Jernih.co

Inilah 20 Kawih Kuno Gondang Buhun Kampung Kuta Ciamis

Dae, Daeu mupu kembang
Mupu kembang jeung nu lenjang
Nu lenjang pupuk lampuyang
Lain pupuk lain pamidangan
Di pupuk tamba hareudang

CIAMIS/JERNIH — Kawih di atas merupakan salah satu lagu sakral dalam seni gondang buhun Kampung Adat Kuta. Selain lagu di atas terdapat 19 lagu kuno lainnya yang dilagukan dalam Gondang Buhun Kuta.

Selain lagu diatas terdapat 19 kawih buhun lainny,  berupa paparikan yang jarang diketahui oleh masyarakat luas yaitu : Angkring, Mupu Kembang, Lais, Kurung Manuk, Angkris, Cangkurileung, Nyira, Layung Nangtung, Nimu Kored, Tikukur, Budak Benggol, Reundeu Peueut, Nyai Saronggét, Meuleum Susuh, Budak Hideung, Hayam Jago, Anak Monyét, Nyai Dangdeung, Ica-Ica dan Ngajul Jeruk.

Seni gondang merupakan kesenian khas masyarakat agraris yang sudah berkembang sejak jaman klasik. Kesenian ini berkembang  dalam  budaya huma dan sawah. Seni gondang tidak dapat dilepaskan dengan seni tutungulan.

Bahkan seni tutunggulan muncul lebih awal dibanding gondang. Karena berkaitan dengan proses pengolahan padi menjadi beras melalui lesung dan alu.  Suara tumbukan alu ke lesung kemudian dikembangkan sehingga menghasilkan pola ketukan tertentu.

Pekerjaan menumbuk padi selepas panen dulu biasanya dilakukan kaum wanita secara bergotong royong. Bila emak-emak itu nutu pare menggunakan lesung yang sama, menimbulkan suara bertalu bersahutan yang kemudian diatur agar memiliki ritme yang harmonis dan polyphonis.

Ritme tersebut menciptakan keragaman suara karena setiap penumbuk memiliki ketukan yang berbeda. Awalnya tutunggulan ini tidak diiringi lagu, maka untuk membuat suasana menjadi ceria kemudia diisi dengan nyanyian yang dikawihkan secara rampak. Perpaduan tutunggulan dan kawih ini disebut  gondang.  

Dari sisi waditra, gondang buhun kemudian mengalami perkembangan dalam penyajiannya, yaitu dengan menambahkan  kendang, go’ong dan kecrék. Sehingga unsur bunyi menjadi lebih harmonis.

Di Kampung adat Kuta Ciamis, para pengawih dipimpin oleh seorang  wanita yang merangkap sebagai lulugu (pimpinan) rombongan. Sedangkan lulugu dalam Gondang disebut gugundi, yaitu wanita yang khusus mengurus padi sebelum ditumbuk.

Yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan ngagondang adalah punduh, yaitu sesepuh yang mengurus rangkaian ritual dalam ngagondang, selain itu punduh di Kampung Kuta juga menjadi sebagai pemangku adat.

Satu lesung panjang bisa dimainkan oleh 4 sampai 10 wanita, jumlah tersebut biasanya tergantung panjangnya lesung. Pada seni gondang     Kampung Kuta  Tambaksari, jumlah pemain berkisar antara 6–10 orang.  Jumlah pemain gondang  harus genap agar tidak ada kepincangan dalam ketukan.

Sebagai seni yang berhubungan dengan budaya agraris, gondang buhun Kampung Kuta  sudah ada sejak masa sebelum Islam, seperti juga halnya dengan seni rengkong. 

Aki Sanwarno,punduh dan  sesepuh adat kuta, menjelaskan kepada Jernih bahwa dalam wawacan Sulanjana disebutkan yang mengurus sripohaci sebagai simbol padi yang berjumlah tujuh ranggeuy adalah Aki Sulanjana.

Dia mengatakan bahwa Sulanjana adalah tokoh yang ngarorok sripohaci. Ngarorok atau merawat merupakan siloka dari proses panen padi.  Dalam mupusti padi, yaitu menghormati padi — prosesnya disebut nganyaran artinya memulai — disebutkan bahwa untuk mengawali panen harus melewati proses ritual.

Sebelum tahun 2013, seni gondang buhun terancam punah karena sistem pewarisan secara tradisi kepada generasi muda mandeg cukup lama.  Hal itu disebabkan minat generasi muda Kampung Kuta untuk mewarisi gondang buhun sebagai kesenian titilar karuhun hampir tidak ada.

Selain itu, banyak anak-anak muda kampung kuta yang tinggal diluar kampung untuk bersekolah di kota. Demikian pula tradisi nutu pare mulai jarang dilakukan karena diganti peranan heuleur yang lebih praktis.

Dari waktu ke waktu, perubahan budaya huma ke budaya sawah perlahan-lahan turut mempengaruhi perkembangan seni gondang dan tutunggulan

Sebelum Tahun 1970-an, warga masih menggunakan leuit sebagai tempat nyimpen padi, kini leuit kurang dibutuhkan lagi. Demikian pula menanam padi darat (ngahuma) sudah ditinggalkan berganti dengan padi organik.

Namun walau pare pageuh (padi gogo)  jarang ditanam lagi, masyarakat Kuta tetap mempertahankan seni gondang buhun. Ki Sanwarno menegaskan bahwa seni gondang dan tutunggulan menjadi pengantar dalam dalam berbagai tradisi lainnya di Kuta, seperti ritual Nyuguh, hajat lembur dan hajat masyarakat.

Secara umum generasi wanita kampung Kuta yang lahir di tahun 70-an tidak menguasai seni gondang buhun. Sehingga pengetahuan tentang gondang buhun hanya dimiliki oleh generasi sebelumnya yang masih jumeneng.

Oleh karena itu, daya hidup gondang buhun sebagai seni yang sarat nlai-nilai kearifa lokal sempat terancam punah. Generasi terakhir yang masih loma dengan Gondang Buhun hanya segelintir wanita yang yuswanya sudah lewat setengah abad dan jumlahnya kurang dari sepuluh orang.

Generasi terakhir yang mewarisi seni gondang buhun adalah Idar Tarsih. Ia menguasai seluruh lagu dalam gondang buhun, termasuk pola tutunggulannya. Rekan segenerasi Ma Idar yang menjadi anggota grup gondang buhun Kuta adalah Ma Saryi, Ma Engkan, Ma Kartini dan Ma Darsewi.  Ma adalah sebutan untuk ibu, dari kata emak atau ema.

Bersama rekan-rekannya Ma Idar sering diundang tampil ke luar kampung. Dan seiring ditetapkannya Kampung Kuta sebagai Kampung adat — terutama setelah mendapat Kalpataru tahun 2002 — gondang buhun Kuta turut menjadi daya tarik wisata dan duta seni Ciamis.

Dalam catatan Warsim Setiawan, ketua adat Kampung Kuta  ditambah keterangan dari Ma Idar Tarsih, disebutkan bahwa generasi sebelum Ma Idar yang menggiatkan kesenian gondang   adalah  Ma Rustiwi, ma Wasiti, Ma Ruswi, Ma Warsem dan Ma Tayu. Mereka  berkiprah antara tahun 1910 sampai 1935. 

Seni gondang  kemudian dilanjutkan oleh Idar Tarsih yang merupakan cucu Ma Ruswi. Ia mulai mempelajari gondang saat berusia 25 tahun.  Ma Idar belajar ngagondang berdasarkan tradisi sebelumnya. Diantaranya, lagu yang dikuasai harus apal cangkem alias tidak boleh ditulis. Angking adalah nama lagu pertama yang dihapalkanya.

Toto Amsar Suanda, Dosen seni Karawitan dan  kurator  Balai Pelestari Taman Budaya Jawa Barat, saat meninjau pewarisan gondang buhun Kuta tahun 2013, menyatakan bahwa syair gondang buhun Kampung Kuta  memiliki ciri yang berbeda, yaitu adanya bahasa sunda buhun yang terselip dalam bahasa sunda jaman sekarang dan terdengar tidak biasa.  

“Misalnya dalam lagu Budak Hideung, terdapat kalimat  kumuliat déngdeng tah pindang kidang. Kalimat  pindang kidang walau menjadi  cangkang paparikan, tapi tidak lajim. Apa yang dimaksud dengan pindang kidang itu? tentu disini ada maksud tersembunyi.” kata Toto

Pewarisan gondang buhun Kuta saat ditampilkandi Taman Budaya Dago Tea House Bandung tahun 2013

Toto menduga isi papatikan itu menyangkut kesejarahan Kampung Kuta . Sebab, isi paparikan gondang buhun yang hidup di Kampung Kuta  tidak akan jauh menceritakan keadaan lembur pada masanya. 

Setelah dilakukan pewarisan gondang buhun Kuta  melalui program pewarisan dari Taman Budaya Dago Tea House tahun 2013, seni sakral itu dapat terjaga kelestariannya. Kini banyak anak-anak di Kampung adat Kuta mengenal kembali kawih-kawih gondang buhun Kuta.

Exit mobile version