Sebuah catatan yang ditulis Winner tentang keinginannya untuk “membakar Gedung Putih” dianggap sebagai bukti niat jahat. Pemerintah menghilangkan sisi “ha, ha” yang ditulis Winner mengikuti keinginannya untuk membakar Gedung Putih itu. (Winner bahkan sempat bertanya-tanya, akankah nasibnya lebih baik bila menggunakan “lol jk” dibanding “ ha ha”.
Di buku ini, Howley lebih dalam mengeksplorasi bagaimana erosi privasi telah memicu teori konspirasi dan negara yang menerapkan ‘keamanan nasional’ secara ketat.
Para tokoh yang diulas dalam buku ini beraneka ragam. Ada penulis hebat, pengungkap kebenaran (whistle blower), pejuang HAM, tentara dan sebagainya. Seperti lazimnya kita semua, mereka pun telah meninggalkan jejak diri mereka sendiri di eter digital dengan bertelepon, mengirim SMS atau pesan WA, mencari sesuatu secara online, dst. Kenyamanan tertentu yang kita nikmati saat ini telah begitu mudah sehingga kita secara refleks mempercayai perangkat kita dipenuhi beragam rahasia biasa namun intim: gosip obrolan di grup, jumlah langkah yang diambil, produk selfie-selfie “bodoh” dan sebagainya.
“Ini adalah takdir kita untuk hidup di zaman yang tak terhapuskan,” tulis Howley. Alhasil buku ini sejatinya bercerita tentang negara yang menerapkan system keamanan nasional ketat, dan orang-orang yang terjerat di dalamnya. “Yang terbaik adalah mengambil foto lain. Terus membangun database. Lemparkan ke awan, apa pun itu,” tulisnya, terdengar pesimistis.
Howley adalah seorang penulis untuk majalah bergengsi, The New Yorker dan penulis “Thrown” (2014), sebuah buku tentang pegiat seni bela diri campuran (Mixed Martial Arts/MMA) yang nyata, namun diwakili figur bikinannya, Kit, seorang mahasiswa filsafat. Dalam “Bottoms Up” Howley menarasikan kisah-kisahnya dengan cara sama. Ceritanya nyata, sementara figur tampaknya bikinan untuk menjaga keamanan sumber.
Menurut Jennifer Szalai, kritikus buku nonfiksi The New York Times, “Bottoms Up” adalah buku yang memukau, lucu. Howley menulis tentang privasi yang kian absen dalam kehidupan kita; tentang bagaimana menyembunyikan ‘rahasia’, tentang kebocoran, juga pengkhianatan. Tetapi ia pun menulis hal-hal ganjil dalam kehidupan, serta bagaimana hal itu dibuat flat dan dikodifikasi menjadi data yang bisa diubah menjadi potret makhluk yang statis dan permanen—makhluk yang tidak akan mampu kita kenali.
“Dengan aliran informasi yang tak ada habisnya, muncul kemampuan untuk mencabut informasi dari konteksnya guna menceritakan kisah yang sangat cocok dengan keinginan si pencerita, terbebas dari rumitnya realitas,”tulis Howley. Seolah melawan slide propaganda, “Bottoms Up” berupaya mengembalikan informasi ke konteksnya, menangkap sebanyak mungkin tekstur realitas, menunjukkan kepada kita betapa yang terjadi kini sedemikian membingungkan.
Dia memperkenalkan ulang kepada kita pada tokoh-tokoh seperti Edward Snowden, Julian Assange, Chelsea Manning, dan John Walker Lindh. Kita bisa meninjau kembali kasus John Kiriakou, mantan agen CIA yang mengungkapkan di televisi bahwa pemerintah Amerika telah melakukan penyiksaan waterboard kepada banyak tahanan. Kiriakou kita ketahui kemudian dihukum karena dianggap membocorkan rahasia negara. Belakangan dia bekerja di perusahaan propaganda Rusia, Sputnik Radio.
Tapi inti dari buku ini adalah kisah tentang-–katakan namanya–Reality Winner, yang baru berusia sembilan tahun pada saat 9/11 terjadi. Kehidupan Winner laiknya titik pertemuan sejumlah tema buku. Dia bergabung dengan Angkatan Udara AS pada usia 18 tahun, menjadi ahli bahasa “Dari” dan “Pashto”—rumpun bahasa terkemuka Afghanistan—dan kemudian bekerja sebagai kontraktor Badan Keamanan Nasional (National Security Agency/NSA). Pada tahun 2017 dia ditangkap karena mengirimkan lima halaman cetak informasi rahasia ke media AS, “The Intercept” yang merinci upaya Rusia untuk ikut campur dalam Pemilu AS 2016.
Howley mengenal Winner dan keluarganya, dan menggambarkannya sebagai seorang wanita muda yang “mengambil ide secara utuh, tidak paham konteks sosialnya, dan karena itu secara radikal terbuka untuk berdebat”. Winner bekerja sebagai penerjemah program drone sambil mengajar yoga dan mengkhawatirkan pemanasan global. “Dia tidak bekerja dalam tim,” tulis Howley. Buku itu menunjukkan bahwa inilah–fakta bahwa tidak ada yang dilakukan Winner sesuai dengan narasi “pihak tertentu”— yang akhirnya membuatnya terlibat masuk persoalan.
Winner mengirimkan informasi rahasia itu ke “The Intercept” karena dia melihat beberapa jurnalisnya skeptis soal tuduhan tentang campur tangan Rusia itu. Winner ingin menunjukkan kepada mereka bukti kuat campur tangan tersebut.
Di buku itu Howley menjelaskan, selangkah demi selangkah, bagaimana “The Intercept” tak hanya ceroboh menangani kelima halaman rahasia tersebut. Media itu juga lalai dalam berkonsultasi dengan pakar keamanan digital kelas satu, yang akhirnya menunjukkan dokumen tersebut ke NSA untuk verifikasi. Jelas, media itu telah mengkhianati sumbernya.
“Sangat disayangkan Reality Winner, bahwa audiens yang mungkin paling tertarik dan tergerak oleh kasusnya itu sebagian besar ditangkap karena publikasi yang memalukan (dari “The Intercept”),” tulis Howley.
Yang juga mengecewakan Reality Winner, pemerintah Amerika justru menggunakan statusnya sebagai pekerja pemerintah Amerika, untuk melawan dirinya. “Itu telah mengajarinya ‘’bahasa’ yang tidak jelas,” tulis Howley, “pengetahuan yang telah didapatnya, sekarang dianggap berbahaya.”
Sebuah catatan yang ditulis Winner tentang keinginannya untuk “membakar Gedung Putih” dianggap sebagai bukti niat jahat. Pemerintah menghilangkan sisi “ha, ha” yang ditulis Winner mengikuti keinginannya untuk membakar Gedung Putih itu. (Winner bahkan sempat bertanya-tanya apakah sesungguhnya dia akan bernasib lebih baik bila menggunakan “lol jk” disbanding “ ha ha”.
Winner dijatuhi hukuman 63 bulan—lima tahun lebih, dan tercatat sebagai “hukuman terpanjang yang pernah dijatuhkan untuk keyakinan tuduhan adanya kecenderungan “Tindakan Spionase”. Pemerintah AS lalu mengumpulkan potongan-potongan dari kehidupan Winner dan memproyeksikan sebuah cerita, yang pada dasarnya menciptakan apa yang disebut Howley “fantasi yang dibangun di atas dasar yang kokoh”.
Perilaku membangun cerita-cerita menyesatkan itu memiliki lebih dari sekadar kemiripan dengan apa yang dilakukan para ahli teori konspirasi. Jadi judul “Bottoms Up and the Devil Laughs“, yang berasal dari video viral tahun 2014 tentang seorang wanita Kristen di sebuah konferensi yang menyatakan bahwa minuman Monster Energy adalah kendaraan Setan, sangatlah pantas. Dari sana, jarak ke mimpi buruk QAnon yang rumit tentang pedofil pemuja Setan, sangatlah dekat.
Keluarbiasaan buku Howley terasa tak terelakkan. Simak pernyataan dari sosok yang kini bukan lagi bukan siapa siapa ini. “Ada kesempatan sekali seumur hidup untuk mengeluarkan komplotan global pemuja Setan ini, dan saya pikir kita memiliki presiden untuk melakukannya,” kata Marjorie Taylor Greene, sekarang anggota kongres dari Georgia, pada tahun 2017.
Howley sendiri skeptis, bahkan munglin lebih buruk dari itu. “Para true believer berbicara tentang Setanisme dengan kefasihan laiknya tukang obat yang membosankan,”kata dia. [dsy/Inilah.com/The New York Times]
BOTTOMS UP AND THE DEVIL LAUGHS | Kerry Howley | 233 hlm. | Alfred A.Knopf | $28