Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat menjadikannya bahan olok-olok, menulis bahwa Kompas artinya Komando Pastor lantaran pendirinya Partai Katolik. Ada pula yang bilang Kompas artinya Komando Pak Seda.
Oleh : Albert Kuhon*
JERNIH– Sekitar tahun 1986/87, sewaktu masih menjadi wartawan di Harian Kompas, saya bersama tiga wartawan lain menggagas berdirinya serikat pekerja di sana. Gagasan itu dipicu oleh berubahnya status penerbit Harian Kompas dari Yayasan Bentara Rakyat, menjadi PT Kompas Media Nusantara.
Tidak banyak yang tahu mengenai perubahan itu. Saya tahu, karena saya yang mengantarkan para petinggi Kompas membuat Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB) di Subdit Intelpam Polda Metro Jaya. SKKB yang menjadi persyaratan pendirian PT tersebut ditandatangani oleh sahabat saya, Mayor (Pol) Sri Busono.
Upaya menggagas berdirinya serikat pekerja di Harian Kompas itu berbuntut panjang. Sejak tahun 1986, saya tidak diperkenankan menulis laporan, meski nama saya tetap tercantum sebagai wartawan Kompas. Artinya, semua liputan saya tidak bisa dipublikasikan di Harian Kompas. Tetapi saya setiap hari harus masuk kerja dan mengisi absen, supaya tidak dianggap mengundurkan diri.
Tiga rekan yang ikut menggagas pendirian serikat pekerja, diam-diam tanpa sepengetahuan saya menghadap Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas. Mereka mengaku dosa dan minta maaf, kemudian dibolehkan bekerja kembali, dengan berbagai persyaratan. Tinggal saya seorang diri, yang tiap hari harus masuk kerja di redaksi, tapi tulisan saya tak boleh dipublikasikan.
Setelah terkatung-katung cukup lama, Senin 21 Maret 1988, sekitar pukul 13.00–13.30 saya dipanggil menghadap Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi Kompas Jakob Oetama di ruang kerjanya di Jl Palmerah Selatan no 22-28 Lantai IV, Jakarta Pusat. Ketika itu Jakob Oetama meminta agar saya mengundurkan diri dari Kompas.
Jakob Oetama (JO): Kalau you rela, mbok you mundur. Nanti kita cari jalan yang gimana, gitu. Cuman saya dengar you ndak mau mundur.
Albert Kuhon (AK): Nggak. Sampai sekarang saya belum jelas kesalahan saya.
JO: Iya, saya juga makin hari makin tidak jelas. Itu… gimana ya, problem ini kan harus cepat selesai…
AK: Tapi saya tetap merasa belum jelas mengenai kesalahan saya.
JO: Kalau bagi saya yaa… itu lah. Menghasut, ya artinya ndak tahulah intensitasnya seberapa. Ya…mengumpulkan orang, menyusun kekuatan, menimbulkan keresahan.
AK: Nggak ada, Pak! Sama sekali tidak ada maksud seperti itu…
JO: Saya juga ndak ngerti. Cuma sekarang problemnya sudah terlanjur rumit dan tidak sederhana. Tapi serikat pekerja itu juga ndak betul, kalau menurut saya. Apalagi cara you menghimpun kekuatan yang menimbulkan kegelisahan dan lain-lain. Jadi, ya… susah.… Pergi saja dulu barang berapa lama, kemudian coba nanti you datang lagi. Tapi saya tidak memberi jaminan, siapa tahu saya sudah diganti. Ha ha ha…
Bersikukuh
Intinya, ketika itu Pak J-O (begitu kami memanggil Jakob Oetama) bersikukuh meminta agar saya mengundurkan diri karena menggagas berdirinya serikat pekerja. Setidaknya buat sementara, lalu kelak masuk kembali.
Sedang saya yang waktu itu masih muda, bersikeras tidak mau mundur karena merasa tidak bersalah dengan menggagas berdirinya serikat pekerja di Harian Kompas. Saya memilih dipecat dari Kompas, sedang Pak J-O meminta saya mengalah dengan mengundurkan diri.
Percakapan saya dan Pak J-O akhir Maret 1988 itu tidak membuahkan apa-apa. Saya setiap hari tetap harus hadir di redaksi, tetapi tulisan saya tidak pernah dimuat. Nama saya tetap tercantum sebagai wartawan Kompas dan digaji meski tidak mengalami kenaikan seperti teman-teman yang lain.
Situasi seperti berlangsung terus sampai akhir Agustus 1989, ketika Pemimpin Umum Suara Pembaruan, Dr Albert Hasibuan SH, mengajak saya hijrah ke media yang dipimpinnya. Saya diminta membuka Biro Koresponden Suara Pembaruan di Washington DC (Amerika Serikat). Sambil menunggu keberangkatan, Hasibuan menugasi saya ikut membidani penerbitan kembali Harian Jayakarta yang baru saja diakuisisi Grup Sinar Kasih. Tahun 1990, barulah saya hijrah ke Amerika Serikat.
Sang Guru
Saya tertegun dan ikut berdoa mendengar kabar Jakob Oetama (88 tahun), meninggal dunia di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (9/9) siang. Pendiri Kompas Gramedia itu lahir 27 September 1931 di Sleman, perbatasan antara wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dengan wilayah Kabupaten Magelang. Tak bisa dimungkiri, Jakob Oetama adalah seorang visioner.
Almarhum mengawali kariernya sebagai seorang guru, kemudian memilih jalan sebagai wartawan pada Mingguan Penabur yang diterbitkan oleh Gereja Katolik. Petrus Kanisius Ojong (Pemimpin Redaksi Mingguan Star Weekly), dan Jakob Oetama kemudian mendirikan Majalah Bulanan Intisari. Edisi perdana Intisari terbit 7 Agustus 1963, tebal 128 halaman berisi 22 artikel. Antara lain terjemahan kisah bintang layar perak Marilyn Monroe, pengalaman perjalanan Nugroho Notosusanto (ahli sejarah dari Universitas Indonesia) ke London, dan kisah Usmar Ismail (sutradara film kondang) ketika pertama kali membuat film.
Presiden Soekarno tahun 1964 mendesak Partai Katolik menerbitkan koran. Sejumlah tokoh Katolik terkemuka seperti P.K. Ojong, Jakob Oetama, R.G. Doeriat, Frans Xaverius Seda, Policarpus Swantoro, R. Soekarsono, mengadakan pertemuan dengan pihak Majelis Agung Wali Gereja Indonesia (MAWI) yang terdiri dari unsur Partai Katolik, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Pemuda Katolik dan Wanita Katolik.
Mereka mendirikan Yayasan Bentara Rakyat, dengan susunan pengurus Ignatius Joseph Kasimo (Ketua Partai Katolik) sebagai ketua. Frans Seda (menteri perkebunan dalam kabinet Soekarno) wakil ketua, F.C. Palaunsuka penulis I, Jakob Oetama penulis II, dan P.K. Ojong sebagai bendahara.
Yayasan Bentara Rakyat inilah yang menerbitkan Harian Bentara Rakyat yang belakangan menjadi Harian Kompas atas saran Presiden Soekarno. Sebagian redaksinya adalah wartawan Katolik yang direkrut dari redaksi Intisari.
Plesetan Kompas
Pergantian nama ini menimbulkan protes, antara lain dari kalangan warga Medan sebab kompas atau ngompas di sana artinya memeras. Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat menjadikannya bahan olok-olok, menulis bahwa Kompas artinya Komando Pastor lantaran pendirinya Partai Katolik. Ada pula yang bilang Kompas artinya Komando Pak Seda.
Karena harian itu sering terlambat terbit, Kompas diplesetkan jadi Komt Pas Morgen, artinya “Kompas yang datang pada keesokan harinya.”
“Kami berdua sebenarnya enggan menerima permintaan menerbitkan suratkabar Kompas. Lingkungan politik, ekonomi, dan infrastruktur pada masa itu tidak menunjang,” tulis Jakob Oetama dalam artikel “Mengantar Kepergian P.K. Ojong” (Kompas, 2 Juni 1980). Pada masa awal penerbitan tersebut, jemaat gereja Katolik di daerah-daerah diimbau berlangganan Kompas. Sedang murid-murid di sekolah-sekolah Katolik disarankan berlangganan majalah Anak Bentara.
Edisi perdana
Tanggal 28 Juni 1965, Harian Kompas terbit dengan motto “Amanat Hati Nurani Rakyat.” Di pojok kiri atas halaman pertama, tertulis Pemimpin Redaksi Jakob Oetama; Staf Redaksi J. Adisubrata, Lie Hwat Nio, Marcel Beding, Th. Susilastuti, Tan Soei Sing, J. Lambangdjaja, Tan Tik Hong, Th. Ponis Purba, Tinon Prabawa, dan Eduard Liem.Tanpa ada nama P.K. Ojong. Kabarnya, nama Ojong sengaja disembunyikan karena sosok Ojong tidak disukai Presiden Soekarno.
Ketika pertama kali dicetak, tiras Kompas hanya sekitar 4.800 eksemplar. Kompas edisi perdana dicetak di percetakan PN Eka Grafika, milik harian Abadi yang diterbitkan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Setelah pindah ke Percetakan Masa Merdeka, tirasnya meningkat jadi 8.000 eksemplar, hingga saat pembredelan pertama oleh Orde Baru. Sewaktu terbit kembali 6 Oktober 1965, tiras Kompas meningkat menjadi 23.268 eksemplar. Tahun 1972, Kompas dicetak di tiga tempat dalam waktu yang berbeda-beda. Selain di Kinta dan Surya Praba, Kompas dicetak juga di PT Jakarta Press, Jalan Gunung Sahari. Mesin cetak waktu itu hanya mampu mencetak empat halaman padahal tiras Kompas sudah 100.000 eksemplar lebih per hari dan setiap hari terbit 12 halaman.
Di akhir dekade 1980-an, tiras Kompas bertahan sekitar 450 ribu eksemplar per hari. Pada 1999, setahun sesudah Jenderal Soeharto mundur, tiras Kompas mencapai lebih dari 600 ribu eksemplar per hari. Penelitian oleh AC Nielsen tahun 1999 menunjukkan pasar Kompas terbesar adalah Jakarta 46,77%, disusul Bogor, Tangerang, dan Bekasi (13,02%) dan Jawa Barat (13.02%).
Tahun 1972 kelompok usaha tersebut mendirikan Percetakan Gramedia dan membentuk PT Transito Asri Media, anak perusahaan yang mendistribusikan buku impor dan lokal pada jaringan toko buku Gramedia. Tahun 1973 PT Gramedia Pustaka Utama berdiri dan PT Radio Sonora Munda mengudara di Jakarta.
Pada tahun yang sama, diterbitkan majalah anak-anak Bobo dan tahun 1977 diterbitkan majalah Hai.
Di awal penerbitan Intisari dan Kompas, Jakob Oetama mengurusi editorial, sedangkan PK Ojong menjadi panglima urusan bisnis. Ojong antara lain menggariskan bahwa kelompok usaha mereka tidak boleh menggeluti bisnis bahan pokok dan bisnis pertanahan (sekarang dikenal sebagai bisnis properti). Ojong meninggal mendadak tahun 1980, sehingga Jakob yang sebelumnya hanya mengurusi redaksional, mendadak dipaksa mengurusi aspek bisnis.
Jakob dengan rendah hati mengakui pengetahuannya soal manajemen bisnis sangat sedikit. “Tapi saya merasa ada modal, bisa ngemong! Kelebihan saya adalah saya tahu diri bahwa saya tidak tahu bisnis,” ujar Jakob.
Yayasan menjadi PT
Tidak banyak yang tahu bahwa Jakob Oetama adalah lulusan Sekolah Tinggi Publisistik (STP) yang kini berubah nama menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP). Ia juga alumnus Fakultas Sosial Politik (sekarang Fisipol) Universitas Gadjah Mada. Di bawah kepemimpinan Jakob, penerbit Kompas beralih dari Yayasan Bentara Rakyat menjadi PT Kompas Media Nusantara.
Peralihan secara diam-diam tersebut tidak menimbulkan gejolak. Dan tidak pula ada proses pemutusan hubungan kerja, karena memang tidak banyak karyawan yang tahu. Semestinya, para karyawan mengalami PHK dan mendapat pesangon dari Yayasan Bentara Rakyat, baru kemudian dijadikan karyawan lagi oleh PT Kompas Media Nusantara.
Pertengahan dekade 1980-an, sekitar peralihan penerbitan dari yayasan ke PT Kompas Media Nusantara, dilakukan penghematan besar-besaran. Wartawan yang meliput ke semua wilayah di Pulau Jawa dan Provinsi Lampung, hanya boleh menumpang bus malam atau kereta api. Wartawan hanya dibolehkan naik pesawat dalam peliputan di Pulau Jawa jika mendapat undangan dan tiketnya dibayar oleh pengundang.
Dengan segala kerendahan hati, pimpinan Kompas mengajak karyawan berhemat dan tidak mengalami kenaikan gaji, dengan alasan buat meningkatkan cadangan modal perusahaan agar bisa melakukan diversifikasi.
Kerendahan hati seperti itulah yang kemudian membuat Grup Kompas Gramedia berkembang menjadi kelompok bisnis yang menggurita ke mana-mana. Tahun 1988 Harian Kompas sudah menjadi surat kabar raksasa dengan tiras terbesar di Indonesia, bahkan seantero Asia Tenggara dan dijuluki konglomerat pers Indonesia dengan holding company Kelompok Kompas-Gramedia (KKG).
Bidang usahanya kini tak lagi sekadar media massa dan percetakan maupun toko buku. Bisnis perhotelan, perfilman, tambak udang, bengkel, pompa bensin, perkebunan, jalan tol (PT Trans Lingkar Kita Jaya), gedung pertemuan tingkat internasional, pendidikan dan berbagai sektor lainnya.
Berbagai bisnis yang pernah dirambah KKG antara lain toko swalayan Grasera (sudah tutup), Toko Buku Gramedia, tambak udang Gramina (tutup), perusahaan perfilman Gramedia Film (tutup), Bank Andromedia (tutup), usaha perkebunan Hortindo, biro perjalanan Ina, pabrik tissue, perhotelan Grahawita Santika, pengolahan rotan, radio swasta niaga Sonora, perusahaan jasa Berkaf (juga menangani pabrik kertas) dan sederetan lagi perusahaan lainnya.
Menurut hasil penelitian tahun 1986/87 yang dilakukan oleh Survey Research Indonesia (SRI) di delapan kota besar di Indonesia, jumlah pembaca Kompas sekitar 1.746.000 orang. Karyawan Kompas yang semula cuma sekitar 50 orang, menurut data resmi Ditjen Pembinaan Pers dan Grafika Departemen Penerangan (1987/88) menjadi 382 orang (terdiri 318 pria dan 64 wanita) namun belum seorang pun ikut dalam pemilikan modal.
Menurut Ditjen PPG, wartawan Kompas tahun 1987/88 berjumlah 137 orang, terdiri 93 orang lulusan SLTA dan 43 orang sarjana atau sarjana muda dan hanya 109 orang yang menjadi anggota PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Sedang menurut catatan data di redaksi Kompas, akhir tahun 1987 ada sekitar 105 orang wartawan dan koresponden yang terdiri sekitar 40 orang sarjana dan 60 lulusan akademi atau drop out perguruan tinggi dan lima lulusan SLTA. Yang berusia 25-34 tahun tercatat 23 orang, selebihnya berusia 35 tahun ke atas.
Seluruh karyawan KKG pada tahun 1988 sekitar 2.750 orang dan tahun 1991 berkisar 3.100 orang. Ojong ketika mendirikan Kompas mengharapkan media itu mampu mempertahankan jatidiri dan menjaga jarak dengan pihak-pihak lain agar bisa melangkah bebas.
Ketika KKG sudah makin besar, Jakob Oetama selaku Pemimpin Umum Kompas dan sekaligus pemimpin KKG berkali-kali mengingatkan bahwa nasib sekitar 3.000 karyawan KKG sangat tergantung pada kemampuan Kompas mempertahankan kehadirannya. Jakob dalam berbagai kesempatan selalu mengingatkan seluruh redaksi Kompas agar berhati-hati dalam menyusun laporan atau naskah berita.
Visi Kompas menurut Jakob
Jakob Oetama dalam tulisannya ‘Menghibur yang Papa, Mengingatkan yang Mapan’ di Brosur Kompas awal tahun 1988 mengatakan, visi dan serangkaian nilai dasar yang berlaku di lingkungan KKG merupakan hasil dari proses saling berbagi dan memberi. Hasil interaksinya diperkaya dan diaktualisasikan. Tapi tak disebutkan secara tegas pihak-pihak yang berpartisipasi dalam proses saling berbagi dan memberi.
Jakob Oetama juga menegaskan bahwa Kompas tergerakkan oleh visi tersebut. Yaitu penempatan manusia dan kemanusiaan, lengkap dengan cobaan, aspirasi, permasalahan, hasrat, keagungan maupun kehinaan, sebagai faktor sentral dalam nafas pemberitaan Kompas. Ditegaskannya bahwa perbedaan tidak menjadi sumber konflik fisik atau pelampiasan emosional.
Menurut Jakob, perbedaan di Kompas dijadikan pangkal tolak serta proses mencari mufakat dan proses untuk bekerjasama bagi kepentingan bersama. Visi itu dijadikan doktrin yang berkembang terus, seiring dengan pergulatan, perbedaan pendapat, perbedaan kepentingan serta tarik menarik dinamika maupun kekuatan.
Visi dan nilai-nilai dasar itu memang sangat ideal dimiliki Kompas sebagai lembaga yang selalu ‘risau’ dan berupaya mengingatkan pihak-pihak mapan. Jakob secara jujur mengakui bahwa belum visi tersebut menjadi kenyataan. “Ía belum segalanya. Ia belum sebuah buku yang sudah selesai. Ia sekedar prinsip pokok dan sisi dasar yang menjadi kerangka acuan,” tulis Jakob dalam brosur tersebut.
Ternyata, tulisan Jakob Oetama itu dipublikasikan dalam kurun waktu yang hampir bersamaan dengan waktu percakapan almarhum dengan saya. Percakapan yang saya kutip di bagian awal tulisan ini. Waktu itu, memang pandangan saya sangat berbeda dengan pandangan Jakob Oetama. Karenanya, ia meminta saya mengundurkan diri dari Kompas.
Jakob adalah sosok yang tidak pernah merasa kaya di antara orang-orang miskin. Dia juga tidak pernah merasa miskin di antara orang kaya. Dan saya menghormatinya.
Selamat jalan, Pak J-O! Saya ikut mendoakan. [ ]
* mantan wartawan Kompas
Sumber : law-justice.co