Bukankah sesuai ujaran para bijak, cinta karena rupa jasadi akan mudah pudar. Suatu saat wajah akan menua dan jelek, sekalipun sudah operasi plastik dan disuntik botox berliter-liter. Tapi cinta karena rasa hormat akan selalu abadi. Karena kehormatan tak pernah mengalami degenerasi.
Oleh : Ki Agus Kurniawan
JERNIH– Mentari melaju cepat ke Barat. Tapi hutan Sapto Argo tetap seperti malam gulita. Daun-daun pepohonan menutup rapat bak Songsong Gelap, payung raksasa keraton, menahan seluruh cahaya yang jatuh ke bawah.
Palasara masih berdoa seteguh gunung. Duduk ngapurancang, tegak bersila. Pandangannya menghunjam ke pusat bumi. Tangan menadah kemurahan Langit. Dia tutup seluruh hasrat faali, atau lazim dinamakan sembilan lubang hawa nafsu: kedua mata, kedua lubang hidung, kedua telinga, mulut, anus, dan kelamin. Meneguhkan keyakinan hanya pada Sang Pencipta. Merendahkan diri serendah-rendahnya pada Sang Maha Berkehendak.
Noyah-nayuh baskara titi mangsa. Ketika Tuhan sudah berkehendak, tak ada yang tak terjadi. Teriring lingsirnya surya, bau amis yang menguar pada diri Setiawati pun perlahan menghilang. Wajahnya yang semula pucat, kini menguning gading. Bahkan dari tubuhnya bersemai wewangian alami bunga-bunga hutan. Melonggarkan nafas siapa saja yang menghirupnya. Membahagiakan pikiran siapa pun yang terpapar.
Karena sudah terkabul permohonannya, Palasara bangun dari semedinya. Tapi jantungnya tiba-tiba berdetak kencang melihat kenyataan di depannya. Perempuan molek, yang masih tertidur di alam astral akibat bermeditasi, tiba-tiba tampak lebih indah dibanding semula. Tubuhnya harum. Kulitnya kemilau. Ada hasrat menghangat dari dalam dada Palasara. Makin lama makin kuat. Tapi dia tahu diri, tahu batasnya. Seorang maharesi tak boleh hanyut oleh hawa nafsu.
Dengan telepati dibangunkannya Setiawati dari semedi. Perempuan itu mengeliat seperti anak kucing. Mulutnya menyungging senyum, padahal dia belum tahu apa yang terjadi. Dia hanya seolah merasakan kembalinya keriangan yang selama beberapa tahun terakhir menguap.
“Kau akhirnya sembuh, Adinda”.
“Sembuh, Panembahan? Sungguh? Panembahan tidak becanda?”
Setiawati memang ragu. Setelah bertahun-tahun sakit, bagaimana mungkin tiba-tiba sembuh? Dia memang merasakan bau badannya berbeda. Tapi bukankah seseorang tidak bisa menilai secara obyektif bau badan maupun bau mulutnya sendiri?
“Lihatlah bunga-bunga bakung itu. Lebat bermekaran. Tak ada yang layu seperti sebelumnya. Pertanda bau tubuhmu tak lagi meracuninya.”
Setiawati diliputi rasa haru. Gunung anakan, yang selama ini seolah menindih dadanya, punah. Dia menangis sejadi-jadinya. Tanpa sadar ditubruknya Palasara, sang penolong, penuh rasa terima kasih. Giliran Palasara yang gelagapan. Sebagai maharesi yang masih suci dan tak pernah bersentuhan dengan tubuh perempuan, situasi ini menimbulkan dampak yang tak kecil padanya.
Tapi sang begawan bisa menahan diri. Gawat jika kebablasan, ndrawasi. Bisa-bisa ntar goro-goro lagi. Akhirnya tubuh pasrah Setiawati dia dudukkan kembali.
“Panembahan, sesuai janji, hamba ingin mengabdi sebagai istri Paduka. Mohon jangan Paduka ingkari perjanjian kita.”
Setiawati kini memandang Palasara secara berbeda. Rasa cinta, atau tepatnya hormat, memenuhi dadanya. Rasanya dia akan menyesal seumur hidup jika tidak mengabdi pada lelaki yang telah menyelamatkan hidupnya. Bukankah sesuai ujaran para bijak, cinta karena rupa jasadi akan mudah pudar. Suatu saat wajah akan menua dan jelek, sekalipun sudah operasi plastik dan disuntik botox berliter-liter. Tapi cinta karena rasa hormat akan selalu abadi. Karena kehormatan tak pernah mengalami degenerasi.
“Dinda, aku sangat tersanjung atas kehormatan ini. Rasanya tak ada kebahagiaan lain di madyapada selain menjadi suamimu. Tapi aku tak boleh egois. Aku tak mau senang di atas penderitaanmu. Tak mau memanfaatkan utang budimu. Mentang-mentang sudah menolongmu, terus memaksakan kehendakku. Aku nggak mau begitu. Baiklah aku tanya sekali lagi, apakah kau bener-bener rela menjadi istriku? Tidak akan menyesalinya kelak?”
“Panembahan, hamba bersungguh-sungguh. Hamba kini memandang Paduka begitu agung. Rasanya tak ada orang yang paling hamba dambakan sebagai pelindung kecuali Paduka. Hamba mencintai Paduka.”
“Apakah kau berani bersumpah atas nama Sang Hyang Tunggal, penguasa kehidupan?”
“Ih Panembahan ini. Nggak usah basa-basi, deh. Kelamaan. Hamba tahu, Panembahan juga sangat menginginkan hamba, kan? Wong sejak ketemu pertama, Panembahan kalau bicara nggak pernah melihat mata hamba, tapi lirak-lirik ke bagian tubuh hamba yang lain. Jangan sok muna deh. Cepetan, mau kagak?”
“Mau, mauuuu, Dinda. Waduh, cantik-cantik kok baperan. Baiklah, mari kita siapkan uba rampe pernikahan. Berhubung di hutan ini hanya kita berdua, nggak ada penghulu, nggak ada lebai, kita to the point aja, ya.”
Alkisah, disaksikan oleh para dewata di seluruh kahyangan — soalnya nggak ada manusia lain di situ — juga seisi hutan gung liwang-liwung, mereka mengucapkan ikrar pernikahan. Sebagai wali hakim adalah Betara Guru yang turun langsung ke marcapada. Sebagai pengkutbah Betara Narada, seorang dewa senior. Sang Guru bertanya pada hadirin, “Apakah pernikahan ini sudah sah?” Segera diaminkan oleh para dewata sekompak mungkin, “Sah!”
Adegan selanjutnya kena sensor. Nggak disensor pun susah diceritakan. Soalnya pepohonan membuat pagar betis serapat-rapatnya. Mereka membangun tembok raksasa yang melindungi para pengantin dari kepoan dunia luar. Tak ada celah buat paparazzi. Jadi mohon maaf, para pembaca tidak bisa mengharapkan adanya siaran langsung atau tayangan tunda seperti yang sering kita lihat pada pernikahan para selebriti dari alam lain. Maaf.
Ringkas cerita, kira-kira sembilan bulan kemudian hutan tiba-tiba tersibak. Lebar menganga. Ini mengantarkan kelahiran bayi dari rahim Dewi Setiawati alias Dewi Durgandini, buah cinta dengan Begawan Palasara. Karena berasal dari orang tua pilihan para dewa, maka yang lahir adalah sosok bayi ajaib. Kulitnya berkilau seperti emas. Matanya berbinar seperti sepasang matahari. Auranya bikin orang-orang di sekitarnya keder.
Tidak ada yang sanggup menatap wajahnya. Kelak ketika dewasa, seorang perempuan yang hendak dibuahinya tak kuat menatap wajahnya. Akhirnya memejamkan mata, yang mengakibatkan anaknya lahir buta.
Putra Palasara dan Setiawati diberi nama Abiyasa atau Krisna Dwipayana. Para dewa menganugerahkan nama lain, Sutiknaprawa. (Bersambung)
goeska@gmail.com