Jika gerbang dibuka, dua garuda seolah melesat ke angkasa. Diiringi oleh dengungan kumbang yang terganggu keintimannya. Suaranya melengking-lengking, menggetarkan jiwa. Bak geraman dua dewa raksasa penjaga pintu akhirat, Betara Cingkarabala dan Balaupata.
JERNIH– Kedaton Hastina Pura–atau orang sering meringkas jadi Astina– dirancang oleh para arsitek terbaik dunia. Best of the best. Bohir pada jaman purbakala adalah seorang maharaja bernama Kuru. Oleh karenanya anak keturunannya sekarang disebut wangsa Kuru.
Hastina Pura bermakna negeri para hasti atau para gajah — satwa yang bermukim sejak sebelum era peradaban manusia. Ini alasan mengapa kehidupan gajah dilindungi hukum di sana. Salah satu gajah berkulit putih–bernama Hestitama–bahkan disakralkan dan dijadikan ikon negara.
Gerbang kedaton terbuat dari kayu jati hitam berumur ratusan tahun. Tinggi mengangkang. Pada masing-masing pintunya terukir sepasang garuda saling berpunggungan. Di kanan-kirinya dipajang reca gupala, arca besar berujud raksasa, yang di dalamnya berongga, tempat hidupnya sepasang kumbang kelangenan, marcumbana dan marcumbani. Jika gerbang dibuka, dua garuda seolah melesat ke angkasa. Diiringi oleh dengungan kumbang yang terganggu keintimannya. Suaranya melengking-lengking, menggetarkan jiwa. Bak geraman dua dewa raksasa penjaga pintu akhirat, Betara Cingkarabala dan Balaupata.
Di dalam kedaton, pagi itu Prabu Sentanu, maharaja Astina, duduk termangu. Wajahnya seperti mendung di puncak Mahameru. Hitam, gelap. Berhari-hari tak bisa tidur, tak enak bersantap. Pikirannya dipenuhi polemik paling pahit yang pernah dihadapinya sepanjang hidup.
Ini tentang perilaku permaisurinya yang dalam psikologi modern bisa digolongkan sebagai psikopat: membunuh setiap anak kandungnya yang baru dilahirkan. Sudah tujuh tahun berturut-turut putra-putranya mati dengan cara ditenggelamkan di Sungai Gangga. Bukan oleh musuh, tetapi oleh ibu mereka sendiri! Dan kini anak kedelapan, bayi merah yang belum diberi nama itu, sedang menunggu giliran.
Istri Sentanu seorang bidadari bernama Jahnawi, yang dulu ditemukannya sedang bertapa di tepi Gangga. Sentanu terpesona oleh keelokannya, lalu memberanikan diri melamar. Setelah upaya kesekian kalinya, Jahnawi pun luluh, menerima lamaran raja agung itu. Tetapi syaratnya, Sentanu tak diijinkan menanyakan apa pun yang kelak akan diperbuat Jahnawi terhadap putra-putranya. Sekali saja Sentanu berani kepo, Jahnawi dengan terpaksa akan meninggalkannya. Mungkin kembali ke kahyangan. Mungkin juga mencari pria lain yang lebih bisa menepati janji. Bagi Jahnawi yang seorang bidadari, dunia tak selebar pakeliran wayang.
Sentanu yang polos menganggap persyaratan ini sangat mudah. Sebab, sekali pun dia seorang maharaja dengan otoritas mutlak, tetapi juga berjiwa demokratis. Dia biasa menghargai hak dan privasi bawahannya. Apalagi ini istrinya. No problem at all.
Dalam bayangan Sentanu, mungkin Jahnawi punya rencana tersendiri terhadap masa depan anak-anaknya. Calon istrinya itu bisa jadi ingin anaknya tak memasuki gelanggang politik, dan terlibat suksesi yang kadang berdarah-darah. Politik dinasti sekalipun wajar pada zaman itu, tetapi secara etis benar-benar tak elok. Begitulah dugaan Sentanu atas keinginan istrinya — yang kini terbukti melenceng jauh.
Sekuat-kuatnya Sentanu menanggung penderitaan batin selama tujuh tahun, akhirnya tak tertahankan juga. Dia merasa harus segera mengakhiri kekejian istrinya. Desas-desus di lingkungan istana juga mulai nggak enak, mengusik stabilitas politik dan keamanan. Sekalipun “pembantaian” itu dilakukan secara rahasia, dan hanya diketahui oleh kalangan elit intelijen, tetapi bau busuk pasti menyebar, cepat atau lambat. Memang siapa yang bisa menutupi aroma bangkai?
“Dinda Jahnawi, Kanda tak kuat lagi menanggung duka nestapa ini. Kini segala resiko akan Kanda hadapi — sekalipun itu berupa kutukan dewa, jika Dinda bersedia berbaik hati menjelaskan misteri sumir ini. Mengapa Dinda tega membunuh anak-anakmu sendiri? Darah dagingmu? Setan apa yang bersemayam di dalam jiwamu?”
Mendengar pertanyaan Sentanu, Jahnawi terpukul. Mutiara dari matanya yang indah menetes satu-satu. Dia paham keresahan suaminya selama tujuh tahun terakhir. Tetapi dia juga menganggap suaminya golongan manusia bodoh, yang tak layak menerima rahasia Langit.
“Kanda Prabu, sudahkah Kanda mempertimbangkan resiko pertanyaan itu? Lupakah Kanda akan ikrar kita? Atau Kanda memang sudah berniat mengakhiri kebersamaan kita?”
“Istriku, Kanda sadar kau memang seorang dewi yang mengetahui banyak rahasia ilahi, sesuatu yang Kanda tak mumpuni. Tetapi dalam tatanan kehidupan manusia dimana Kanda adalah bagiannya, tindakan Dinda itu benar-benar kejahatan yang tak termaafkan. Kau telah melanggar norma paling dasar dari hak asasi wayang, membunuh anak tak berdoaa. Ilmu pengetahuan atau kebijakan dari galur apapun akan menilainya demikian.”
“Kanda Prabu, ilmu pengetahuan hanyalah ranah obyektif, sesuatu yang dapat dipikirkan atau diindera oleh manusia. Tetapi ada sesuatu yang diluar jangkauan ilmu pengetahuan dan kebijakan insan, yakni rahasia Tuhan. Misteri agung ini memiliki kebaikan asali, sekalipun tak bisa dipahami oleh akal budi.”
“Kanda tak mempercayai yang semacam itu, Dinda. Itu hanya penghiburan buat manusia yang sudah menyerah kalah dalam menggali kebenaran ilmiah.”
“Kanda tak mengakui adanya rahasia Langit? Bagaimana Kanda Prabu menjelaskan teodisi, misalnya? Apakah ilmu pengetahuan memiliki jawaban, mengapa Tuhan Yang Maha Baik mengijinkan terjadinya penderitaan, kejahatan, bahkan dalam bentuk yang paling brutal?”
“Itu masalah waktu saja, Dinda. Dengan kemampuan berpikirnya kelak manusia pasti bisa mengetahuinya, lalu merumuskan jawaban.”
“Izinkan hamba tertawa, Kanda. Itu hanya ilusi Kanda Prabu dan jutaan manusia bijak seperti Kanda. Manusia sesungguhnya hanya berpraduga. Lalu secara epistemologi mereka menyusun ilmu berdasarkan kesepakatan-kesepakatan, paradigma, dan bukti sepotong-sepotong. Manusia tak kan mampu menyusunnya secara komprehensif, apalagi holistik. Itu sudah terbukti oleh sejarah selama ribuan tahun, Kanda. Bahkan dengan ilmunya manusia justru merusak biosfirnya sendiri. Membuat bumi makin dekat ke ajalnya, seperti sekarang.”
“Terserah pendapat Dinda. Tetapi sebagai ayah kandung dari putra-putraku, Kakanda memiliki hak untuk mencegah terjadinya pembunuhan lagi. Dan Kanda menitahkan Dinda untuk menjelaskan alasan perilaku Dinda selama ini, kalau perlu di hadapan mahkamah negara.”
Gelegar petir di siang terik menandakan kemarahan Hyang Giri Nata atas kepongahan dan kejulidan seorang anak manusia. Sungai Gangga yang biasanya tenang, sontak bergolak. Menenggelamkan pemukiman di sekitarnya.
Jahnawi tersungkur. Sekalipun dia termasuk wayang dari golongan elit — strata dewa, tetapi sebagian jiwanya tetap seorang perempuan. Dia menangisi bakal kehancuran rumah tangganya yang telah dibangun hampir satu dasa warsa. Luluh lantak oleh ambisi manusia terhadap pengetahuan.
“Baiklah, Kanda Prabu. Perpisahan kita memang harus terjadi. Mungkin ini suratan takdir. Tak ada satu makhlukpun yang bisa mangkir. Hamba hanya minta tiga perkara di penghujung kebersamaan kita.”
Masih dalam tangisan, Jahnawi memaparkan permintaan terakhirnya. “Pertama, namailah putra semata wayang kita Dewabrata, yang artinya kekasih para dewa. Kedua, carilah perempuan sebagai sulih hamba dalam mengasuh Dewabrata. Perempuan itu haruslah manusia terpilih. Kunjungilah negeri di perbatasan Timur. Carilah seorang putri raja yang sedang mengadakan sayembara pilih. Datanglah Paduka dengan menggendong anak kita. Pakailah busana kepanditaan serba putih, dengan berkalung untaian mawar merah.”
“Lalu yang ketiga?”
“Peluklah hamba, ibu yang keji ini, untuk terakhir kalinya sebagai tanda perpisahan, duhai suamiku yang sangat kucintai…”
Belum purna Jahnawi bicara, Sentanu sudah menubruk tubuh istrinya yang mulai sempoyongan. Mereka menghabiskan akhir kebersamaan dengan raungan tangisan. Melengking hingga menggetarkan Sela Matangkep, pintu gerbang aras kadewatan.
Bersamaan dengan pelukan Sentanu, raga Jahnawi pun melayu, mati. Sukmanya moksa ke kahyangan, tempat awalnya dia berasal.
Tiba-tiba secercah cahaya pengetahuan melesat dari langit, merasuki alam pikiran Sentanu. Ini tanda rahasia ilahi tersingkap: ketujuh anaknya yang ditenggelamkan oleh Jahnawi sesungguhnya adalah jelmaan dewa yang dikenal sebagai para wasu.
Delapan wasu menjalani hukuman turun ke bumi, dan hanya bisa kembali ke kadewatan jika raganya dikurbankan sebagai elemen penyuci Sungai Gangga. Tujuh wasu telah menunaikan darmanya. Tersisa satu yang gagal, yakni Betara Prabasa, yang menjelma menjadi jabang bayi Dewabrata. Prabasa kelak bisa terbebas dari kefanaan — seperti saudara wasu lainnya — jika sudah menunaikan kehormatan sebagai seorang prajurit, gugur di medan perang akbar. (Bersambung)
goeska@gmail.comA