Ketika masih terdapat polemik berkepanjangan, Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja keburu menuangkan SK 23 Februari 1956 terhadap hasil penelitian Soekanto. Hal tersebut pernah membuat heran para peneliti sejarah dan pejabat negara, termasuk Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Sewaktu menghadiri perayaan pertama hari ulang tahun Jakarta, PM Ali setengah mengejek “peringatan ganjil” itu.
JERNIH– Penetapan hari jadi Jakarta setiap 22 Juni didasarkan atas perhitungan Prof. Soekanto bahwa nama Jayakarta, cikal bakal nama Jakarta itu, diberikan pada 22 Juni 1527. Dia menafsirkannya berdasarkan penanggalan Islam, berbeda dengan beberapa pakar sebelumnya yang menggunakan penanggalan Hindu Jawa. Titik tolak pendapat Soekanto adalah pranatamangsa, yakni penanggalan yang berhubungan dengan pertanian di Jawa. Menurut Soekanto, nama Jayakarta sebagai pengganti Sunda Kalapa diberikan pada “tanggal satu mangsa kesatu”, yakni pada 22 Juni 1527, saat masa panen berlangsung (“Dari Djakarta ke Djajakarta”, 1954).
Pendapat Soekanto mendapat tentangan dari Prof. Hoesein Djajadiningrat. Dia mengatakan bahwa pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta terjadi pada 17 Desember 1526. Peristiwa itu bertepatan dengan perayaan Maulud 12 Rabiulawal tahun 933 H. Perayaan Maulud tersebut jatuh pada hari Senin, bertepatan dengan lahir dan wafatnya Nabi Muhammad yang juga jatuh pada hari Senin (“Hari Lahirnja Djajakarta”, Bahasa dan Budaya, V (1), 1956: 3-11).
Pendapat lain disampaikan Prof. Slamet Muljana. “Belum ada data sejarah pasti untuk membenarkan salah satu hipotesis tersebut,” katanya. Menggunakan acuan kitab “Carita Purwaka Caruban Nagari” (PCN), Muljana menguraikan bahwa pada zaman Sultan Hasanuddin (mulai memerintah Banten pada 1552), dia mengangkat menantunya Ki Bagus Angke menjadi bupati Sunda Kalapa.
“PCN” selanjutnya mengatakan bahwa Ki Bagus Angke mempunyai putra bernama Sungarasa Jayawikarta. Nama Jayawikarta ternyata dicatat pula dalam salah satu Babad Banten, namun dengan nama Pangeran Wijayakarta (“Dari Holotan ke Jayakarta”, 1980).
Pangeran Wijayakarta atau Jayawikarta kemudian memperoleh nama abhiseka (penobatan) Wijayakrama. Maka setelah menjadi bupati Sunda Kalapa, Wijayakarta atau Jayawikarta diwisuda sebagai Pangeran Jayakarta Wijayakrama.
Mengacu kepada nama-nama seperti Hollandia di Papua menjadi Sukarnopura (Kota Sukarno) atau Petersburg di Rusia menjadi Leningrad (Kota Lenin), maka menurut Muljana, tidak mustahil bahwa toponim Jayakarta sebagai ganti toponim Sunda Kalapa, semula adalah nama pribadi pembesar yang menguasai Sunda Kalapa, yakni Pangeran Wijayakarta atau Jayawikarta. Perkembangan toponimnya kemudian menjadi Jayakarta (Kota Kemenangan) dan Jakarta.
“Jika pendapat di atas benar, maka perubahan nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta berlangsung pada akhir abad ke-16, ketika Pangeran Jayakarta mulai menetap di Sunda Kalapa,” demikian Muljana.
Lain halnya menurut sumber berita Kompeni. Dikatakan tempat kediaman Pangeran Jayakarta adalah di belakang pelabuhan Sunda Kalapa di tepi Sungai Ciliwung. Tempat itulah yang mula-mula disebut Jayakarta, karena merupakan tempat kediaman Pangeran Jayakarta.
Selanjutnya toponim Jayakarta muncul dalam piagam yang berasal dari Banten. Mengutip pembacaan seorang epigraf Belanda, van der Tuuk, Slamet Muljana mengatakan piagam Banten antara lain menyebutkan istilah “wong Jakerta” dan “wong Jayakerta” (hal. 64).
Adanya toponim jakerta dan jayakerta, memberi petunjuk bahwa toponim Jayakarta telah ada sebelum kedatangan orang Belanda di Indonesia. Sebenarnya, tarikh piagam Banten itu dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hari lahir Jayakarta. Sayangnya, bagian yang menyebutkan tarikh telah rusak. Namun dari isinya Muljana menganalisis bahwa piagam Banten dikeluarkan pada awal abad ke-17. Ini karena pada piagam itu tercantum kata kumendur, berasal dari kata commander. “Oleh karena itu boleh dipastikan bahwa piagam itu dikeluarkan sesudah tahun 1602, ketika orang Belanda telah datang di Indonesia,” kata Muljana.
Dalam laporan Cornelis de Houtman (1596), toponim Jayakarta juga muncul. Dia menyebut bahwa Pangeran Wijayakrama adalah koning van Jacatra (=raja Jakarta). Dari laporan itu tergambar bahwa nama Jacatra atau Jakarta merupakan nama tempat atau nama kota. Muljana tidak secara pasti mengungkapkan bilamanakah mulai terjadi pergantian nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta.
Anehnya, meskipun ketika itu masih terdapat polemik yang berkepanjangan, artinya belum terdapat data sejarah yang pasti tentang hari jadi Jakarta, Dewan Perwakilan Kota Sementara Djakarta Raja sudah keburu menuangkan SK tertanggal 23 Februari 1956 terhadap hasil penelitian Soekanto. Hal tersebut pernah membuat heran para peneliti sejarah dan pejabat negara, termasuk Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo waktu itu. Bahkan sewaktu menghadiri perayaan pertama hari ulang tahun Jakarta, Ali Sastroamidjojo setengah mengejek terhadap “peringatan ganjil” itu.
Keputusan 1956 itu dipandang sebagai “kemenangan Sudiro” yang waktu itu menjabat Walikota Djakarta Raja. Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo kemudian memertanyakan, “Mengapa perdebatan historis diselesaikan dengan keputusan politis?” (Adolf Heuken, “Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta”, hal. 27-28).
Sebenarnya, ketiga pendapat tersebut pun masih diragukan. Soekanto dan Djajadiningrat berawal pada tafsiran Fatahillah, tokoh yang dianggap masih mitos karena sumbernya hanya berupa kitab-kitab babad. Pendapat Muljana pun perlu dipertimbangkan, mengingat makam Pangeran Jayakarta ada di beberapa tempat, seperti di Banten, Jatinegara, dan Kota. Meskipun nama Pangeran Jayakarta sudah diabadikan sebagai nama jalan, tentulah bukan berarti kita harus melegitimasi bahwa Pangeran Jayakarta adalah pendiri kota Jakarta. Semestinya penelitian arkeologi dilakukan secara berkesinambungan di kota yang perkembangannya paling pesat ini. [ ]
Ditulis Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, mantan wartawan “Mutiara”, di blog yang bersangkutan