Kalau menyadari bahwa tulisan itu dibuat 200-an tahun sebelum keluarnya teori Darwin, 200-an tahun lebih lagi sebelum penemuan Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berjalan tegak) oleh Eugene Dubois di Trinil, tepi Sungai Bengawan Solo, Ngawi, Jawa Timur, pada 1890, wajar kita takjub. Para leluhur kita memiliki ilmu yang tinggi, bisa menerangkan bahkan sebelum penemuan tengkorak Trinil yang kelak menjadi salah satu mata rantai yang menutup sebagian missing link-nya teori Darwin.
JERNIH—“Witan sargakala niking bhumitala. Bhumitala pinakagni dumilah mwang uswa. Prayuta warca tumuli kukus peteng rad bhumandala canaih-canaih dhumanarawata sirna. Bhumi mahatis. Yadyastun mangkana tatan hana janggama. Ateher bhumandala nikang dadi prawata lawan sagara…”
Awal masa penciptaan permukaan bumi. Permukaan bumi menyerupai api yang bercahaya dan menyala. Berjuta-juta tahun kemudian asap gelap di seluruh muka bumi secara berangsur-angsur terus menerus keseluruhannya menghilang. Bumi menjadi dingin. Walau demikian belum ada makhluk hidup. Kemudian permukaan bumi ini menjadi gunung-gunung dan lautan…”
Petikan yang bila ditulis keseluruhan sangat panjang itu dikutip dari naskah “Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara” (Pustaka Tentang Kerajaan-kerajaan di Bumi Nusantara), Parwa 1 Sarga 1 halaman 20-22 yang ditulis oleh Pangeran Wangsakerta dan kawan-kawan di Keraton Kasepuhan, Cirebon pada 1677 M. Buku yang terbuat dari bahan kulit kayu halus dengan tinta hitam itu menjelma menjadi karya-budaya di Jawa Barat, kira-kira satu abad sebelum Immanuel Kant melontarkan teorinya tentang asal-usul planet bumi. Atau kira-kira dua abad sebelum tokoh teori evolusi dari Inggris, Charles Darwin, mencetuskan teorinya dalam bukunya yang kontroversial namun sulit dibantah, “On the Origin of Species”, pada 1859.
Pada halaman terakhir naskah itu, 224, dijelaskan bahwa naskah itu selesai ditulis pada tahun Saka, dengan candrasangkala (penyebutan waktu berdasarkan pilihan kata, bukan langsung menunjuk angka) “nawa gapura marga raja eka cuklapaksa crawanamasa” atau tahun 1599 Saka tanggal satu bagian terang, bulan Srawana, atau kira-kira dalam bulan Juni 1677. Pangeran Wangsakerta adalah Panembahan Cirebon, putra bungsu Panembahan Girilaya atau keturunan Susuhunan Jati Syarif Hidayatullah angkatan ke-5. Walaupun demikian, berkat pengetahuannya tentang sejarah dan naskah-naskah kuno, ia mampu menuliskan penanggalan menurut almanac Saka-Hindu. Naskah yang disusunnya pun ditulis dalam huruf dan bahasa Jawa kuno.
Seri Nusantara ini ada lima Parwa yang masing-masing terdiri dari lima Sarga (jilid), sehingga keseluruhan berjumlah 25 jilid. Jilid terakhir, Parwa V Sarga 5, khusus memuat judul-judul naskah yang pernah ditulis Keraton Cirebon yang mencapai jumlah 1753 judul. Seri khusus ‘babon sejarah’ ada 47 jilid yang massa penulisannya berlangsung 21 tahun!
Untuk sekadar mengenal nalar yang para karuhun yang menulis serat tersebut, dalam “Sejarah Jawa Barat” yang disusun Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar dan Enoch Kartadibrata—ketiganya telah meninggal dunia–, para penulis menerjemahkan tulisan para ‘karuhun’ penulis “Serat Wangsakerta” tersebut, yang isinya cukup mengejutkan.
Misalnya:
Kira-kira sejuta tahun sampai 600 ribu tahun yang silam di Nusantara, terutama di Pulau Jawa, hidup tersebar manusia yang masih rendah pekertinya, bersifat setengah hewan. Ada yang menyebutnya manusia-hewan (Satwapurusa) dari zaman purba karena mereka masih berperilaku setengah hewan.
Di antaranya ada yang menyerupai kera, besar dan tinggi sosok tubuhnya, tanpa busana. Ada pula yang seperti raksasa, tubuhnya berbulu dan perangainya kejam. Jenis mereka ini sedikit jumlahnya.
Ada jenis lain di daerah hutan atau pegunungan yang lain. Mereka juga mirip kera. Ada yang tinggal di atas pohon, di lereng-lereng gunung dan tepi sungai. Mereka berkelahi dan membunuh tanpa menggunakan senjata, hanya tangan. Mereka tidak berpakaian dan tidak berbudi pekerti seperti manusia saat ini. Kesenangannya berayun-ayun pada cabang pohon. Hewan-hewan ini terdapat di hutan Pulau Jawa, hutan Sumatera, hutan Makassar, dan hutan Kalimantan (Bakulapura).
Di daerah lain lagi di pulau Jawa, antara 750 ribu sampai 350 ribu tahun silam hidup manusia-hewan yang berjalan tegak laiknya manusia. Kulitnya berwarna gelap, tingkah lakunya lebih baik dan cerdas dibandingkan dengan manusia-hewan yang berjalan seperti hewan. Tiap hari mereka membuat senjata dari bahan tulang dan batu, meski hasilnya tidak bagus.
Mereka juga tidak gampang naik darah. Mereka selalu diserang kelompok manusia-hewan yang menyerupai kera. Pertempuran seru selalu terjadi do antara kedua kelompok berlainan jenis itu. Tetapi karena manusia-hewan yang berjalan tegak lebih mahir berkelahi dan menggunakan ‘senjata’, manusia-hewan yang berjalan seperti kera itu pun habis, musnah. Manusia-hewan yang berjalan tegak itu disebut manusia raksasa (bhuta purusa), tinggal di gua-gua di lereng gunung.
Kalau menyadari bahwa tulisan itu dibuat 200-an tahun sebelum keluarnya teori Darwin, 200-an tahun lebih lagi sebelum penemuan Pithecanthropus erectus (manusia kera yang berjalan tegak) oleh Eugene Dubois di Trinil, tepi Sungai Bengawan Solo, Ngawi, Jawa Timur, pada 1890, wajar kita takjub. Para leluhur kita memiliki ilmu yang tinggi, bisa menerangkan bahkan sebelum penemuan tengkorak Trinil yang kelak menjadi salah satu mata rantai yang menutup sebagian missing link-nya teori Darwin.
Banyak lagi yang diceritakan dalam “Serat Wangsakerta”, termasuk beberapa catatan yang tampaknya harus menjadi pertimbangan atas catatan sejarah yang telah kita yakini sebelumnya. Misalnya tentang kemusliman para raja-raja Sunda, terutama Prabu Siliwangi, ke atas hingga Prabu Sempakwaja. Tetapi, itu kita bahas lain kali.
[Sumber : “Sejarah Jawa Barat”]