Sebab yang membesar-besarkan, adalah orang-orang yang mencari keuntungan dan coba memancing di suasana keruh.
JERNIH-Ketika menyikapi sebuah perbedaan pendapat yang bertalian antara kebudayaan dan agama, memang diperlukan kedewasaan, pandangan jernih dan anti kritik. Namun ketika soal ini dibesar-besarkan hingga berkobar menjadi polemik bahkan konflik, maka bahaya sedang mengintai.
Ini bukan soal keimanan yang harus dirasakan dan diamalkan masing-masing individu. Namun lebih pada kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan pada pergaulan di kancah internasional. Namun, sudahkah kita melaksanakan soal ini?
Ketika menggelar pementasan wayang kulit pada Jumat (18/2) lalu di pondok pesantren Ora Aji yang diasuhnya, Gus Miftah sempat membacakan sebuah sajak. Kemudian, sajak itu dimuat di akun Instagram pribadinya.
Sebab dianggap kebablasan dan memperkeruh suasana, Miftah malah menuai kritikan dari para netizen. Setidaknya, ada 13 ribu komentar yang mayoritas menyayangkan sikapnya itu. Soalnya, pagelaran wayang kulit itu justru diniatkan dalam rangka melontarkan kritik kepada Ustadz Khalid Basalamah. Sebab sebelumnya, akibat cuplikan video ceramah yang cuma sepotong viral di media sosial kemudian menjadi pemberitaan hangat yang sepotong pula, Khalid jadi bulan-bulanan netizen pula.
Berikut bunyi sajak Gus Miftah :
“Sigro milir..sang gethek si nogo bajul.. Wah…Begitu pandai iblis itu,menyematkan imamah dan jubah dengan warna putih , seakan begitu suci tanpa noda, dengan menghitamkan yang lainnya.
Haruskah kuda lumping diganti dengan unta lumping? Haruskah gamelan diganti dengan rebana? Pohon kelapa diganti dengan pohon kurma? Dan haruskah nama nabi Sulaiman diganti karena mirip kata kata Jawa?
Betapa luas iblis itu menghamparkan hijab dari kekerdilan otaknya hingga menutupi sinar matahari junjungan kita, sebagai nabi alam semesta bukan nabi orang Arab saja.
Haruskah wayang diganti film film tentang cerita agama produk asing, yang membiayai setiap jengkal pergerakan dan pemberontakan atas nama agama.
Kamu siapa? Aku tahu jenggotmu panjang tapi belum tua, Wajar tak tahu budaya dan tatakrama, Bagiku lebih nyaman dengan blangkon atau iket dari taplak meja, sebagai penutup kepala ,wujud kerendahan dan ketwadlu’anku belaka, karena jubah, imamah dan jenggot panjang adalah penampilan bendara atau raja sedang aku hanyalah hamba jelata, tak pantas dengan pakaian bendara dan raja Karena pintu syurga kini hanya tersisa dan terbuka bagi yang tawadlu’ hatinya Sigro milir sang gethek si nogo bajul….”
Ribuan orang yang berkomentar terhadap isi sajak itu, menyayangkan sikap Gus Miftah yang justru bukannya membuat adem tapi malah mengobarkan polemik lebih besar lagi. Dan kini, giliran Miftah buka suara soal kritikan terhadap sajaknya itu.
Dia bilang, perbedaan pandangan antar tokoh merupakan hal wajar dan lumrah terjadi. Apalagi, soal ini berkaitan dengan ilmu dan pendapat.
“Yang viral atau trending itu tentang sajak saya. Kalau soal kritik ilmu atau perbedaan pendapat itu hal yang lumrah. Jadi ya sah-sah saja gitu loh. Kalau sajak yang saya buat itu tanggungjawab saya sepenuhnya,” kata Gus Miftah, pada Senin (21/2).
Miftah yang sudah menulis sajak dengan sangat tajamnya dan tentu dialamatkan kepada Khalid, meminta agar masyarakat bisa memahami dan menghargai perbedaan pandangan itu. Sebab yang membesar-besarkan, adalah orang-orang yang mencari keuntungan dan coba memancing di suasana keruh.
“Ya dan kita sudah terbiasa gitu loh. Katakanlah menurut beliau haram menurut saya tidak, ya kan itu sah-sah saja itu. Salahnya di mana?” kata Miftah mempertanyakan.
“Umat juga harus dewasa sama halnya ketika hukum merokok, Muhammadiyah mengharamkan, NU memubahkan, kan ya biasa-biasa saja itu. Salahnya di mana?” kata dia melanjutkan.
Dalam pementasan wayang kulit itu, Warseno Hardjodarsono alias Ki Warseno Slank, bertindak sebagai dalang. Dalam sebuah adegan, tokoh yang menyerupai Ustadz Khalid berkali-kali digebuk oleh lakon wayang lain. Scene inilah yang kemudian menuai kecaman dari warganet.
“Mbok ki cangkemmu cangkem opo cok. Yen koe ra seneng wayang ra sah kakehan cangkem koe,” demikian ucap Ki Warseno sambil memerankan adegan Basalamah yang digebuk dalam pertunjukan itu.
Miftah bilang, adegan itu merupakan hak Ki Warseno sepenuhnya sebagai dalang. Sedang dirinya, cuma bertanggung jawab pada pelaksanaan pementasan wayang dan sajak yang dibacakan setelahnya. Hanya saja, dia membantah jika pagelaran itu dilaksanakan dalam rangka merespon pernyataan Khalid yang dianggap telah mengharamkan Wayang.
“Jadi isinya tentang apa itu kita hanya dikasih lakonnya saja. Tetapi pertunjukannya seperti apa itu ya urusan dalang bukan urusan saya,” kata Miftah.
“Jadi kalau dimaknai pentas wayang itu merupakan reaksi atau respons dari apa yang terjadi hari ini saya pikir kurang pas,” kata dia lagi.
Sementara itu, dalam video klarifikasinya, Ustadz Khalid Basalamah menolak jika dikatakan dirinya menyatakan bahwa Wayang haram.
“Pada saat ditanyakan masalah wayang, saya mengatakan alangkah baiknya dan kami sarankan, kami sarankan agar menjadikan Islam sebagai tradisi, jangan menjadikan tradisi sebagai Islam. Dan tidak ada kata-kata saya di situ mengharamkan.” kata Khalid dalam video yang diunggah di akun YouTube Khalid Basalamah Official.[]