“Saya dididik jadi pengemudi. Tugas saya mengangkut alat-alat berat, meriam, beras untuk logistik dan perminyakan,” kenang Haryanto. Ingin tahu berapa gaji seorang prajurit dua (Prada) tahun 1979? “Sekitar Rp 18 ribu per bulan,” ujar Haryanto.
JERNIH–Demi mengetahui kisah seorang kopral, seketika Letjen Purn Doni Monardo minta untuk diagendakan bertemu saat berada di Kudus Jawa Tengah.
“Akhirnya, agenda di Kudus yang semula hanya ke pabrik Djarum, ditambah satu agenda lagi ke sini,” ujar Sekjen DPP PPAD, Mayjen TNI Purn Komarudin Simanjuntak, di garasi PO Haryanto Jl. Lingkar Timur, Krasak, Ngembal Kulon, Kec. Jati, Kabupaten Kudus, Sabtu (19/2) lalu.
Namanya Haryanto. Ia pensiunan kopral, pemilik bisnis otobus yang sukses. “Bisa dibilang yang terbesar di Kudus, bahkan mungkin di Indonesia,” kata Komarudin. Pendek kata, Kopral Haryanto sekarang bisa dibilang sebagai “Raja Bus”.
Sopir batalyon
Pagi hari, suasana sibuk tampak di garasi PO Bus Haryanto. Sebuah backdrop terpasang menutup sebagian layar wayang kulit di panggung berukuran 8 x 12 meter. Poster berisi kalimat sambutan selamat datang kepada Ketua Umum PPAD, Doni Monardo. Ada foto Haryanto dengan seragam TNI-AD di kiri, dan foto Doni Monardo dalam balutan PDL Kopassus lengkap dengan baret merahnya.
Seperangkat gamelan (alat musik pentatonis) yang dipandu alat-alat musik diatonis seperti gitar dan organ, tersedia di panggung. Menurut salah seorang karyawan di situ, panggung dan alat-alat musik itu praktis tidak pernah dibongkar. Hampir setiap malam di panggung itu diadakan latihan, mulai dari latihan campursari, gamelan, pedalangan, dan lain-lain.
Dari kejauhan tampak Haryanto mengenakan stelan safari dan berkopiah. Ia mengatur langsung penataan meja-kursi, serta tata hidangan di meja-meja bundar yang tersedia. Sesekali tampak ia berkomunikasi dengan Brigjen TNI Purn Edison pengurus pusat PPAD yang berperan sebagai tim aju. Datang lebih awal, mendahului kedatangan rombongan Ketum PPAD.
Saat ditanya, bagaimana perasaan dia menyambut kunjungan Ketua Umum DPP PPAD Letjen TNI Doni Monardo dan rombongan, Haryanto spontan mengucap terima kasih. Selain mengaku sangat terhormat, Haryanto juga sangat senang bisa bertemu langsung dengan Letjen TNI Doni Monardo. “Beliau orang besar. Saya banyak mendengar tentang beliau,” ujarnya.
Ia pun bersedia diajak ngobrol sambil menunggu kedatangan rombongan pengurus PPAD pusat. “Saya anak orang kampung. Orang tua saya hanya buruh tani. Sesekali kerja sambilan di pasar Kudus. Saya anak keenam dari sebelas bersaudara,” ujarnya membuka kisah.
Orang tua mendidiknya dengan keras. Sejak kecil ia sudah menjadi penggembala sapi milik tetangga, mengarit rumput untuk dijual sebagai pakan ternak, atau berjualan es. Semua ia lakukan untuk menambah penghasilan keluarga.
Lulus SD lanjut ke SMP. Lulus SMP meneruskan ke STM. Nah, sampai di sini ia merasa tidak cocok. Belum ada bayangan masa depan seperti apa yang kelak ia lalui. Bertekad mengubah nasib, ia tinggalkan Kudus menuju Serpong, Kabupaten Tangerang (sekarang Kota Tangerang Selatan). Ia menumpang di rumah kerabat dan teman yang lebih dulu merantau.
Tak jauh dari tempat tinggalnya, terdapat Markas Batalyon Artileri Pertahanan Udara 1/Purwa Bajra Cakti (Yon Arhanud 1/Rajawali). Ia merupakan batalyon artileri pertahanan udara di bawah komando Divisi Infanteri 1/Kostrad. Seketika Haryanto terngiang cita-cita masa kecilnya untuk menjadi tentara dan mengenakan seragam loreng.
Singkat kalimat, Haryanto pun mencoba melamar masuk TNI-AD tahun 1979. “Alhamdulillah saya lolos, lalu memulai pendidikan Secata di Gombong, Kebumen,” ujarnya. Lima bulan mengikuti Secata (Sekolah Calon Taruna), Haryanto lulus dan berhak menyandang pangkat Prajurit Dua (Prada). Dikatakan, selama lima bulan di Secata ia –bersama prajurit siswa lain– digembleng menjadi prajurit tangguh dan pantang menyerah.
Setelah lulus ia ditempat-tugaskan di Batalyon Artileri Pertahanan Udara I/Rajawali Serpong. Tak jauh dari tempat rantaunya. Sebuah batalyon yang mengemban peran, fungsi, dan tugas pokok memberikan perlindungan udara terhadap objek vital maupun titik rawan. Di batalyon itu, Haryanto ditugaskan sebagai pengemudi. Ya, sopir batalyon.
“Saya dididik jadi pengemudi. Tugas saya mengangkut alat-alat berat, meriam, beras untuk logistik dan perminyakan,” kenang Haryanto. Ingin tahu berapa gaji seorang prajurit dua (Prada) tahun 1979? “Sekitar Rp 18 ribu per bulan,” ujar Haryanto.
Sebagai pengemudi batalyon, sehari-hari bergulat dengan kendaraan bermotor. Ia pun belajar tentang teknik mesin di bengkel batalyon. Pengetahuannya tentang seluk-beluk kendaraan bermotor pun ia kuasai.
Memanfaatkan jam kosong di luar dinas, Haryanto mulai berpikir tentang mencari tambahan penghasilan. Satu-satunya pekerjaan yang kuasai dengan baik adalah mengemudi. Maka, ia pun bekerja sambilan sebagai sopir angkot.
Dengan gaji prajurit ditambah penghasilan tambahan sebagai sopir angkot, tahun 1982 Haryanto memberanikan diri membangun rumah tangga. Ia meminang wanita pujaan hati, Suheni (pasangan ini dikaruniai tiga putra dan tujuh cucu). Hj Suheni meninggal dunia 22 April 2014. Selang beberapa tahun kemudian Haryanto menikahi Nurhana, sinden dan penyanyi campursari kondang-red).
Nah, kembali ke kisah Haryanto muda. Usai menikah, lazim jika kebutuhan bertambah. Dengan gaji tentara serta tambahan sebagai sopir angkot, tak jarang ia harus gali lubang utang, sekadar bisa membayar sewa kontrakan yang berukuran 3×4 meter.
Himpitan ekonomi, justru melecut tekad Haryanto untuk bekerja lebih gigih. Tuhan menyukai hambanya yang bekerja keras, nyata adanya. “Saya mulai bisa menabung. Kadang sepuluh ribu per hari, kadang lebih, kadang kurang, tergantung rezeki yang saya dapat,” ujarnya.
Tahun 1984, tabungannya mendekati satu juta rupiah. Bulat hati ia mencicil satu unit mobil angkutan kota (angkot) warna biru muda berikut izin trayeknya. Trayek R-03-A melayani jalur Pasar Anyar – Serpong. Ia bahkan masih ingat betul jalur yang biasa ia lalui, mulai dari Pasar Anyar – Stasiun Tangerang – Jl TMP Veteran – Jl Mohammad Yamin – Cikokol – Jl MH Thamrin – Kebon Nanas – Jl Serpong Raya Pakulonan – JL. Pahlawan Seribu – Jl.Kapten Soebianto Djodjohadikusumo – Cilenggang – Kramat Tajug – Asrama Polsek Serpong – Jl.Raya Serpong – Pasar Serpong dan berakhir di Stasiun Serpong.
“Tapi waktu itu jalannya belum sebagus sekarang,” katanya seraya menambahkan, “Masih banyak kebun karet. Lubang jalan di sana-sini.”
Demi pundi-pundi rumah tangga, ia bahkan menambah jam kerja sebagai sopir. Suheni yang mengatur keuangan, termasuk tradisi menabung. Tak heran jika Haryanto bisa menambah jumlah angkot dari hasil tabungannya. “Penghasilan tambahan juga kami dapat dari mengageni tiket bus antarkota,” kata lelaki kelahiran Kudus, 17 Desember 1959 itu.
Ketekunan dan kerja kerasnya terbayar lunas dengan peningkatan penghasilan serta asset yang dimiliki. Jumlah angkot dari satu, tambah dua, tiga, empat, lima hingga tembus angka seratus unit! Hampir semua trayek ia punya. Bahkan, masih di sekitar tahun 1990-an ia sudah membuka showroom khusus angkot. “Cukup laris, tiap bulan bisa menjual 20 sampai 30 unit,” katanya senang.
Karier militer Suharyanto berjalan relatif mulus. Sejak masuk batalyon tahun 1979 dengan pangkat Prajurit Dua (Prada) hingga tahun 2002, Haryanto sudah berpangkat kopral kepala. Di militer, pangkat itu masuk kategori Tamtama Kepala. Lima kenaikan pangkat telah ia lalui, mulai dari Prajurit Dua (Prada), Prajurit Satu (Pratu), Prajurit Kepala (Praka), Kopral Dua (Kopda), Kopral Satu (Koptu), dan Kopral Kepala (Kopka).
Usia pengabdian Haryanto tercatat 23 tahun. Nah, sesuai UU No 2 tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata RI, ia sudah bisa mengakhiri masa dinas keprajuritan, sesuai pasal 32 ayat (1) : Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang telah mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan selama 20 tahun dapat diberhentikan dengan hormat dari dinas keprajuritan untuk menjalani masa pensiun.
Haryanto pun memilih pensiun, meski masih ada kesempatan mengabdi sampai usia 48 tahun, sesuai UU yang berlaku waktu itu. “Karena pengabdian saya sudah melampaui batas 20 tahun, maka saya sudah bisa mengajukan pensiun. Uang pensiun saya waktu itu Rp 800 ribu per bulan,” ujarnya.
Haryanto tetap menghargai setiap rupiah yang ia terima dari pengabdiannya sebagai prajurit TNI. Sekalipun, sebagai pengusaha ratusan angkot, penghasilannya bisa mencapai ratusan juta rupiah per bulan.
Bersamaan tahun pensiun, Haryanto merambah bisnis angkutan bus. “Saya dapat kepercayaan kredit dari BRI sebesar Rp 3 miliar. Uang itu saya pakai untuk membeli enam unit bus dengan nama PO Haryanto. Logonya Menara Kudus,” ujarnya.
Awalnya, ia hanya mengoperasikan bus non-AC alias kelas ekonomi. Rutenya pun relatif pendek, yakni Cimone (Tangerang) – Cikarang (Bekasi) menempuh jarak 89 km. “Di usaha bus, saya juga mengalami jatuh-bangun. Hingga saat ini trayek PO Haryanto melayani hampir semua kota besar di Jawa dan beberapa kota di Sumatera. Armada kami sudah lebih 250 unit bus. Bisa dibilang, merajai,” ujar Haryanto.
Saking banyaknya armada, pool PO Haryanto tidak hanya di Tangerang dan Kudus, tetapi juga di sejumlah kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Haryanto bahkan sudah mengembangkan sayap bisnisnya ke usaha restoran dan SPBU.
Kuasai trans Sumatera
Seseorang setengah berlari mendekat ke arah Haryanto, mengabarkan rombongan Doni Monardo sudah hampir tiba. “Sudah dulu ya mas, nanti kita sambung lagi. Pak Doni sudah rawuh,” pamitnya, mengakhiri perbincangan yang “seru” itu.
Doni Monardo dan rombongan tiba. Haryanto menyambut, berdiri tegap sikap correct dan memberi hormat. Mengangkat lengan kanan membentuk sudut 90 derajat dan ditekuk 45 derajat, jari-jari dirapatkan dan ditempatkan di dekat pelipis mata kanan, telapak tangan menghadap ke bawah. Doni tersenyum dan membalasnya dengan salam namaste.
Keduanya, diiringi pengurus pusat PPAD menuju meja bundar paling depan. Selain Doni dan Haryanto, dua pengurus PPAD lain yang mendampingi mereka masing-masing Ketua Dewan Pengawas/Waketum II DPP PPAD, Letjen TNI Purn Dodik Wijanarko dan Kabid Ekonomi, Mayjen TNI Wiyarto. Anggota lain tersebar di meja-meja bundar yang tersedia, dan telah ditata sedemikian rupa sesuai protokol kesehatan di era pandemi.
Saat memberi sambutan selamat datang, Haryanto mengisahkan secara singkat riwayat usaha yang ia rintis. Satu hal yang ia tambahkan adalah bagaimana ia menerapkan kewajiban sholat lima waktu bagi karyawannya dengan disiplin. Ia mengelola bisnisnya dengan manajemen langit. Artinya, mengamalkan perintah Tuhan dalam praktik manejemen.
Tidak hanya perintah sholat, serta kewajiban bus berhenti di jam-jam shalat, Haryanto juga memotong dan memisahkan langsung 2,5 persen dari setiap penjualan tiket yang diperuntukkan bagi kaum dhuafa. Terakhir, ia mengucapkan terima kasih kepada pengurus pusat PPAD yang berkenan melakukan kunjungan ke garasinya. “Kami siap bekerja sama dan membantu PPAD,” ujar Kopka Purn H. Haryanto mantap, disusul tepuk tangan hadirin.
Sementara, Ketua Umum PPAD Doni Monardo memuji dan mengapresiasi kerja keras Haryanto hingga menjadi pengusaha sukses. Tak lupa Doni mengucapkan terima kasih serta rasa bangga dan salut dengan sikap terbuka Haryanto menerima para purnawirawan yang ingin bekerja di perusahaannya.
Untuk diketahui, kata Doni, yang disebut pahlawan hari ini dan yang akan datang adalah seorang yang bisa menciptakan lapangan kerja bagi orang lain. “Jadi, di mata saya, Pak Haryanto adalah seorang pahlawan,” kata Doni.
Doni juga meminta Kabid Ekonomi Mayjen TNI Purn Wiyarto menjajagi kerja sama antara PPAD dan perusahaan milik Haryanto. “Kalau perlu PPAD mengajukan hak kelola fasilitas rest area yang ada di Trans Sumatera, dan pengelolaannya kita kerja samakan dengan Pak Haryanto,” ujar Doni, disambut tepuk tangan antusias hadirin.
“Dengan berbagai peluang yang ada, saya berharap semakin banyak Pak Haryanto bisa menyediakan lapangan kerja bagi para purnawirawan dan anak bangsa yang lain. Saya berdoa semoga pak Haryanto senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang,” pungkas Doni.
Acara berakhir setelah tuan rumah H. Haryanto dan Nurhana sang istri, menyanyikan satu tembang campursari, berjudul “Madiun-Ngawi”. Lagu karya Sonny Josz yang dipopulerkan kembali oleh Cak Nan dan Yeni Inka. Sebelum tarik suara, Haryanto mengatakan, “Lagu ini adalah lagu kenangan saat saya ketemu istri saya.” Nurhana tersenyum manja.
Lagu pun melenggang dalam irama campur sari yang membuat pendengar serasa ingin bergoyang. Tak lama setelah Nurhana melantunkan suara merdunya, Sekjen PPAD Mayjen TNI Komarudin Simanjutak bangkit dari kursi dan asyik berjoget. Beberapa pengurus PPAD lain pun tak kuasa menahan diri untuk ikut sekadar menggoyang pinggul.
“Benar-benar bhinneka tunggal ika,” kata Komar saat meninggalkan tempat acara. “Yang menyanyi orang Jawa. Yang disuguhi orang Minang,” sambil menunjuk ke arah Doni Monardo. “Dan yang joget, Batak… ha… ha… ha….” [ ]