“Ya Rabb, dengan kemurahan dan keagungan-Mu, Engkau telah mencintai seorang hamba yang berdosa, yang telah menjauh dari-Mu selama 40 tahun!”
JERNIH—Fudhail bin Iyadh terkenal sebagai wali sufi yang masa mudanya menghabiskan waktu sebagai perampok. Namun demikian, banyak sumber menyatakan bahwa di kala menjadi perampok pun Fudhail terkenal sebagai begal yang tak pernah alpa shalat.
Tentang kembalinya Fudhail ke jalan Allah, setidaknya ada dua versi besar yang beredar.
Versi pertama, antara lain yang ditulis Syeikh Muhammad Sa’id Al-Buthi dalam “Pribadi-pribadi yang Membuatku Tertegun”, Fudhail yang telah hanyut dalam kriminalisme, berjumpa dengan seorang wanita yang membuatnya terpikat dan jatuh cinta. Setiap ada kesempatan untuk melihat gadis itu, diambilnya kesempatan itu. Semakin lama, hati dan pikirannya semakin dipenuhi rasa cinta akan wanita tersebut, sehingga perlahan kesibukannya untuk berbuat jahat pun semakin tersingkirkan oleh kesibukannya dalam merasakan cinta. Gejolak buas api kejahatan yang selama ini memberinya semangat pun kian redup, karena dalam pikirannya lama-lama hanya bagaimana cara menemui gadis pujaannya itu.
Pada suatu malam gelap, dengan rasa rindu yang tak lagi mampu ditanggungnya, Fudhail menuju rumah si gadis. Yang ia bayangkan hanyalah ia akan berdiri di dekat pujaan hatinya itu. Ia kemudian menaiki pagar. Di saat ia akan melompat dari pagar itu, ia berhenti mendengar suara seseorang membaca Alquran. Yang dibacanya surat Al-Hadid ayat 16: “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka) dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima Kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras.”
Hati Fudhail seketika bergetar. Di atas pagar itu ia berteriak-teriak histeris,”Iya, Wahai Rabb! Sudah datang waktunya”.
Fudhail pun terjatuh dari pagar. Inilah titik hijrah Fudhail yang kemudian bertobat, memulai hidup baru. Tak lama kemudian ia pun rihlah, pergi ke Makkah. Dalam perjalanannya ke Makkah Fudhail bermukim dulu di Kuffah dan menjadi sosok panutan.
Soal cinta Fudhail dengan pertobatannya, Syeikh Al-Buthi dalam bukunya yang lain,”Syakshiyāt Istauqafatnī”, menyatakan bahwa apabila gejolak kebodohan dan kekejaman jiwa seseorang telah tenang, emosi tulus akan tumbuh dari relung hatinya. Itu adalah langkah awal dirinya—bila ia cermat dan menggunakan kesempatan itu untuk menuju Allah. Sebab jalan cinta itu hanya satu. Apa pun halnya yang dicintai, jika tidak berhenti di situ, dan terus berjalan menemukan cinta hakiki, yaitu Allah.
Versi kedua, suatu malam sebuah caravan tiga pedagang ingin melewati lembah menuju Sirjis. Namun kawasan itu terkenal menjadi tempat merampok kawanan Fudhail bin Iyadh.
Maka, para pedagang berunding dulu sebelum meneruskan perjalanan. Seorang di antara mereka berkata,“Apa yang harus kita lakukan seandainya bertemu kawanan Fudhail bin Iyadh?”
Seorang pedagang menjawab, “Siapkanlah panah-panah kita. Kita akan memanah ke arah mereka bersembunyi. Jika anak panah kita tepat mengenai sasaran, hendaknya kita melanjutkan perjalanan. Bila tidak, sebaiknya kita kembali saja.”
“Hanya saja,” kata dia,” Setiap kita akan memanah, kita bacakan dulu ayat suci Alquran. Semoga Allah menolong kita.”
Masing-masing pedagang pun menyiapkan diri untuk membacakan ayat mana sebelum melontarkan anak panah. Tanpa sepengetahuan mereka, Fudhail bin Iyadh dan kawanannya tengah bersiap menyerbu.
Tiga pedagang dalam kafilah itu pun bersiap. Orang pertama melepaskan anak panahnya setelah membaca Alquran surah al-Hadid ayat 16. “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.”
Fudhail bin Iyadh mendengar ayat tersebut. Tiba-tiba tubuhnya bergetar hebat. Ia pun merintih, berteriak keras, bahkan jatuh pingsan.
“Aku telah terkena anak panah Allah!” seru Fudhail sebelum tak sadarkan diri. Anak-anak buahnya mengira sang bos terkena tembakan panah. Namun saat diperiksa, tak satu pun luka panah ada di tubuh Fudhail.
Tak lama, Fudhail pun kembali tersadar.
Pedagang kedua melepaskan anak panahnya ke arah kerumunan kawanan Fudhail yang tersembunyi, membaca surah adz-Dzariyat ayat 50. “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.”
Fudhail yang mendengar ayat itu berteriak lebih keras, “Wahai, aku terkena anak panah Allah!”
Orang terakhir dari kafilah itu melontarkan anak panahnya seraya membacakan kalamullah, az-Zumar ayat 54. “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).”
Kembali Fudhail gelagapan. Ia pun menyuruh seluruh anak buahnya pergi meninggalkannya. Ia batalkan penyerangannya malam itu.
“Kalian semua, pulanglah! Sungguh, rasa takut kepada Allah telah merasuk dalam jiwaku. Aku akan meninggalkan semua kejahatan yang selama ini kulakukan!”
***
Dalam perjalanan menuju Mekkah setelah memutuskan untuk berhijrah, sampailah Fudhail di suatu daerah dekat Narawan, wilayah Irak sekarang, yang saat itu berada di bawaj kekuasaan Harun Al-Rasyid.
Fudhail tak mengetahui, Khalifah Harun al-Rasyid di istananya bermimpi. Sebuah suara gaib menyeru kepadanya,“Sungguh, Fudhail bin Iyadh takut kepada Allah dan memilih mengabdikan diri kepada-Nya. Sambutlah ia di negerimu!”
Esok harinya, Harun al-Rasyid menyuruh beberapa orang untuk menemukan Fudhail bin Iyadh. Setelah beberapa waktu, orang-orang suruhan itu dapat membawa Fudhail ke istana di Baghdad.
“Wahai Fudhail,” kata Sultan, “Aku melihat dalam mimpiku, satu suara menyeru kepadaku tentang keadaanmu. Aku diseru agar menyambutmu datang.”
Fudhail terkesima. Ia lantas menyeru ke arah langit, “Ya Rabb, Dengan kemurahan dan keagungan-Mu, Engkau telah mencintai seorang hamba yang berdosa, yang telah menjauh dari-Mu selama 40 tahun!” [ ]
Dari “Tadzkiratul Auliya” dan “Muslim Saints and Mistics”—Fariduddin Aththar