruf bukan huruf Latin atau huruf Arab atau huruf daerah Indonesia.
Menurut Ahmad Buchari Saleh, ketua Mtjersil, alasan pelarangan adalah cersil merusak bahasa Indonesia. Namun, analisis lain menyebutkan pelarangan itu merupakan cara militer Indonesia mengganggu kemesraan Soekarno dengan Mao Zedong dan pemimpin-pemimpin Tiongkok. Cara yang lebih keji terjadi di Bandung, lewat gerakan anti-Tionghoa.
Di Tiongkok, Mao Zedong juga memberangus cersil semasa Revolusi Kebudayaan pada 1966-1976. Namun, Deng Xiaoping-salah satu petinggi Partai Komunis Cina (PKC)-justru memelihara kebiasaannya membaca cersil. Setelah Deng Xiaoping menjalankan kebijakan buka pintu, penelitian terhadap cersil kian marak. Nasib sebaliknya terjadi di Indonesia. Penelitian cersil masih relatif baru, komunitas pencinta cersil terus menyusut.
Leo Suryadinata: Cersil tidak akan Lenyap
Jika Anda bertanya kepada generasi muda saat ini, Tionghoa atau pribumi, apakah pernah membaca cerita silat (cersil), mereka-meski mungkin tidak seluruhnya-pasti akan menjawab tidak atau belum pernah.
Namun, beberapa di antara mereka mengenal sejumlah tokoh cersil, sebut saja Sun Gouw Kong (Siluman Kera), Thoe Pa Kai (Siluman Babi), dan Sha Heshang (Siluman Pasir). Generasi muda pribumi saat ini juga mengenal Wiro Sableng dengan Kapak Nagageni 212 atau Jaka Sembung.
Mereka mengenal tokoh-tokoh itu dari film dan sinetron, bukan dari bacaan. Kebanyakan dari mereka sama sekali tak pernah melihat buku cersil meski sejumlah karya dicetak ulang dan dijual di sejumlah toko buku. Sebagai genre sastra populer, cersil mungkin akan terpelihara di lemari koleksi pencintanya atau di ruang perpustakaan. Sebagai industri, cersil relatif telah mati akibat tidak bisa lagi menarik pembaca dari kalangan generasi muda.
Pencinta cersil yang tersisa saat ini adalah generasi tua, berusia antara 50 sampai 60 tahun, dengan populasi terus menyusut. Mungkinkah cersil akan lenyap ketika pecinta terakhirnya masuk liang lahat?
Leo Suryadinata, salah satu pembicara dalam “Cerita Silat di Indonesia dan Pembentukan Karakter Bangsa”, mengatakan bahwa cersil tidak akan lenyap. Namun, lanjutnya, harus ada upaya menuliskan kembali buku-buku cersil agar bisa diapresiasi generasi muda saat ini.
“Kita tidak bisa menerbitkan kembali cersil dengan bahasa aslinya, apalagi terhadap karya-karya terjemahan,” demikian Leo berpendapat. Cersil di Indonesia lahir dari masyarakat peranakan Tionghoa dan berkembang di sekujur Pulau Jawa. Masyarakat Tionghoa yang relatif tidak bisa lagi berbahasa Tionghoa, berbicara dalam bahasa Melayu pasar atau Melayu Tionghoa.
Sejak awal perkembangannya, cersil relatif telah menghadapi masalah. Cersil tidak pernah dikaji secara serius sebagai karya sastra karena dianggap menggunakan bahasa Melayu rendah. Di sisi lain, penulis atau penerjemah cersil banyak memasukkan kosakata Hokkian ke dalam karyanya.
Sebut saja, menurut Leo, kata “lihai” atau “sue”. Keduanya dengan mudah ditemui dalam banyak cersil dan digunakan pembacanya dalam pembicaraan sehari-hari. “Pengastaan dalam bahasa adalah produk politik,” ujar Leo Suryadinata. “Bahwa ada masyarakat tertentu dan kuat secara politik menganggap bahasa ini rendahan, dan yang ini tinggi.”
Padahal, masih menurut Leo, bahasa Melayu Tionghoa digunakan di sepanjang pantai utara Jawa sebelum bahasa Indonesia muncul. Orang Tionghoa akan menggunakan bahasa Melayu saat berkomunikasi dengan orang Jawa, Sunda, atau sesama Tionghoa yang tidak lagi mengerti bahasa Hokkian. Kini tidak ada lagi pengastaan dalam bahasa. Leo menyarankan perlu ada kajian komprehensif sebelum menuliskan kembali cersil lama ke dalam bahasa Indonesia, dengan mengubah ejaannya tapi melestarikan istilahnya untuk disajikan kepada generasi muda saat ini. [ ]