Ratulangie, Dekker, dan Thamrin dijuluki “Tiga Serangkai Pluralis Indonesia” yang mashur pada 1920-an di Batavia. Ketiganya juga sangat dihormati oleh tiga serangkai muda berikutnya, yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang waktu itu masih mahasiswa di Bandung dan Belanda.
JERNIH–Pada 1923 terjadi pertemuan antara Dr GSSJ Ratulangie dan Eduard Douwes Dekker dengan Mohammad Husni Thamrin di Batavia. Dua tokoh nasionalis ini mulanya merasa heran, mengapa Thamrin tidak masuk Volksraad (Dewan Rakyat, bentukan Belanda, red Jernih). Padahal Thamrin kelahiran Batavia, sangat intelek, dan merupakan potensi bagi kemerdekaan Indonesia.
Ketika itu anggota Volksraad terdiri atas wakil-wakil etnis, termasuk Cina, Arab, dan Indo. Wakil dari Batavia ternyata tidak ada, karena memang tidak ada etnisnya. Namun Ratulangie dan Dekker tidak hilang akal. Mereka usul kepada Thamrin untuk membentuk kelompok komunitas Batavia. Thamrin setuju. Tak lama kemudian dia mencetuskan nama Perkoempoelan Kaoem Betawi.
Sejak itu ketiganya giat di Volksraad, memperkuat barisan nasionalis di Batavia sejak Indonesia tercetus sebagai nama bangsa oleh para pelajar Indonesia di Leiden pada 1917. Ratulangie, Dekker, dan Thamrin dijuluki “Tiga Serangkai Pluralis Indonesia” yang mashur pada 1920-an di Batavia. Ketiganya juga sangat dihormati oleh tiga serangkai muda berikutnya, yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang waktu itu masih mahasiswa di Bandung dan Belanda.
Tentang etnis Betawi, antropolog Universitas Indonesia, Dr. Yasmine Zaki Shahab, memperkirakan baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun 1815-1893. Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta yang dirintis sejarawan Australia, Lance Castle. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, yang dibuat berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Pada tahun 1930 kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak pernah ada, justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun tersebut. Jumlah orang Betawi tercatat sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof. Dr. Parsudi Suparlan menyatakan pada awalnya pembentukan kelompok etnis Betawi belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari, mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong. [ ]
Ditulis Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, mantan wartawan ‘Mutiara’, di blog yang bersangkutan.