JAKARTA— Setiap usai subuh, pelataran Masjidil Haram biasanya masih dipenuhi jamaah dengan segala aktivitasnya. Apalagi di musim haji. Ada yang berkelompok membentuk khalaqah, lalu seseorang maju dan memberi nasihat dakwah. Ada yang menyepi, berdzikir menikmati kesendirian, selain tak jarang yang mulai mengisi perut, bersarapan dengan roti pipih yang dibawa dari penginapan.
Namun pagi 20 November 1979 itu lain. Suasana tiba-tiba dilanda gaduh. Sekelompok bersenjata yang kemudian diketahui dipimpin Juhaiman al-Utaibi, seorang da’i dan mantan kopral tantara elit Arab Saudi, Garda Nasional, menduduki Masjidil Haram. Juhaiman menyatakan bahwa Imam Mahdi—yang dinantikan sebagian kaum Muslim, telah datang dalam diri kakak iparnya, Abdullah Hamid Muhammad Al-Qahtani. Karena itu ia menyerukan umat Islam untuk mematuhi dan bersiap berada di belakang Sang Mahdi.
Imam Masjidil Haram saat itu, Syekh Muhammad bin Subail, dengan cerdas melakukan hal yang tepat. Ia segera bergabung bersama rombongan asal Indonesia yang sebagaimana setiap jamaah lainnya, dilanda galau nan resah. Mereka tak pernah memimpikan akan berada di bawah moncong senjata, apalagi saat berada di tanah paling suci: Masjidil Haram. “Juhaiman tak memerlukan orang Indonesia yang tak paham bahasa Arab dan pasti pula tak paham rencana besarnya. Mereka membiarkannya pergi tanpa gangguan…,” demikian ditulis penulis Rusia, Yaroslav Trofimov, dalam buku yang kemudian mendunia, ‘Kudeta Mekkah’.
Saudi seketika dilanda kalut. Pemerintah Saudi yang tak hendak kehilangan muka disaksikan semua mata dunia, segera menutup semua sambungan telepon internasional. Informasi yang beredar segera bersimpang-siur. Amerika Serikat kontan mengira Iran—yang sejak lama mengkampanyekan internasionalisasi Mekkah, berada di balik serangan itu. Sementara Iran dan sejumlah negara lainnya menuding AS; sehingga kantor kedutaan besar AS di Islamabad, Pakistan, Teheran, dan Tripolikontan menjadai sasaran serbuan demonstran.
Pelan namun pasti kabar pun menyebar ke seluruh dunia. Pemerintah Indonesia segera mengeluarkan pernyataan yang mengutuk penyerbuan ke Masjidil Haram. Pemerintah juga meminta seluruh masyarakat Indonesia, khususnya keluarga jemaah haji, untuk tenang, sabar, serta berdoa agar semua jemaah haji Indonesia pulang dengan selamat.
Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara segera memerintahkan Hadi Thayeb, duta besar Indonesia di Jeddah, mengambil langkah-langkah strategis. Thayeb lantas memerintahkan Tatang Muchtar, kepala perwakilan KBRI di Mekah, untuk mengevakuasi jemaah dari Masjidil Haram. Perintah pun diberikan kepada Abdurrahim, petugas musiman di Tim Pengurusan Haji Indonesia (TPHI) di Mekah.
Abdurrahim, yang fasih bahasa Arab, memasuki Masjidil Haram guna menemui jemaah Indonesia dan menuntun mereka keluar lewat lubang angin. Dia mengeluarkan setidaknya 400 orang jamaah. Dengan truk-truk tentara, yang diperoleh setelah Thayeb mengajukan permohonan kepada menteri urusan haji Saudi, jemaah Indonesia keluar dari Mekah.
Setelah upaya yang gagal, pemerintah Saudi akhirnya menerima tawaran bantuan dari pasukan khusus Prancis (GIGN). Pada bukunya, Trofimov menulis, setiap serdadu GIGN itu bersyahadat di atas helicopter yang membawa mereka terbang di atas Ka’bah, sebelum terjun dengan parasut. Pada 3 Desember 1979, Masjidil Haram akhirnya bisa dikuasai. Juhaiman dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dieksekusi mati.
Akibat pendudukan Masjidil Haram, jatuh banyak korban. Dari Indonesia, seorang jemaah bernama Ismail bin Kamil asal Tangerang tewas terkena peluru yang memantul dari tank tentara kerajaan Saudi. Seorang mahasiswa yang diperbantukan kepada PHI dan seorang jemaah haji terluka. Pendudukan itu juga menyebabkan jemaah haji Indonesia tak bisa berziarah ke masjid dan makam Nabi di Madinah serta melakukan tawaf wada (tawaf perpisahan) di Ka’bah. Rencana pulang ke Tanah Air juga molor.
“Ada 127 tewas ebagai korban militer dari Arab Saudi, dan 451 terluka, 117 pemberontak tewas, 26 haji meninggal, 110 orang yang terluka mulai dari Indonesia, Afganistan hingga Nigeria,” tulis Trofimov.
Juhaiman dieksekusi mati. Kepalanya dipenggal terpisah dari leher. Namun terbukti pengaruh Juhaiman tak pernah mati. Salah satu yang menghidupkan semangatnya adalah Usamah bin Ladin. Sejarah juga mencatat, pendudukan Ka’bah dan Mekkah itu membuat Usamah terpana dan api pun perlahan membara di hatinya. Dialah yang di kemudian hari membangun kelompok Al-Qaidah. [dsy]