Site icon Jernih.co

Hari Ini di 1398, Pasukan Kesultanan Delhi yang Korup dan Keji Dibantai Timurleng yang Biadab

JAKARTA—Hari-hari ini di tahun 1398 adalah hari-hari muram yang menambah jelas tanda-tanda kejatuhan Dinasti Tughlaq yang sejak 1320 memerintah anak benua India. Setelah tanda-tanda kemerosotan ekonomi yang parah, kekalahan Nasiruddin Mahmud memperjelas bahwa kekuasaan Tughlaq akan segera roboh.

Siapakah Dinasti Tughlaq? Dinasti Tughluq, Tughlaq atau Tughluk, adalah dinasti Muslim yang berasal dari Turko-India, yang memerintah kesultanan Delhi di abad-abad pertengahan India. Pemerintahannya dimulai pada 1320 di Delhi, ketika Ghazi Malik naik takhta dengan gelar Ghiyath al-Din Tughluq. Dinasti berakhir pada 1413.

Dinasti Tughlaq memperluas jangkauan teritorialnya melalui kampanye militer yang dipimpin Muhammad bin Tughluq, dan mencapai puncaknya antara 1330 dan 1335. Saat itu Tuglaq sudah memerintah sebagian besar anak benua India.

Etimologi dari kata ‘Tughluq’ tidak pasti. Penulis abad ke-16, Firishta, mengklaim bahwa itu adalah korupsi semantik  dari istilah Turki ‘Qutlugh’, tetapi hal itu diragukan. Bukti sastra, numismatik, dan epigrafi memperjelas bahwa Tughluq adalah nama pribadi pendiri dinasti Ghiyath al-Din, dan bukan sebutan buat leluhurnya. Sejarawan menggunakan sebutan ‘Tughluq’ untuk menggambarkan seluruh dinasti untuk memudahkan. Raja-raja dinasti itu sendiri tidak menggunakan kata ‘Tughluq’ sebagai nama keluarga. Hanya putra Ghiyath al-Din Muhammad bin Tughluq yang menyebut dirinya putra Tughluq Shah (bin Tughluq).

Nenek moyang dinasti ini diperdebatkan banyak kalangan sejarawan modern, karena sumber-sumber sebelumnya memberikan informasi yang berbeda mengenai hal itu. Penyair Istana Tughluq, Badr-i Chach, berusaha menemukan silsilah kerajaan bagi dinasti itu, tetapi ‘karya’ itu dianggap hanya sanjungan. Penyair istana lainnya, Amir Khusrau, dalam ‘Tughluq Nama’-nya, menyatakan bahwa Ghiyath al-Din Tughluq menggambarkan dirinya sebagai orang yang tidak penting (awara mard) di awal karir politiknya.

Sementara penjelajah Muslim asal Maroko, Ibnu Batutah, menyatakan bahwa Ghiyath al-Din Tughluq berasal dari suku Qarauna, berdarah Turki yang berdiam di wilayah perbukitan antara Turkestan dan Sindh. Sumber Ibn Battuta untuk klaim ini adalah santo Sufi Rukn-ud-Din Abul Fateh.

Awal kekuasaan

Sebenarnya Dinasti Khalji telah memerintah Kesultanan Delhi sebelum 1320. Penguasa terakhirnya, Khusro Khan, adalah seorang Hindu yang secara terpaksa masuk Islam dan melayani Kesultanan Delhi sebagai jenderal. Khusro Khan bersama Malik Kafur, memimpin banyak ekspedisi militer atas nama Alauddin Khalji, untuk memperluas kesultanan dengan merebut kerajaan-kerajaan non-Muslim di India.

Setelah kematian Alauddin Khalji karena sakit pada tahun 1316, serangkaian pembunuhan politik pun terjadi. Akhirnya Khusro Khan berkuasa pada Juni 1320,  setelah membunuh putra Alauddin Khalji, Mubarak Khalji. Namun, ia kekurangan dukungan dari para bangsawan dan penghuni Istana. Bangwasan Istana Delhi mengundang Ghazi Malik, waktu itu gubernur di Punjab. Ia diminta memimpin kudeta di Delhi dan menyingkirkan Khusro Khan.  Pada 1320, Ghazi Malik melancarkan serangan dan membunuh Khusro Khan untuk mengambil alih kekuasaan.

Ghiyasuddin Tughlaq

Setelah mengambil-alih kekuasaan, Ghazi Malik mengganti nama dirinya sebagai Ghiyasuddin Tughlaq, dan dengan demikian memulai dan menamai kekuasasannya sebagai Dinasti Tughlaq. Ghiyasuddin Tughlaq juga disebut dalam karya ilmiah sebagai Tughlak Shah, berasal dari Turko-India. Ayahnya seorang budak Turki dan ibunya seorang Hindu.

Ghiyasuddin Tughlaq memerintahkan pembangunan Tughlakabad, sebuah kota dekat Delhi dengan benteng tinggi untuk melindungi Kesultanan Delhi dari serangan Mongol. Di atasnya berdiri benteng Tughlaq, yang sekarang tinggal reruntuhan.

Ghiyasuddin menghadiahi semua malik, amir dan pejabat dinasti Khalji yang telah membantunya berkuasa. Sebaliknya, dia menghukum orang-orang yang telah memberikan pelayanan kepada Khusro Khan, pendahulunya. Dia menurunkan tarif pajak untuk Muslim yang lazim selama dinasti Khalji, tetapi menaikkan pajak pada umat Hindu, tulis sejarawan istananya,  Ziauddin Barani.

Menurut banyak sejarawan seperti Ibn Batutah, al-Safadi, Isami, [2] dan Vincent Smith, [28] Ghiyasuddin dibunuh oleh putranya Ulugh Juna Khanr pada tahun 1325 Masehi. Juna Khan naik ke tampuk kekuasaan sebagai Muhammad bin Tughlaq, dan memerintah selama 26 tahun.

Kekuasaan Ghiyasuddin benar-benar berlumur darah. Penulis sejarahnya, Ziauddin Barni, dalam ‘Tarikh-I Firoz Shahi’ menulis bahwa “…tidak satu hari atau minggu berlalu tanpa tertumpahnya darah kaum Musalman (Muslim)…”

Penggantinya, Muhammad bin Tughlaq, mendirikan kota baru yang disebut Jahanpannah (artinya Perlindungan Dunia), yang menghubungkan Delhi dengan kota lain yang lebih tua, Siri. Ia kemudian memerintahkan agar ibukota kesultanannya dipindahkan dari Delhi ke Deogiri, di negara bagian Maharashtra. Saat ini kota itu bernama  Daulatabad.

Agar kota itu terisi, dia memerintahkan migrasi massal populasi Delhi. Mereka yang menolak, langsung dibunuh. Satu orang buta yang menolak pindah ke Deogiri, diseret selama 40 hari perjalanan. Pria itu meninggal, tubuhnya hancur berantakan dan hanya kakinya yang diikat yang mencapai Deogiri.  Pemindahan ibu kota itu ternyata gagal karena Deogiri tak lebih dari tanah gersang dan tidak memiliki cukup air minum untuk mendukung ibu kota baru. Ibukota kemudian kembali ke Delhi.

Namun demikian, perintah Muhammad bin Tughlaq mempengaruhi sejarah. Sejumlah besar Muslim Delhi yang datang ke daerah Deccan, tidak kembali ke Delhi untuk tinggal di dekat Muhammad bin Tughlaq. Masuknya penduduk Delhi saat itu ke wilayah Deccan menyebabkan pertumbuhan populasi Muslim di India tengah dan selatan.

Pemberontakan terhadap Muhammad bin Tughlaq dimulai pada 1327, berlanjut pada masa pemerintahannya, dan seiring waktu jangkauan geografis Kesultanan menyusut,  khususnya setelah 1335. Kekaisaran Vijayanagara berasal di India selatan langsung menyerang Delhi. Kekaisaran Vijayanagara bahkan membebaskan India selatan dari Kesultanan Delhi.

Pada 1336 Kapaya Nayak dari Musunuri Nayak mengalahkan pasukan Tughlaq dan merebut kembali Warangal dari Kesultanan Delhi. Pada tahun 1338, keponakannya memberontak di Malwa, ditangkapnya untuk disalibkan hidup-hidup. Pada 1339, wilayah timur di bawah gubernur Muslim setempat dan bagian selatan yang dipimpin oleh raja-raja Hindu telah memberontak dan menyatakan kemerdekaan dari Kesultanan Delhi.

Muhammad bin Tughlaq tidak memiliki sumber daya atau dukungan untuk menanggapi kerajaan yang menyusut. Apalagi pada 1347, Kesultanan Bahmanid telah menjadi kerajaan Muslim yang independen dan bersaing di wilayah Deccan di Asia Selatan.

Banyak sejarawan mencatat, koin logam menjadi sebab mendasar Muhammad bin Tughlaq jatuh akibat keruntuhan ekonomi. Muhammad bin Tughlaq adalah seorang intelektual, dengan pengetahuan luas tentang Alquran, fiqh, puisi dan bidang lainnya. Dalam kecurigaan yang parah terhadap para pembantunya sendiri, dia mengambil keputusan yang segera menyebabkan pergolakan ekonomi.

Sebagai contoh, setelah banyak ekspedisi militer mahal untuk memperluas kerajaan, kas negara kosong dari koin logam berharga. Salahnya, ia memerintahkan pencetakan koin dari logam tidak mulia dengan nilai nominal koin perak. Kepurusan ini salah karena orang biasa pun akhirnya mencetak koin palsu dari logam tidak mulia yang mereka miliki di rumah. Akhirnya, ekonomi pun ‘meroket’.

Ziauddin Barni mencatat, orang-orang Hindu mencetak koin uang di rumah-rumah mereka, yang mereka pergunakan untuk membayar upeti, pajak, dan jizyah yang dikenakan pada mereka. Eksperimen ekonomi Muhammad bin Tughlaq menghasilkan keruntuhan ekonomi dan kelaparan yang berlangsung selama hampir satu dasawarsa, dengan korban mayoritas orang-orang di pedesaan.

Sejarawan Walford mencatat Delhi dan sebagian besar India menghadapi kelaparan hebat selama pemerintahan Muhammad bin Tughlaq, pada tahun-tahun setelah percobaan koin logam dasar. Tughlaq memperkenalkan koin token dari kuningan dan tembaga untuk menambah koin perak yang hanya menyebabkan semakin mudahnya pemalsuan. Orang-orang kemudian enggan memperdagangkan emas dan perak karena maraknya kuningan dan perak palsu.  Akibatnya, sultan harus menarik banyak koin dengan, “…membeli kembali barang asli dan barang palsu dengan biaya besar sampai tumpukan koin menumpuk di dinding Tughluqabad.”

Muhammad bin Tughlaq merencanakan serangan terhadap Khurasan dan Irak (Babel dan Persia) serta Cina untuk membawa daerah-daerah ini di bawah Islam Sunni. [44] Untuk serangan Khurasan, sebuah kavaleri lebih dari 300.000 kuda dikumpulkan di dekat Delhi selama setahun, dengan biaya kas negara. Sementara mata-mata yang mengaku berasal dari Khurasan mengumpulkan hadiah untuk informasi tentang cara menyerang dan menaklukkan tanah-tanah itu.

Namun, sebelum dia dapat memulai serangan terhadap tanah Persia pada tahun kedua persiapan, fdia kekurangan uang. Tentara pun menolak pergi tanpa bayaran.

Untuk serangan ke Cina, Muhammad bin Tughlaq mengirimkan 100 ribu tentara ke Himalaya. Namun umat Hindu menutup jalan menuju Himalaya dan memblokir jalan mundur. Cuaca dingin ekstrem dan kurangnya logistic serta jalan pulang menghancurkan pasukan itu di Himalaya. Beberapa prajurit yang kembali dengan berita buruk, langsung dieksekusi di bawah perintah Sultan.

Yang parah, karena tak mampu membayar, Ibnu Batutah mencatat dalam memoarnya bahwa Muhammad bin Tughlaq membayar tentara, hakim (qadi), penasihat pengadilan, wazir, gubernur, dan para pejabat distrik dan lainnya dengan memberi mereka hak untuk memaksa mengumpulkan pajak di desa-desa Hindu. Mereka yang gagal membayar pajak diburu dan dieksekusi. Kesultanan merosot wibawanya lebih dalam lagi.

Akhirnya tibalah 1398, ketika pasukan Turco-Mongol di bawah Timurleng (Tamerlane) mengalahkan empat pasukan Kesultanan. Selama invasi, Sultan Mahmud Khan melarikan diri sebelum Tamerlane memasuki Delhi. Selama delapan hari Delhi dijarah, populasinya dibantai, dan lebih dari 100 ribu tahanan akhirnya dibunuh.

Memoar Ibnu Battuta

Ibnu Batutah bertemu Muhammad bin Tughluq, menghadiahkannya seperangkat panah, unta, tiga puluh kuda, budak, dan barang-barang lainnya. Muhammad bin Tughlaq menanggapinya dengan memberi Ibn Batutah hadiah selamat datang 2.000 dinar perak, sebuah rumah lengkap dan pekerjaan seorang hakim dengan gaji tahunan 5.000 dinar perak yang berhak dipertahankan oleh Ibn Batutah dengan mengumpulkan pajak dari dua setengah Desa-desa Hindu di dekat Delhi.

Dalam memoarnya tentang dinasti Tughlaq, Ibn Batutta mencatat sejarah kompleks Qutb yang mencakup Masjid Quwat al-Islam dan Qutb Minar. Dia mencatat kelaparan selama tujuh tahun dari tahun 1335 M, yang menewaskan ribuan orang di dekat Delhi, sementara Sultan sibuk menyerang pemberontakan.

Ibnu Batutah menulis dalam ‘Travel Memoirs’ (1334-1341). “Tidak satu minggu pun berlalu tanpa pertumpahan darah banyak Muslim. Darah mengalir sebelum pintu masuk istananya. Itu termasuk memotong orang menjadi dua, menguliti mereka hidup-hidup, memenggal kepala dan memajang mereka di tiang sebagai peringatan kepada orang lain, atau membuat tahanan dilemparkan kepada gajah dengan pedang yang melekat pada gading mereka.”

Atau dalam bab 15 ‘Rihla’,” Sultan terlalu siap untuk menumpahkan darah. Dia menghukum kesalahan kecil dan besar, tanpa menghormati orang. Apakah orang yang terpelajar, salih atay berstatus. Setiap hari ratusan orang dirantai, dijepit, dan dibelenggu, dibawa ke aula ini. Mereka yang harus dieksekusi dibunuh, disiksa dengan siksaan, dan mereka yang harus dipukuli, dipukuli.”

Ibnu Batutah menulis tentang hukuman yang dijalani seorang ulama, Syekh Shinabuddin. Ia dihukum karena dicurigai memberontak. “Pada hari keempat belas, Sultan mengiriminya makanan, tetapi dia (Sheikh Shinab al-Din) menolak untuk memakannya. Ketika Sultan mendengar ini, dia memerintahkan agar syekh itu diberi makan kotoran manusia (yang dilarutkan ke dalam air). (Para petugas) menyebarkannya di punggung sang syekh, memaksanya membuka mulut, dan menjejalkannya. Pada hari berikutnya, dia dipenggal.” (Ibn Battuta, Travel Memoirs (1334-1341, Delhi). [  ]

Exit mobile version