Namun, setelah melalui pengolahan cermat, tekun dan sabar, gadung amat potensial sebagai bahan baku aneka macam makanan. Mulai dari “kejo” (nasi) gadung, yang harum merangsang selera makan, hingga keripik gurih lezat untuk “batur ngopi” ( makanan ringan) di waktu senggang.
Oleh : Usep Romli H.M.
Bagi warga pedesaan, gadung bukan benda aneh.Umbi gadung (dioscorea hispida), sudah dianggap sebagai salah satu bahan pangan terpenting di samping beras, jagung, ketela, umbi “boled”, suweg, dan banyak lagi.
Hanya saja umbi gadung mengandung racun amat keras dan berbahaya. Dapat menimbulkan kematian bagi yang gegabah memakannya. Namun, setelah melalui pengolahan cermat, tekun dan sabar, gadung amat potensial sebagai bahan baku aneka macam makanan. Mulai dari “kejo” (nasi) gadung, yang harum merangsang selera makan, hingga keripik gurih lezat untuk “batur ngopi” ( makanan ringan) di waktu senggang.
Tanaman gadung biasanya tumbuh liar, tanpa ditanam. Atau dibudidayakan sebagai tanaman tumpang sari, tanpa perlu perawatan tersendiri. Beberapa petani menanam gadung sebagai tanaman sampingan. Tanaman ini dapat dipanen setelah usia 6-12 bulan. Biasanya dilakukan ketika musim kemarau , setelah tanaman lain mulai mati kekeringan. Setiap tanaman bisa menghasilkan 6-12 kg gadung, dengan berat satu umbi bisa mencapai 5 kg.
Gadung merupakan jenis umbi yang mengandung racun dioscorine yang tinggi dan berakibat fatal jika dimakan tanpa proses pengolahan khusus terlebih dahulu. Dengan perlakuan khusus, umbi beracun ini bisa diolah menjadi bahan baku makanan lezat. Warga pedesaan tempo dulu, cukup ahli merawat umbi gadung. Mengupas kulitnya tebal-tebal, mengiris umbinya tipis-tipis. Kemudian dicampur dengan abu dapur, hingga seluruh permukaan terselimuti abu. Abu sisa pembakaran kayu dalam “hawu” (tungku), berfungsi sebagai penetral racun.
Setelah abu meresap, potongan gadung dijemur hingga kering. Lalu direndam dalam air mengalir selama 2-3 hari, hingga keluar lendir, yang kemudian dicuci bersih agar lendir hilang. Dijemur lagi hingga kering, dan malam hari juga dibiarkan di udara terbuka. “Dipoe diibun” selama empat lima hari. Baru diangkat, dan dibersihkan menggunakan daun. Proses selanjutnya tinggal menggoreng hingga jadi keripik, atau ditumbuk dijadikan tepung untuk bahan baku “kejo gadung”, yang sangat berguna menggantikan beras selama musim “nguyang” (paceklik).
Menurut penelitian para ahli, gadung memiliki nilai gizi dan nutrisi cukup tinggi. Kandungan kabrohidrat dan protein lumayan besar. Setiap 100g gadung mengandung energi 102 kal, protein 2.0 g, lemak 0.2 g, karbohidrat 23.3 g, kalsium 20 mg, fosfor 50 mg dan besi 0.6 mg.
Sebagian kecil masyarakat adat di Tatar Sunda, masih ada yang menjaga tradisi membudidayakan gadung. Sebagian mengandalkan gadung liar untuk dimanfaatkan. Keberadaan gadung, baik budidaya maupun liar, menunjukkan kesuburan tanah dan kelestarian lingkungan. Sebab gadung tak dapat tumbuh di atas tanah gersang gundul.
Karena kelangkaannya sekarang, dengan dayatarik rasa lezat gurih, gadung memiliki peringkat lumayan, sebagai “tanaman wisata. Sebagai bahan cendera mata di pusat-pusat wisata terkemuka. Di beberapa warung tradisional masyarakat adat, kadang-kadang masih suka ditemukan “kejo gadung” dijajakan dalam bungkus daun pisang. Cukup disukai para wisatawan baik domestik maupun mancanegara.
Tapi terlepas dari semua itu, gadung merupakan tanaman penting dalam menjaga ketahanan pangan. Dapat berperan sebagai makanan pokok pengganti beras. Juga sebagai pertanda kesuburan tanah dan kelestarian hutan serta alam , masa lalu, yang harus dipertahankan masa kini hingga masa mendatang. [ ]
*Bila tak benar mengolahnya