Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berpegang teguh pada pintu keridhaan-Nya meski melalui kehidupan yang gelap gulita, al-gham karena kegelapan yang berlapis-lapis bagaikan tercelup di dalam dawat (nun) berisi tinta hitam pekat: sebuah pintu rahasia penerimaan taubat,
Oleh : Watung Arif Budiman
JERNIH–Dzun-Nun Al-Mishri adalah seorang tokoh sufi besar di abad ketiga Hijriah. Beliau, yang memiliki nama lengkap Abu Al-Faidh Tsauban bin Ibrahim Al-Mishri, dilahirkan di Akhmim, sebuah kota kuno di tepi timur Sungai Nil dan dataran tinggi di Mesir, pada tahun 796 M (180 H).
“Al-Mishri” pada nama belakang Dzun-Nun berarti “Mesir”, adalah panggilan atau gelar terhadap Beliau dari orang-orang yang memang banyak berasal dari non-Mesir. Beliau belajar, mengajar, mengembara dan mengadakan banyak perjalanan di berbagai wilayah di Jazirah Arab, Maghreb, Palestina dan Syria (Baghdad). Salah satu murid Beliau adalah Sahl Al-Tustari, seorang sufi Persia yang memperkenalkan khazanah tentang Nur Muhammad (Hakikat Muhammadiyah) di dunia Tasawuf. Disebutkan pula di sebuah riwayat, bahwasanya Dzun-Nun memahami rahasia bahasa hieroglyph, sebuah sistem tulisan Mesir Purba yang banyak terdapat di berbagai piramida Mesir dan peninggalan bangunan kuno di Mesir, yang bahkan sampai kini tak sepenuhnya terkuak makna yang ada di dalamnya. Beliau meninggal di Kairo pada tahun 856 M (246 H).
Nama “Dzun-Nun” dan Huruf “Nun”
“Dzun-Nun” adalah julukan bagi Abu Al-Faidh, di mana nama itu secara harfiah berarti “penguasa ikan (nun)” – sebuah nama yang juga pernah disematkan kepada Nabi Yunus a.s. (lihat Q.S. Al-Anbiyaa’ [21]: 87) dengan kisah taubatnya yang luar biasa di dalam perut ikan nun.
Dalam sebuah hikayat rakyat setempat disebutkan kisah ketika Dzun-Nun Al-Mishri menumpang sebuah kapal di suatu perjalanan. Di tengah laut, tiba-tiba seorang saudagar yang ikut serta di kapal tersebut kehilangan permatanya yang amat berharga. Karena suatu alasan tertentu, tuduhan pencurian lalu ditujukan terhadap Dzun-Nun. Beliau pun disiksa dan dianiaya, serta dipaksa mengembalikan permata yang hilang itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya itu, ia menengadahkan kepalanya ke langit sambil berdoa, “Duhai Tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Tahu.”
Mendadak seketika itu pula muncullah ribuan ekor ikan nun ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata yang lebih besar dan indah di mulutnya masing-masing. Dzun-Nun lalu mengambil salah satu permata dan menyerahkannya ke saudagar tersebut. Sejak peristiwa aneh itulah, ia digelari “Dzun-Nun”, sang pemilik ikan nun.
Namun istilah “dzun-nun”, menurut Ibnu Arabi, juga memiliki pengertian yang lain, dan secara harfiah berarti pula “pemilik huruf nun” atau “pemilik dawat” – merujuk pada huruf Arab nun yang menyerupai dawat (tempat tinta), berisikan tinta hitam pekat yang dengannya huruf-huruf dituliskan.
ن ۚ وَالْقَلَمِ وَمَا يَسْطُرُونَ
Nun — dan demi qalam (pena) dan apa yang mereka tulis. — Q.S. Al-Qalam [68]: 1
Nun, menurut Ibnu Arabi, memiliki arti yang lebih dalam dan menyimbolkan makna tentang sebuah rahasia, sebuah pintu menuju penerimaan taubat, Kemurahan dan Welas Asih-Nya, di mana hanya sedikit orang melalui pintu tersebut: yakni para pemilik nun, dzun-nun.
Dzun-Nun
Huruf “Nun”, menurut Ibnu Arabi, memiliki arti yang lebih dalam dan menyimbolkan makna tentang sebuah pintu rahasia menuju penerimaan taubat, Kemurahan dan Welas Asih-Nya.
Ibnu Arabi merujuk pada sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh Dzun-Nun Al-Mishri: “Aku senantiasa berpegang teguh pada pintu Tuhanku sampai Dia menerimaku.”
Inilah makna-dalam dari dzun-nun: sebuah skema keteguhan hati yang sangat kuat memohon Kemurahan-Nya, yang di dalam Al-Qur’an disimbolkan melalui kisah Nabi Yunus ketika beliau a.s. tetap teguh kukuh berpegang pada pintu Tuhannya (“laa ilaha illa anta, subhanaka, inni kuntu minadz-dzalimin” — tiada tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang dzalim) meski terpenjara di dalam perut ikan, hingga kemudian taubatnya diterima: “Kami memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari al-gham” (Q.S. Al-Anbiyaa’ [21]:87-88).
”Al-Gham” di ayat tersebut dalam bahasa Arab merujuk pada suatu kondisi duka nestapa karena suatu kegelapan yang amat sangat: di dalam perut ikan, di tengah hamparan samudera yang luas, dan pada malam hari di mana tiada secercah cahaya pun yang masuk. Kedua tokoh ini, yang sama-sama dijuluki “Dzun-Nun”, adalah para pejalan di pintu nun tersebut. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa berpegang teguh pada pintu keridhaan-Nya meski melalui kehidupan yang gelap gulita, al-gham karena kegelapan yang berlapis-lapis bagaikan tercelup di dalam dawat (nun) berisi tinta hitam pekat: sebuah pintu rahasia penerimaan taubat, yang terhubung langsung pada Kemurahan dan Welas-Asih-Nya — karena dari “tinta” kegelapan itulah Dia berkenan hadir dan “menuliskan” asma-asma-Nya yang tiada berbatas.
وَذَا النُّونِ إِذ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ أَن لَّن نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَىٰ فِي الظُّلُمَاتِ أَن لَّا إِلَـٰهَ إِلَّا أَنتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
فَاسْتَجَبْنَا لَهُ وَنَجَّيْنَاهُ مِنَ الْغَمِّ ۚ وَكَذَٰلِكَ نُنجِي الْمُؤْمِنِينَ
“Dan (ingatlah kisah) Dzun-Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya, maka ia menyeru dalam keadaan yang sangat gelap: “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang dzalim.” Maka Kami telah memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari ‘al-gham’ (duka karena kegelapan yang amat sangat). Dan demikianlah Kami selamatkan orang-orang yang beriman.” — Q.S. Al-Anbiyaa’ [21]: 87-88
Ajaran Dzun Nun
Buya Hamka, dalam bukunya “Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya”, mengulas sekelumit tentang pokok-pokok ajaran tokoh sufi yang luar biasa ini.
Dzun-Nun Al-Mishri banyak menambahkan jalan untuk menuju Allah dan memiliki pemahaman yang sangat dalam tentang konsep ma’rifat (mengenal Allah). Apa yang beliau tuju adalah “mencintai Allah, membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang telah diturunkan, dan takut akan terpaling jalan.”
Ketika ditanya apa sesungguhnya hakikat cinta tersebut, Beliau menjawab: “Bahwa engkau cinta apa yang dicintai Allah, engkau benci apa yang dibenci-Nya, engkau memohonkan ridha-Nya. Engkau tolak apa-apa yang merintangimu dari jalan menuju Dia. Engkau tidak takut akan kebencian orang yang membenci. Engkau tidak mementingkan diri dan melihat diri sendiri, oleh karena dinding yang sangat tebal untuk melihat-Nya adalah lantaran engkau melihat diri sendiri.”
“Orang yang arif adalah orang yang bangga dalam kefakirannya. Bila disebutkan asma Allah, ia bangga. Bila disebutkan nama dirinya, ia merasa fakir.”
“Bukanlah orang yang ‘berisi’ (berpengetahuan) orang yang sungguh-sungguh menuntut dunia, sementara meringankan urusan akhiratnya. Bukan orang yang lekas marah di waktu harus memaafkan, dan takabbur ketika harus tawadhu’. Bukan orang yang kehilangan taqwa karena labanya, bukan orang yang marah ketika mendengar ia diperkatakan, dan bukan orang yang zuhud pada perkara yang disukainya saja, dan bukan orang yang meminta orang lain mementingkannya. Bukan orang yang lupa akan Allah di tempat taatnya, dan mengingat Allah hanya di waktu hajat kepada-Nya. Bukan pula orang yang mengumpulkan berbagai ilmu mengenal Tuhan tapi lebih mendahulukan hawa nafsunya. Bukan pula orang yang sedikit malunya di hadapan-Nya padahal Allah tetap menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya (yakni syaithan). Bukan orang yang tak sanggup membuat muru’ah (menjaga martabat dan budi pekerti sehingga tidak janggal atau salah dalam pergaulan) menjadi pakaian, adab menjadi perisai, dan taqwa menjadi perhiasan. Bukan pula orang yang mengambil ilmu pengetahuan hanya untuk berbangga dan menyombongkan diri dalam majelisnya.”
Cinta kepada Allah
Dikisahkan pula, suatu hari Dzun-Nun bertemu dengan seorang Rahib. Beliau bertanya pada Rahib itu, “Apa arti cinta menurut pendapat tuan?” – sebab seorang sufi besar tiada akan enggan menerima hikmah dari orang lain, meski berbeda agama.
Rahib itu pun menjawab, “Cinta sejati tak mau dibelah dua. Kalau cinta telah tertumpah pada Allah, tidak ada lagi cinta kepada yang lain. Kalau cinta tertumpah pada yang lain, tidaklah mungkin disatukan cinta itu kepada Allah. Sebab itu tafakurlah, selidiki dirimu, siapakah yang lebih engkau cintai!”
Lalu Dzun-Nun meminta pula diterangkan tentang inti sari cinta. Rahib itu menjawab, “Akal pergi, air mata jatuh, mata tak mau tidur, rindu dendam memenuhi jiwa, dan kecintaan berbuat sekehendaknya.”
Setelah itu, kata Dzun-Nun pula, “Kami pun berpisah. Beberapa masa kemudian ketika aku menunaikan haji di Mekkah, kulihat Rahib itu sedang thawaf. Kutemui dia, dan tubuhnya tampak lebih kurus dari dahulu. Dia berkata kepadaku, “Hai Abu‘l Faidh! Janji perdamaian telah ditandatangani, pintu pun telah terbuka, dan Dia telah menganugerahiku jalan memilih Islam. Sebab apa yang kukatakan kepadamu tempo hari adalah kata-kata yang rupanya oleh bumi tak terpikul dan oleh langit tak tertahan, bukit pun tak dapat menanggungnya. Hanya laki-laki yang tabah!”
Kesimpulan ajaran Beliau adalah sebuah kunci kehidupan di dunia, yakni berjalan pada garis yang ditentukan dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, dan menjadi insan yang takut terpaling dari garis ketentuan itu karena menuruti hawa nafsu dan syahwat. Kata Beliau pula, “Alamat cinta kepada Allah adalah mengikuti langkah Muhammad SAW dalam mencintai-Nya, baik dalam budinya atau perbuatannya, menuruti titahnya dan menghentikan apa-apa yang dilarangnya, dalam garis yang ditentukan-Nya.”
Taubat dan Ma’rifat
Taubat menurut Beliau ada dua macam: “Taubat orang awam, yakni dari dosa; dan taubat orang khawash (khusus), yaitu dari kelalaian.”
Ma’rifat pun ada tiga macam. Ma’rifat mukmin biasa, ma’rifat ahli bicara (mutakallimin) dan hukama (filsuf), dan ma’rifat Waliullah yang dekat kepada Allah dan kenal akan Allah dalam hatinya. Ma’rifat inilah yang setinggi-tinggi martabat.
Dalam pembagian ini, jelaslah ketiga jenis ma’rifat itu. Orang mukmin-biasa mengenal Allah karena memang demikianlah ajaran yang diterimanya. Orang filsuf dan mutakallimin mencari Allah dengan perjalanan akalnya. Dan oleh perhitungan akal dan manthik, maka sampailah mereka kepada adanya, tapi belum tentu dirasakan lezatnya. Tapi orang-orang Muqarrabin, mencari Allah dengan pedoman cinta. Yang lebih diutamakan adalah ilham, atau faidh (limpah kurnia Allah), atau kasyaf (dibuka Allah hijab batin dalam alam keruhanian). Di sana, akal tak berjalan lagi, karena sampai di derajat mustawa (bersemayam).
Pernah ditanyakan orang kepada Beliau, “Dengan jalan apa engkau mengenal Tuhanmu?” Beliau menjawab, “Aku mengenal Tuhanku adalah dengan Tuhanku sendiri. Kalau bukan Tuhanku, tidaklah aku mengenal-Nya.”
Itulah tauhid yang semurni-murninya.
Beliau pun menambahkan penjelasan tentang cinta, yakni suatu cinta timbal balik antara Khalik dengan makhluk, antara yang mencintai dengan yang dicintai. Dengan cinta seperti inilah si hamba tertarik, lebih dari tarikan besi berani kepada besi biasa, kian lama kian mendekat kepada yang dicintai itu sehingga akhirnya “bersatu”, tenggelamlah zatnya ke dalam zat Tuhannya.
Ajaran ini hanya dapat dirasakan setelah menempuh tingkatan-tingkatan (maqam) tertentu. Begitulah menurut Beliau, cinta semacam ini hanya dapat dirasakan, dan sia-sia kalau diajarkan – harus dirahasiakan dari orang yang hanya mengenal arti cinta secara maddi (yang disaksikan oleh panca indera).
Pandangan cinta dan pengertian (mahabbah dan ma’rifat) inilah yang meninggalkan jejak yang sangat nyata bagi para tokoh besar tasawuf yang datang kemudian, seperti Tustari (wafat 898 M), Al-Nakhsyabi (wafat 859 M), Ibnu Al-Jalaak dari negeri Syam yang pernah belajar sendiri kepada Beliau, dan Al-Khazzaar (wafat 901 M) salah seorang sahabat Beliau. Wallahu a’lam. [ ]
Jika ingin membaca langsung, sila masuki link asli:
https://www.qudusiyah.org/id/blog/2015/11/04/dzun-nun-al-mishri/
Keterangan:
Tulisan ini disarikan dan diperkaya dari buku “Tasauf: Perkembangan dan Pemurniannya, Bab “Zin-Nun”, karya Prof. Dr. Hamka, 1983 Pembahasan tentang makna “dzun-nun” dan huruf nun adalah dari Kitaab “Al-Miim, wa Al-Waw, wa Al-Nun” karya Ibnu Arabi