Jernih.co

From Arab Spring to ‘Arab Winter’

“ISIS, dalam beberapa hal, memiliki klaim yang lebih baik, karena memiliki gagasan yang lebih jelas tentang jenis negara dan masyarakat yang ingin mereka ciptakan.”

NEW YORK CITY–Selama hari-hari awal bergulirnya Arab Spring pada 2011, ada momen yang tidak terukur, ketika protes jalanan menjadi sesuatu yang lebih besar daripada sekian ratus ribu massa meneriakkan slogan, membentang poster dan pamphlet. Seluruh bangsa tampaknya bangkit bersatu, bersuara bulat.

Bagi kami yang berada di Lapangan Tahrir, Kairo, ada sesuatu yang terasa sangat kuno. Seolah kami dilemparkan kembali ke era Michelet dan Rousseau, ketika “Rakyat” menjadi padu dalam satu kesatuan. Yel-yel protes yang akhirnya menjadi semacam branding, diteriakkan semua orang, menuntut jatuhnya rezim, tampaknya lebih dekat kepada jiwa kerumunan massa yang mendidih itu, daripada menjadi bagian setiap penulisnya sendiri.

Tidak butuh waktu lama bagi persatuan yang penuh gairah dan semangat itu akhirnya menjadi laiknya tontonan kembang api yang luruh di langit malam. Namun, sesuatu terjadi di Lapangan Tahrir seharusnya tidak sepenuhnya terhapus oleh tragedi yang terjadi kemudian. Dalam “The Arab Winter,” Noah Feldman — seorang profesor hukum Harvard dengan pengalaman signifikan di dunia Arab, mengambilnya sebagai subjek “kedalaman makna politik dari Musim Semi Arab dan konsekuensinya.” Dia berpendapat bahwa pemberontakan berbahaya itu dihentikan sebagai pengalaman yang tidak berarti, bukan hanya karena kekacauan dan teror yang mengikutinya, tetapi karena perasaan luas bahwa mereka tidak meninggalkan residu politik nyata selain dari keberhasilan rapuh Tunisia dalam membangun sebuah demokrasi.

Feldman ingin menyelamatkan Musim Semi Arab dari keyakinan tersirat tentang tak eksisnya momen tersebut. Dia percaya pemberontakan itu menandakan “fase baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pengalaman politik Arab, di mana setiap mereka yang ikut serta terlibat dalam aksi kolektif untuk menentukan nasib sendiri, sesuatu yang tidak dipahami, terutama dalam kaitannya dengan kekuasaan monarki.”

Untuk memahami mengapa ini penting, kita harus ingat bahwa sebagian besar dunia Arab telah berada di bawah kekuasaan satu kerajaan atau yang lain selama dua milenium terakhir, dari Romawi-ke Mamluk-ke Ottoman, lalu ke kolonialis Eropa. Bahkan setelah negara-negara Arab mencapai kemerdekaan pada pertengahan abad ke-20, politik mereka sebagian besar dikuasai oleh persaingan dan agenda negara adidaya.

Dengan kata lain, pada 2011 orang-orang Arab akhirnya membuang sikap patuh mereka yang menyejarah itu. Semua orang bicara. Feldman mengakui kesulitan menyamakan serangkaian protes jalanan yang kacau, dengan negara yang berpenduduk hampir 100 juta orang (dalam kasus Mesir). Namun dia mengatakan, pidato revolusioner semacam ini sangat berarti karena rezim lama– di Mesir dan di tempat lain, sangat jelas tidak mewakili kehendak rakyat. Merujuk tulisan-tulisan Hannah Arendt, ia berpendapat bahwa orang-orang yang turun ke alun-alun pada protes pada 2011 itu “bertindak sebagai agen masa depan politik mereka sendiri.”

Ini adalah klaim yang berani, dan Feldman mengeluarkan konsekuensinya dengan cara yang menarik dan persuasif. Dia mengakui bahwa tragedi adalah akibat wajar dari kebangkitan politik ini di hampir setiap tempat terjadinya revolusi. Di Mesir, banyak pengunjuk rasa yang berdemonstrasi di Lapangan Tahrir, melakukannya lagi pada 2013 terhadap presiden pertama mereka yang dipilih secara bebas, pemimpin Ikhwanul Muslimin Mohamed Morsi. Pemberontakan kedua itu menghasilkan–seperti yang diketahui banyak orang, justru pengambilalihan kekuasaan oleh militer dan kembalinya kediktatoran.

Namun Feldman berpendapat bahwa dalam contoh kedua ini, “orang-orang” berbicara sama pastinya dengan apa yang mereka lakukan pada yang pertama: Pada 2013 itu “publik Mesir menolak demokrasi konstitusional, dengan cara megah, terbuka dan dalam pelaksanaan kehendak demokratis.” Hasilnya: otokrasi yang lebih represif daripada yang Mubarak lakukan sebelumnya.

Tragedi terus berlanjut, terutama di Suriah, di mana banyak penduduk tampaknya “berbicara” melawan rezim Assad dalam protes awal tanpa kekerasan di negara itu. Tetapi perpecahan internal Suriah jauh lebih beracun, dan ilusi suara kolektif dengan cepat runtuh ke dalam perang. Feldman menyimpulkan, bahwa terlepas dari peran destruktif kekuatan asing dalam perang itu –termasuk Amerika Serikat–tanggung jawab pada akhirnya terletak pada warga Suriah, yang telah membuat keputusan penting untuk bangkit secara massal seperti sesama orang Arab lainnya. Kesimpulan ini akan membuat marah beberapa orang. Setelah menulis buku saya sendiri tentang pemberontakan Arab dan konsekuensinya, saya cenderung menyetujuinya.

ISIS–dalam perhitungan Feldman, juga memenuhi syarat sebagai ekspresi otentik dari kehendak politik kolektif. Penciptanya “berusaha untuk bertindak sebagai agen dalam politik sama seperti para demonstran Musim Semi Arab yang damai atau mereka yang mengangkat senjata melawan rezim yang menindas.” Dalam beberapa hal, mereka memiliki klaim yang lebih baik, karena memiliki gagasan yang lebih jelas tentang jenis negara dan masyarakat yang ingin mereka ciptakan.

Mensurvei semua pembantaian ini, orang mungkin menyimpulkan bahwa upaya Feldman untuk melihat sebuah lembaga politik atau sejarah baru dalam gerakan protes Arab adalah tindakan yang berbahaya, suatu dukungan awal dari jenis tindakan politik revolusioner yang seringkali berakhir dengan bencana. Saya ingat pernah mendengar para pemrotes muda Kairo menolak seruan untuk pemilihan awal tahun 2011 dengan mengajukan “legitimasi revolusioner” mereka sendiri— sebuah frasa yang seharusnya membuat darah siapa pun menjadi dingin. Revolusi memiliki kebiasaan memakan anak-anak mereka sendiri, dan akibatnya sering kali mendukung pandangan yang berlawanan: bahwa politik harus dipandu oleh penghormatan terhadap kesinambungan dan tradisi, meskipun ada berbagai jenis ketidakadilan yang dibawa oleh prinsip-prinsip tersebut. Ini adalah inti dari risalah Edmund Burke tahun 1790 “Refleksi tentang Revolusi di Prancis,” yang menjadi teks pendiri konservatisme politik modern.

Burke tidak memiliki padanan di dunia Arab saat ini, tetapi beberapa akan melihat gema dari pandangannya pada Mohammed bin Zayed, penguasa de facto Uni Emirat Arab, seorang tradisionalis yang cerdik yang telah memimpin kampanye untuk menjinakkan energi revolusioner dari pemberontakan 2011. Feldman tidak menyebutkan bin Zayed, tetapi ia mengakui bahwa tragedi kejatuhan Musim Semi Arab memberikan kredibilitas pada pandangan Burkean.

Pada akhirnya, Feldman membelok dari perspektif konservatif ini, dan ia melakukannya dengan menyoroti keberhasilan politik demokratis di Tunisia. Di sana, orang-orang menyuarakan keinginan kolektif mereka untuk perubahan, tetapi ketika konfrontasi gaya Mesir mengancam pada 2013, kamp-kamp Islamis dan sekuler negara itu dapat mencapai kompromi bersejarah karena Tunisia “tidak berfantasi bahwa seseorang atau sesuatu yang lain akan menyelamatkan mereka – bukan diktator, bukan negara asing dan bukan Islam itu sendiri.”

Satu-satunya latihan yang oleh Feldman disebut sebagai “tanggung jawab politik” ini menempatkan tragedi Arab yang lebih luas dalam sudut pandang yang berbeda, mengisyaratkan kemungkinan penebusan: “Apa yang terjadi di sana bisa saja terjadi di tempat lain, tetapi tidak.”

Saya berbagi kekaguman Feldman untuk kompromi yag dilakukan Tunisia, tapi saya pikir dia terlalu optimis tentang maknanya. Tunisia sangat berbeda dari negara-negara lain di mana pemberontakan terjadi: tidak ada minyak, tidak ada etnis besar atau minoritas agama, tentara yang apolitis dan sejarah yang jauh tidak brutal. Sayangnya, tragedi yang berkelanjutan di negara-negara Arab lainnya lebih seperti jenis Yunani klasik. Mereka sepertinya akan terus mengasihani diri dan takut (mengambil risiko) untuk waktu yang lama. [Robert F. Worth/ The New York Times]

Robert F. Worth adalah penulis “A Rage for Order”, kontributor The Times Magazine.

‘THE ARAB WINTER: A Tragedy’

By Noah Feldman

216 pp. Princeton University Press. $22.95.

Exit mobile version