Jernih.co

Doni Monardo Test Food Olahan Sagu

Bahkan untuk campuran bumbu, ada yang istimewa yaitu menggunakan rempah khas Papua, yang terbuat dari kulit pohon masoya. Salah satu pohon endemik yang tumbuh di Papua, dan konon berasal dari Masohi, Maluku. Untuk diketahui, kulit masoya juga dipakai sebagai bahan parfum, salah satunya produk Hermes.

JERNIH– Ruang “Multimedia” lantai 10 Graha BNPB menjadi ajang test food masakan olahan sagu. Tak tanggung-tanggung, Kepala BNPB/Ketua Satgas Covid-19 Doni Monardo sendiri yang berkesempatan menjadi “food tester” olahan serba sagu.

Jam makan siang sudah lewat sedikit, ketika Doni Monardo masuk ruang Multimedia, usai berkegiatan rutin. Hari-hari biasa, pada jam makan siang Doni akan menyantap hidangan sehat yang disiapkan mbak Endang, juru masak khusus di lantai 10 BNPB.

Sudah sejak semalam sebenarnya, dia memberi tahu bahwa hari ini, Rabu (16/12/2020), ada temannya yang mau bawa makanan olahan sagu. Namanya Halim, sahabat Doni Monardo. Seorang pengusaha yang menekuni “emas hijau”.

Aneka makanan dari sagu

Selain menggeluti sagu, Halim juga membudidayakan porang. Dua bahan makanan pokok nenek moyang kita yang sangat berlimpah potensinya, tetapi belum maksimal terkelola dengan baik. Padahal, sebelum ada padi (beras), bangsa kita adalah pemakan umbi-umbian, sagu, dan sejenisnya.

“Hari ini, genap tiga tahun kami menggeluti sagu, persisnya sejak tiga tahun lalu diajak pak Doni untuk mengolah potensi emas hijau yang ada di Indonesia. Yang kami sajikan hari ini adalah hasilnya. Mudah-mudahan berkenan,” ujar Halim.

Begitu masuk ruang Multimedia, Doni menuju penanak nasi yang dijejerkan. Ada enam jenis masakan sagu yang dihidangkan dengan cita rasa berbeda: briyani, kabsa, liwet, uduk Papua, sagu goreng, dan mama Papua. Selain itu, untuk dessert juga terhidang wajik sagu dengan toping strawberry dan blueberry.

Halim langsung mendekat ke arah Doni dan menjelaskan jenis-jenis olahan sagu yang dihidangkan. Termasuk memberi tahu ihwal bumbu-bumbu yang digunakan. Semua organik. Bahkan untuk campuran bumbu, ada yang istimewa yaitu menggunakan rempah khas Papua, yang terbuat dari kulit pohon masoya. Salah satu pohon endemik yang tumbuh di Papua, dan konon berasal dari Masohi, Maluku. Untuk diketahui, kulit masoya juga dipakai sebagai bahan parfum, salah satunya produk Hermes.

“Pak Halim, ini benar zero gula?” tanya Doni kepada Halim.

“Dijamin nol persen kadar gulanya,” jawab Halim tegas.

“Mana buktinya,” sergah Doni.

“Kami punya hasil labnya, pak,” tangkas Halim menjawab.

Doni pun menuju tumpukan piring ukuran kecil. Spontan dia bertanya, “Mana piring yang besar?” Ya, rupanya saking antusiasnya, Doni tidak hanya ingin sekadar mencicip dengan piring kecil, tetapi langsung mengambil porsi normal dengan piring besar.

Pada semua hidangan sagu olahan tadi, sudah sangat gurih. Bahkan untuk yang masakan briyani, sudah ada campuran daging di dalamnya. Sehingga praktis tidak lagi memerlukan lauk pauk. Toh, di ujung deretan penanak nasi, tampak dua mangkok berisi balado jengkol. “Wah…. ini nih yang bikin enak,” kata Doni menunjuk jengkol sambil tertawa.

Makanan Leluhur

Sedikit mengilas balik ke belakang. Sejak Doni Monardo menggulirkan program emas hijau tahun 2016/2017 di Ambon (saat itu Doni Monaro menjabat Pangdam Pattimura), Doni sudah mengkampanyekan “menomorduakan nasi dan menggantinya dengan sagu”.

Ongol-ongol sagu

Ia bahkan melempar tagline, “Tidak makan nasi, hebat!” “Orang cerdas makan sagu!”

Suatu hari Doni berkisah dengan sangat fasih ihwal tradisi nenek moyang kita yang sejatinya tidak mengenal beras. Para leluhur kita memenuhi kebutuhan karbohidratnya dengan ubi jalar, jagung, kentang, talas, sukun, singkong, dan… sagu! 

Dengan makanan itu, bangsa kita sudah terkenal unggul sejak dulu, sejak zaman kerajaan-kerajaan. Epik legendaris tentang Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Majapahit, adalah sejarah nyata betapa unggul SDM kita.

Dalam banyak prasasti dan data kuno, beras adalah tumbuhan yang banyak ditemukan di pulau Jawa. Sekali lagi: Jawa, bukan Indonesia Timur serta sebagian Sumatera. Lantas, mengapa padi/beras kemudian dipaksakan untuk dikonsumsi di daerah timur Indonesia?

Kemungkinanya ada beberapa faktor. Pertama, pemerintah masa lalu perlu memastikan swasembada pangan tercapai, dan padi merupakan varietas yang dapat diukur. Kedua, perlu dibangun dam/bendungan dan sistem pengairan yang berbasiskan proyek.

Dunia global kerap mengukur taraf sebuah bangsa dengan ketersediaan pangan standar. Dan pemerintah masa lalu memakai beras sebagai alat ukur pangan satu-satunya. Padahal, ada sagu yang merupakan pangan lokal dan sudah sejak dahulu kala menjadi sumber karbohidrat penduduk di wilayah timur Indonesia. Kondisi alam dan masyarakatnya membuat sagu dapat tumbuh mengikuti struktur alam yang ada di wilayah tersebut.

Karena itu pula Doni Monardo sangat getol menaikkan pamor pangan lokal tadi, tidak saja ke pentas nasional, tetapi juga orientasi ekspor. Halim adalah salah satu pengusaha yang berani mempertaruhkan semua risikonya di sektor sagu, dan jenis tanaman (emas hijau) lain.

Doni bahkan ingin agar pangan lokal harus menjadi sebuah gerakan, yang diikuti sosialisasi dan mendidik masyarakat melestarikan pangan lokal dengan kearifan lokal. Upaya itu akan mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat, di sisi lain akan mengurangi keterantungan impor beras. Siapa yang tidak setuju dengan pengurangan impor beras yang nyata-nyata melahirkan mafia/kartel/tengkulak pangan?

Penanaman sagu, secara langsung juga melestarikan alam dan menjaga kelangsungan bumi dengan diversifikasi alami. Manfaat lain, karakter pohon sagu, menjamin ketersediaan air tanah untuk jangka panjang, hingga akhirnya tercipta siklus alam yang sehat bagi generasi akan datang.

Stok terjamin

Menurut Halim, semua produksi sagu olahan dipusatkan di pabriknya yang ada di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Sedangkan bahan pokoknya didatangkan dari Papua. Halim bahkan sudah berkoordinasi dengan Bulog dan Perhutani. Bulog untuk urusan stok, sedangkan Perhutani terkait pemanfaatan lahan bagi pengembangan tanaman sagu.

Pemprov Papua di Distrik Tambat, Kabupaten Merauke bahkan sudah lebih setahun terakhir mengarahkan kebijakan pangannya ke sagu. Saat ini, Distrik Tambat sudah bisa menghasilkan sagu olahan hingga 3 ton per minggu.

Kue kukus dari bahan sagu

Program klaster kampung sagu di Tambat dirintis Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua serta Dinas Ketahanan Pangan Papua sejak awal 2019. Dalam program ini petani diberi bantuan pembuatan rumah produksi beserta mesin pengolah sagu yang diciptakan I Made Budi. Dosen Universitas Cendrawasih itu sekaligus menjadi mentor cara menggunakan mesin pengolah sagu.

Papua adalah “surga sagu”. Luas areal sagu di sana mencapai 6,2 juta hektare, dan itu merupakan yang terbesar di dunia. Sayang, berdasar data Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua, luas lahan sagu yang digunakan secara aktif di 20 kabupaten hingga akhir tahun 2017 hanya 35.351 hektare.

Pemanfaatan itu jauh dibandingkan daerah Meranti di Riau yang luasan lahan hutan sagu kurang dari 100.000 hektare, tetapi sudah dapat mengekspor tepung pati sagu ke kawasan Asia Timur, seperti Jepang dan China.

Bagi Doni Monardo, riwayat penugasan menjadi Pangdam Pattimura bisa dibilang anugerah. Setidaknya, ia menjadi penyuka sagu. Bukan karena semata-mata “demi program emas hijau”, melainkan dengan kesadaran penuh bahwa makan sagu jauh lebih sehat dibandingkan makan beras.

Selain sebagai sumber energi, sagu juga baik untuk mencegah darah tinggi, baik untuk gula darah, mencegah masuk angin, dan memperlancar sistem pencernaan. Info terbaru, sagu bahkan bisa meningkatkan kesehatan tulang dan sendi. “Pendek kata,” ujar Doni sambil berkelakar, “Orang cerdas makan sagu!”

Bakso sagu keliling

Sambil menikmati hidangan sagu siang itu, Doni melempar pandang ke arah Halim yang dari tadi berdiri dan mengamati Doni Monardo dan staf yang sedang menjadi “food tester” bagi hidangan yang dibawa. Dua perintah Doni yang keluar secara spontan. Pertama ditujukan kepada Plt Deputi III BNPB, Dody Ruswandi. Kedua, langsung kepada Halim.

Dody Ruswandi diminta mengirim sagu olahan untuk pasien Covid-19 yang ada di Jawa Timur. Mengapa Jawa Timur? Rupanya Doni tidak asal sebut daerah. Ia gunakan data. Terbukti, belum lagi hilang pertanyaan di benak Dody dan staf lain, Doni menambahkan perintahnya dengan kalimat tanya yang dijawabnya sendiri, “Kenapa Jawa Timur? Karena berdasar statistik, pasien Covid-19 Jawa Timur paling banyak mengidap gula darah. Jadi mereka harus makan sagu. Sagu bagus untuk pengidap diabetes.”

Dody Ruswandi pun menjadi paham. Staf lain turut mengangguk-angguk.  Doni segera melempar tugas yang kedua kepada Halim. Sebenarnya bukan tugas, tapi saran. Atau bisa juga dianggap sebagai ide.

Begini. Doni meminta Halim membuat prototype sejenis gerobak bakso keliling, tapi menggunakan sepeda motor roda tiga. Maksudnya agar lebih luas coverage area-nya. Nah, gerobak bakso sagu tiga roda tadi, khusus menjual  bakso dengan mie yang terbuat dari sagu. “Pasang tulisan, ‘Cinta Produk Lokal’. ‘Makan Sagu Lebih Sehat’… ya pokoknya kalimat-kalimat promotif yang baguslah. Saya jamin, dalam waktu singkat akan berkembang jadi ratusan gerobak motor. Saya ikut saham dua persen ya….,” kata Doni berkelakar.

Halim antusias merespons ide Doni Monardo.

Karena itu, Anda di mana pun berada, bersiap-siaplah tidak hanya akan melihat “tahu bulat digoreng dadakan” yang keliling kampung, melainkan Mie Sagu Bakso Keliling, ide Doni Monardo. [Egy/Roso]

Exit mobile version