Menurut Isaacson, untuk buku ini pun ia tetap memakai resep yang sama dengan buku-buku dia sebelumnya. “Peraturan No. 1 bagi seorang penulis biografi adalah, bahwa hal itu dimulai sejak masa kanak-kanak,” kata Isaacson di akun “X”-nya. “Ayah Elon Musk menanamkan semangat padanya, sekaligus sifat buruknya, dimulai sejak usia dini…”
JERNIH–Setiap negara ternyata punya “Alberthiene Endah”-nya sendiri. Di Amerika Serikat, meski terkesan lebih selektif, ada nama besar Walter Isaacson, yang diketahui publik telah merilis biografi laris Leonardo Da Vinci, Albert Einstein, Henry Kissinger, serta Steve Jobs. Kini, Isaacson baru saja merilis biografi terbarunya tentang kisah hidup bilioner terkemuka Elon Musk.
Untuk “Elon Musk” yang terbit musim gugur ini, Isaacson mengaku menghabiskan waktu dua tahun, mendampingi, bertanya, mengendapkan dan menuliskan salah satu CEO paling terkemuka dan kontroversial saat ini. Apa yang didapatnya penulis papan atas dunia itu tentu akan menarik disimak.
Misalnya, ternyata tokoh yang sangat memengaruhi Musk dalam menjalankan manajemen di grup operusahjaannya itu tak lain dari Napoleon Bonaparte. “Le Petit Caporal” (Kopral Kecil, julukan Napoleon) itulah yang menurut Issacson berdasarkan pengakuan Musk, yang banyak memberikan inspirasi, termasuk dalam mengelola Tesla, Space-X, perusahaan infrastruktur The Boring Corporation, bahkan “X” yang dulu bernama Twitter. “Elon Musk banyak mempelajari kehidupan Napoleon Bonaparte untuk mendapatkan inspirasi kepemimpinan,” kata Isaacson dalam beberapa wawancara mutakhirnya.
“Dia percaya bahwa bilamana Napoleon berada, di situlah pasukannya akan melakukan yang terbaik. Jadi dia suka muncul larut malam di jalur perakitan Tesla dan SpaceX, untuk “menemani” karyawan,” kata Isaacson dalam wawancara dengan Axios.
Musk, kata Issacson, yakin ada banyak pelajaran dunia militer yang dapat diterapkan dalam kehidupan korporasi.
Dalam buku itu Musk mengonfirmasi pernyataan Isaacson. “Jika mereka melihat jenderal mereka berada di medan perang, mereka akan lebih termotivasi,” kata Musk. “Saya mempelajarinya dengan membaca hidup Napoleon.” Tidak heran, bila alih-alih dibuai alunan music, malam-malam Musk malah lebih suka mendengarkan podcast populer “Hardcore History”.
Hal seperti itu buat publik AS–paling tidak, penting. Perhatian warga dunia (sebenarnya mungkin hanya AS) terhadap gaya kepemimpinan Musk semakin meningkat sejak dia mengambil alih Twitter senilai 44 miliar dollar AS, tahun lalu. Pasalnya, segera setelah membeli perusahaan tersebut, Musk langsung melakukan PHK massal, menuntut karyawan yang tersisa menerapkan etos kerja yang “sangat keras” dan membuang logo burung biru ikonik Twitter. Belakangan kita tahu, ia mengganti nama Twitter menjadi hanya satu huruf, “X.”
Musk juga seorang yang sangat anti kerja jarak jauh—Work From Home, WFH. Ia pernah menggambarkan konsep bekerja dari rumah itu sebagai “salah besar secara moral.” Tentu, karena itu ia justru memberlakukan kebijakan kehadiran yang sangat ketat di kantor Tesla dan Twitter—eh, maaf—“X”.
Ada kejadian menarik. Bulan lalu, Esther Crawford, mantan eksekutif Twitter yang terkenal karena diberitakan kedapatan tidur di lantai kantor saat berjuang memenuhi salah satu tenggat waktu Musk, mengatakan bahwa miliarder tersebut seorang pemimpin yang dinamis. Kekurangan besarnya, Musk tidak memiliki empati, dan itu “menyakitkan” bagi orang-orang di sekitarnya.
Jangan salah, meski entah bagaimana Isaacson melihatnya, pekan lalu penulis itu membuat heboh dunia. Ia membagikan tangkapan layar yang dia terima dari Musk sebelum jam 5 pagi waktu setempat, pada hari Minggu. Artinya, bahkan pada Minggu pagi pun Musk sudah terjaga sebelum pukul 5 pagi. Hal yang tampaknya tidak biasa bagi mereka. Padahal bagi marbot masjid, apa istimewanya?
Menurut Isaacson, untuk buku ini pun ia tetap memakai resep yang sama dengan buku-buku dia sebelumnya. “Peraturan No. 1 bagi seorang penulis biografi adalah, bahwa hal itu dimulai sejak masa kanak-kanak,” kata Isaacson di akun “X”-nya.
“Ayah Elon Musk menanamkan semangat padanya, sekaligus sifat buruknya, dimulai sejak usia dini,”kata Isaacson, melanjutkan. Isaacson menulis, Elon dan saudara laki-lakinya, Kimbal, menceritakan kisah-kisah yang vivid dan brutal secara psikologis, serta luka mereka yang tumbuh di masa kanak-kanak itu. Ayah mereka, Errol, menghabiskan waktu berjam-jam memberikan sisinya sendiri dengan paksa.
“Elon, Kimbal, serta ibu mereka, Maye, menggambarkan luka psikologis yang bertahan lama,” tulis Isaacson. Untuk buku itu, selain mengekor Elon kemana dia pergi, Isaacson juga mewawancarai teman-teman, rekan kerja, musuh, dan anggota keluarga Elon Musk.
Sifat Musk memang sedikit urakan dan–sebagaimana para jutawan umumnya, memiliki kontrol diri yang kurang bagus. Misalnya, kencan pertama Elon Musk dengan pasangannya saat ini–Claire Elise Boucher, penyanyi, penulis lagu, produser rekaman, dan artis visual Kanada yang dikenal di industri musik sebagai Grimes—termasuk mengendarai Tesla dalam kecepatan tinggi dengan mata tertutup pada mode autopilot.
Tentang Grimes, penyanyi itu menjadi lebih terkenal setelah memasuki kehidupan Musk. Namun sebelumnya pun ia tidak bisa dibilang bukan siapa-siapa. Sejak album ketiganya, “Visions”, yang dirilis 2012, nama Grimes cukup melambung dan menerima banyak penghargaan.
Elon Musk dan Grimes pertama kali terkoneksi pada Mei 2018. Sejak itu, dalam hubungan yang putus-sambung, mereka dikaruniai dua anak. Seorang putra bernama X Æ A-Xii pada Mei 2020, dan seorang putri bernama Exa Dark Sideræl melalui ibu pengganti, pada Desember 2021. [The New York Times]
“Elon Musk”—Walter Isaacson–Simon & Schuster (September 12, 2023)–688 pages–ISBN13: 9781982181284–$35