Jernih –– 10 November dicanangkan sebagai Hari Pahlawan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Begitu banyak kisah perjuangan yang masih terekam dalam ingatan bangsa Indonesia. Salah satu kisah perjuangan yang dilakukan grilyawan Indonesia terjadi di Tatar Galuh.
Pada tahun 1945 sampai 1949 dimasa Ageresi Militer Belanda I, semangat perlawanan terhadap Belanda berkobar disetiap dada naka bangsa. Termasuk para pelajar yang kemudian tergabung dalam Tentara Republik Indonesia Pelara (TRIP) atau disebut juga Tentara Pekajar (TP).
Banyak terjadinya kontak senjata antara Belanda dan Tentara Pelajar yang berlangsung antara bulan Juni 1947 sampai Februari 1948, terutama Di sekitar gunung Sawal menyebabkan gugurnya beberapa orang tentara pelajar yang rata-rata berusia remaja sebagai patriot bunga bangsa. Yaitu : Endang Kachroni, Uyun Yusuf, Sarifudin, Soediono, Totong Belawi, Suptandi, Umar, Abdurachman dan Moch Isya.
Salah satu kisah heroic kegigihan para pejuang kemerdekaan dalam mempertahankan NKRI di wilayah Panjalu dan sekitarnya adalah pertempuran di Sadewata. Wilayah yang berada di ketinggian 700 dpl tersebut sangat strategis untuk dipergunakan sebagai jalur lintas yang menghubungkan antar Panjalu, Kawali dan Panawangan.
Selain itu letaknya yang tinggi, cocok pula untuk dipergunakan sebagai pos pengintai. Dari tempat ini serangan jarak jauh dengan menggunakan mortir maupun canon dapat dilakukan dengan mudah.
Ruyatna Maulana yang dulunya menjabat Kepala Seksi II Datasemen Wehrkreise II Gunung Sawal, menyatakan bahwa pada suatu hari di tahun 1947, Datasemen Weherkreise II Gunung Sawal yang bermarkas di Cigintung Maparah telah mengirim patroli pengamanan.
Namun ditengah perjalanan bertemu dengan patroli belanda sehingga langsung terjadi pertempuran. Mengakibatkan gugurnya 3 orang pejuang pelajar terdiri dari 3 orang bernama Endang Kachroni (siswa SMTA Kl 2), Uyum Yusuf dan Sarifudin (Pemuda Panjalu). Sedangkan Korban dari pihak lawan tidak diketahui.
Beberapa waktu kemudian, Patroli Belanda datang kembali dengan dikawal 3 kendaraan Brencarier (sejenis tank) memasuki desa Sadewata. Karena medan jalan yang sempit dan berliku kendaraan tersebut sedikit terhambat lajunya. Tentara Belandapun memaksa rakyat sadewata untuk membantunya.
“Rakyat banyak yang disuruh melebarkan jalan untuk melancarkan brencarier. Akan tetapi rakyat membangkang, dengan membuang semua perkakas untuk melebarkan jalan. Akibatnya salah seorang warga di rantai oleh Belanda.” Ujar Eman, mantan kepala Desa Sadewata.
Keberadaan pasukan Belanda di Sadewata tersebut segera dilaporkan oleh rakyat ke Datasemen Wk.II G. Sawal. Akhirnya Komandan Datasemen, Kol. Aboeng Koesman segera memberangkatkan 1 pleton pasukan dibawah pimpinan Let.Kol. Ruyatna Maulana, dengan komandan regu bernama Suroyo.
Dibawah penunjuk jalan dari rakyat, peleton berangkat menuju sebuah puncak bukit di blok Kebon Seureuh. Lokasi tersebut sangat ideal untuk melakukan penyergapan, hanya berjarak tembak 300 meter dengan kedudukan Belanda. Saat itu pasukan Belanda dan brencariernya yang posisinya ada di sebelah bawah bukit bernama Gunung Gelembung.
Dalam penyergapan itu salah satu Brencarier Belanda yang diberi nama Happer de Pap lumpuh setelah dipancing oleh Ruyatna dan Soeroyo sehingga menggilas bom. Rantainya putus tidak bisa maju atau mundur, sehingga akhirnya ditinggalkan oleh Belanda dan dibakar oleh Rakyat. Tidak ada kerugian dari pihak pejuang.