Sejarah Rajadesa tidak dapat dilepaskan dari perkembangan kawasan di sekitarnya, baik pada periode prasejarah, klasik, maupun pada masa perkembangan Islam dan masa kolonial. Tinggalan masa prasejarah di Rajadesa terdapat di Kampung Citapen, Desa Sukajaya, Kecamatan Rajadesa. Bukti adanya jaman prasejarah di Rajadesa dengan ditemukannya Rock art Citapen yang memiliki nilai penting bagi kesejarahan masa purba di Indonesia sekaligus melengkapi bukti akan keberadaan manusia purba di Tambaksari.
Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Tapak Karuhun Nusantara tahun 2017, adanya batu bertulis di dinding tebing Citapen sudah ditandai dalam peta Oudheidkundige Kaart van West en Midden Java 1891 yaitu dengan simbol + (plus) yang bermakna beschreven steenen en voorwerpen met inscriptie’s (batu dan benda yang digambarkan dengan tulisan).
Selain di Citapen, tanda + juga menandai kota Kawali karena adanya prasasti-prasasti di Astana Gede dan Desa Sadapaingan karena pernah ditemukan Prasasti Sadapaingan tahun 1863. K.F. Holle menyebut prasasti Sadapaingan sebagai De Klokod Kohkoh van Galuh.
Demikian pula N.J. Krom dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch – Indie 1914 telah mencatat Rock art Citapen dalam data nomor 288 sebagai Inkrassingen, o. A. Menschelijke figuren, op den rotswand ten Zuiden van de Tjidolang (tokoh manusia, di atas batu menghadap ke selatan Tjidolang). Laporan tersebut merujuk dari Wilsen dalam Oudheden in Cheribon. Bat.Gen.IV (1857).
Karya grafis paling purba itu berada di permukaan dinding batu yang tingginya mencapai 150 m dengan kemiringan hampir 80 derajat. Namun karena adanya longsoran-longsoran dari atas mengakibatkan tanah menumpuk keatas sehingga permukaan bidang tebing yang perlahan-lahan tertutup dan tampak hanya setengahnya saja.
- Misteri Arca Lenggo Kerajaan Galuh Kertabumi, Akhirnya Terpecahkan
- Kerancuan Daftar Para Bupati Kabupaten Ciamis Akhirnya Terungkap
- Situs Makam Bupati Kawali dari abad 18 Masehi Terancam Longsor
Keletakan rock art Citapen berada pada kordinat S 07°8’11.7672” dan E 108°29’15.216” di ketinggian 542 mdpl. Lebar tebing yang tampak di atas permukaan tanah yang adalah 16 meter dan pelatarannya selebar 6 meter. Beberapa goresan berupa simbol tangan yang dibuat manusia purba Citapen masih tampak terlihat di kaki tebing dengan jarak 40 cm dari permukaan pelataran. Simbol-simbol tangan tersebut diantaranya berukuran panjang 13 cm x 12 cm dan 17 cm x 10 cm.
Menurut Ki Sanwapi dalam Buku Carita Rakyat Buyut yang ditulis H. Djadja Sukardja menyatakan bahwa pada bagian yang tertutup longsoran tanah, memiliki fragmen gambar yang lebih banyak lagi seperti gambar telapak kaki, dan tulisan mirip sunda kuno. Goresan-goresan tersebut dalam pemahaman masyarakat lokal adalah karya Dipati Rahong.
Masyarakat Rajadesa dan sekitarnya menyebut Rockart Citapen ini dengan sebutan batu tulis Citapen. Tokoh Dipati Rahong dalam Buku Cerita rakyat Buyut disebutkan sejaman dengan Prabu Sirnaraja yang berkuasa di Rajadesa, namun dalam buku Sejarah Rajadesa karya HM.Suryana Wiradiredja sejaman dengan Dipati Wira Mantri. Demikian pula buku Silsilah Sedjarah Galoeh Karya RH. Gun Gun Gurnadi mendukung keterangan buku Sejarah Rajadesa
Rock Art Citapen menampakan motif gambar yang terdiri dari garis dan bidang tak beraturan. Beberapa bidang garis seolah mengelompok di beberapa bagian. Gambar dan garis itu membentuk telapak tangan, ada juga goresan yang menyerupai figur manusia. Kini, gambar-gambar kuno tersebut semakin terancam vandalisme yang dilakukan oleh tangan-tangan kejam tak bertanggunggung jawab.
Namun ternyata coretan dinding di Citapen itu jauh lebih tua dari eksistensi Dipati Rahong. Kehadirannya adalah pesan dari masa prasejarah. Bahwa jutaan tahun yang lalu saat daratan masih bersatu telah datang manusia purba ke Citapen. Mereka adalah para pemburu yang mengikuti jejak hewan buruannya yang bermigrasi dari Afrika ke Asia.
Gatra memberitakan bahwa ahli Geo-Arkeologi Balar Bandung Toni Djubiantoro, saat meneliti Rock Art Citapen tahun 2000 menyatakan bahwa dinding tebing batu yang menjadi bidang gambar adalah jenis batu breksi yang terbentuk dari endapan vulkanik. Tidak keras sehingga mudah untuk digores dengan benda tajam.
Tony juga meyakini bila dilihat dari proses pembentukan dan penghunian Pulau Jawa, besar kemungkinan umur manusia purba di Jawa bagian barat lebih tua bila dibandingkan dengan umur manusia purba di bagian tengah dan timur Pulau Jawa. Pada Zaman Es, sekitar dua juta tahun silam, diperkirakan manusia purba melakukan migrasi dari Afrika. Perjalannnya ke Asia mengikuti pola migrasi hewan karena pada waktu itu daratan terbentang luas, belum menjadi benua dan kepulauan.
Dari adanya coretan purba di Citapen maka muncul kemungkinan bahwa manusia purba di Jawa Barat, seperti di Citapen ini lebih tua dari manusia purba Sangiran. Hal tersebut didukung teori geologi bahwa Pulau , Jawa terbentuk atas desakan dari bawah. Dan bagian yang muncul paling awal adalah Jawa bagian barat. Setelah itu baru daerah Jawa bagian tengah dan Jawa bagian timur.
Artinya, manusia purba lebih dulu masuk ke Jawa bagian barat, yang sudah terangkat ke permukaan laut. Tesis ini, menurut Tony, makin kuat melihat banyaknya temuan daun dan pohon bakau di Tambaksari. Tulang-tulang ikan dan kulit kerang juga berserakan. “Dulu Tambak- sari ini adalah batas pantai. Jawa baru terbentuk sampai daerah ini,” kata Tony dikutip dari Gatra.
Demikian pula Prof. Dr. Michael Morwood dari Departemen Arkeologi dan Paleontologi, Universitas New South Wales, Australia saat berkunjung ke Citapen tahun 2001, seperti dikabarkan oleh Gatra, bahwa rockart Citapen memiliki kemiripan dengan rock art yang dibuat oleh Suku Aborigin di Kimberley Australia Utara dan rock art di Australia Selatan pun memiliki corak yang sama. Maka boleh jadi leluhur Suku Aborigin masih berkerabat dengan manusia purba Citapen. (Pd)