Ibrahim bertanya lagi, “Apakah kau tidak memiliki keinginan?” Jawabnya, “Saya seorang budak, untuk apa budak memiliki keinginan?”
JERNIH—Pada suatu saat wali sufi Ibrahim bin Adham membeli seorang budak. Ia bertanya kepada budak itu, “Siapa namamu?” Budak itu menjawab, “Tuan hendak memanggilku dengan apa?”
Ibrahim bertanya lagi, “Apa yang biasa kau makan?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan berikan, aku akan memakannya.”
Ibrahim bertanya lagi, “Pakaian apa yang ingin kau pakai?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan berikan, aku akan memakainya.”
Ibrahim bertanya lagi, “Apa yang akan kau lakukan dan kerjakan?” Jawabnya, “Apa pun yang tuan perintahkan, aku akan mengerjakannya dengan pertolongan Allah.” Ibrahim bertanya lagi, “Apakah kau tidak memiliki keinginan?” Jawabnya, “Saya seorang budak, untuk apa budak memiliki keinginan?”
Ibrahim pun menangis hingga tak sadarkan diri, lalu manakala terbangun ia berkata kepada dirinya sendiri, “Budak ini telah mengajariku bagaimana menjadi seorang hamba (ubudiyyah).” (dari “Tadzkirah al-Auliya”, Fariduddin Aththar)
Kita harus menyadari Allah telah memberikan begitu banyak fasilitas kehidupan untuk seorang hamba. Sudah selayaknya kita berserah diri kepadaNya, berusaha tidak bergantung selain kepadaNya. Namun, yang perlu dipahami adalah, menjadi hamba bukan berarti diam atau tidak berbuat apa-apa.
Imam Sahl bin Abdullah al-Tustari mengatakan: “Tawakkul adalah keadaan spiritual Nabi SAW, sedangkan kasab (berusaha) adalah cara hidupnya. Barang siapa yang hendak mendiami keadaan spiritualnya, jangan tinggalkan cara hidupnya.” (Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi, “Risalah al-Qusyairiyyah”, hlm 298).
**
Suatu ketika Ibrahim bin Adham duduk tenang di satu tempat. Di sana dibukanya bekal makanannya. Tanpa diduga, seekor burung gagak datang mengambil sedikit makanan tersebut, lalu terbang menuju bukit. Ibrahim yang melihat kelakuan burung gagak itu segera mengikuti gagak tersebut dengan menunggang kudanya.
Di sebuah bukit, Ibrahim menemukan seorang laki-laki tua dalam kondisi terikat. Burung gagak tadi berada di dekat orang tersebut. Dengan paruh yang membawa makanan yang diambil dari bekal makanan Ibrahim, ggak itu bergerak mendekati mulut laki-laki tua yang terikat itu.
Burung itu pun menyuapi si orang terikat tersebut. Saat Ibrahim membukai ikatannya, laki-laki itu bercerita bahwa dirinya dirampok sebuah kawanan yang membuangnya di situ beberapa hari sebelumnya. Ia yang kebingungan dalam haus dan lapar, memohon kepada Allah untuk menolongnya. Burung-burung kemudian membantunya makan minum dengan menyuapinya, termasuk burung gagak tersebut.
Kisah tersebut ditulis Syekh Muhammad Bin Abu Bakar Alushfuri dalam “Mawaizh Ushfuriyah” (Nasihat Burung), juga dalam “Tadzkirul Auliya” yang ditulis Fariduddin Aththar.
**
Dalam perjalanan menjalani laku sufinya, Ibrahim bin Adham bermaksud mengarungi laut dengan kapal penumpang. Petugas kapal memintanya ongkos sebesar dua dinar. Ibrahim berkata, “Sekarang saya tidak punya uang. Tapi saya akan berikan padamu di tengah perjalanan kita.”
Petugas kapal itu heran dan bertanya,” Perjalanan kita ini mengarungi laut. Bagaimana bisa Anda memberiku uang kalau saat ini tak punya?” Tetapi segera kemudian ia berpikir, mungkin saja Ibrahim menyimpan harta di salah satu pulau yang akan dilewati kapal tersebut. Akhirnya ia pun mengizinkan Ibrahim naik kapal.
Ketika kapal berlabuh di sebuah pulau, petugas itu kembali berkata, “Berikan ongkosmu, dua dinar.”
“Baiklah,” kata Ibrahim. Ibrahim bin Adham pun turun ke darat. Sementara petugas itu diam-diam mengikutinya. Ibrahim terus berjalan hingga tiba di ujung pulau itu. Ia lalu shalat beberapa rakaat, dan berdoa kepada Tuhannya ketika sujud, “Ya Tuhanku, orang ini meminta haknya yang menjadi kewajibanku. Tolong berilah ia dariku.”
Ketika Ibrahim mengangkat kepala dari sujudnya, ia lihat tanah di sekitarnya tertutupi dinar-dinar emas yang berkilauan. Saat petugas kapal menghampiri, Ibrahim berkata, “Ambillah hakmu dan jangan lebih. Jangan ceritakan apa yang kau lihat ini kepada siapa pun.”
Ketika kapal itu kembali berlayar, badai menghantam kapal tersebut dengan keras. Para penumpang panik. Si petugas kapal itu berteriak,”Mana orang yang baru membayar ongkosnya di pulau itu? Kalian cari dan temui orang itu, biar dia berdoa kepada Allah agar menyelamatkan kita dari badai ini.”
Ibrahim saat itu tengah tertidur dengan kepala tertutup mantel. Petugas kapal yang menemui berkata,“Tidakkah kau lihat situasi saat ini dan para penumpang yang ketakutan? Kumohon berdoalah kepada Allah.”
Ibrahim bin Adham pun bangun dan berdoa,“Ya Allah, Engkau telah perlihatkan kekuasaan-Mu. Sekarang perlihatkanlah rahmat-Mu.”
Seketika itu pun badai besar itu mereda. [ ]
Dari “Qisasul Auliya”, Muhammad Khalid Tsabit, dan “Tadzkiratul Auliya”, Fariduddin Aththar