Site icon Jernih.co

Junaid Al-Baghdadi dan Seorang Haji yang Belum Pernah Berihram

“Aku teringat sebuah hadits di mana Nabi SAW berkata,” Di hari-hari terakhir nanti, yang menjadi juru bicara di antara ummat manusia adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dialah yang akan berkhotbah kepada umat manusia.”

JERNIH– Ketika lidah Junaid telah fasih mengucapkan kata-kata mulia, Sarri as-Saqathi mendesak dengan menyatakan Junaid telah berkewajiban untuk berkhotbah di depan umum. Mula-mula Junaid enggan; ia tidak ingin melakukan hal itu.

“Apabila guru masih ada, tidaklah pantas bagi si murid untuk berkhotbah”, Junaid berkilah. Hingga pada suatu malam Junaid bermimpi bertemu Nabi Muhammad SAW.

“Berkhotbahlah!” kata Nabi SAW memerintahkannya.

Keesokan paginya, Junaid hendak pergi mengabarkan hal itu kepada Sarri, tetapi ternyata Sari sudah berdiri di depan pintu rumahnya. “Sebelumnya engkau selalu enggan dan menantikan agar orang-orang mendesakmu untuk berkhotbah. Tetapi mulai saat ini engkau harus berkhotbah karena kata-katamu dijadikan sebagai alat keselamatan bagi seluruh dunia. Engkau tak mau berkhotbah ketika dimohonkan murid-muridmu, engkau tak mau ketika diminta para syeikh di kota Baghdad. Dan engkau tak mau berkhotbah ketika kudesak. Tetapi kini Nabi sendirilah yang memberi perintah kepadamu, dan karena itu engkau harus mau berkhotbah.”

”Semoga Allah mengampuni diriku,”jawab Junaid. “Tetapi bagaimanakah dirimu, Guru, bisa mengetahui bahwa aku telah berjumpa dengan Nabi SAW dalam mimpiku?”

“Aku bertemu dengan Allah dalam mimpi,” jawab Sarri, “Dia berkata kepadaku,” Telah Kuutus rasul-Ku untuk menyuruh Junaid berkhotbah di atas mimbar.”

“Aku mau berkhotbah”, Junaid menyerah, “Tetapi dengan syarat, yang mendengarkan khotbah-khotbahku tidak lebih dari empat puluh orang.”

Pada suatu hari Junaid berkhotbah. Jumlah pendengar pas empat puluh orang. Delapan belas orang di antaranya menemui ajal mereka, sedang sisanya yang berjumlah dua puluh dua orang jatuh pingsan dan harus digotong ke rumahnya masing-masing.

Di dalam kesempatan lain Junaid berkhotbah di dalam masjid yang lebih besar. Di antara jamaahnya ada seorang pemuda Kristen tetapi tak seorang pun yang mengetahui bahwa ia beragama Kristen. Si Pemuda Kristen menghampiri Junaid dan berkata,”Nabi pernah berkata, “Berhati-hatilah dengan wawasan seseorang yang beriman, karena ia dapat melihat dengan Nur Allah”. Apakah maksudnya?”

“Yang dimaksudkannya adalah,” kata Junaid,” Bahwa engkau harus menjadi seorang Muslim dan melepaskan sabuk kekristenanmu itu, karena sekarang ini adalah zaman Islam.”

Si Pemuda segera memeluk Islam setelah mendengar jawaban Junaid tersebut.

                                                          ***

Setelah berkhotbah beberapa kali, orang-orang menentang Junaid. Junaid menghentikan khotbahnya dan mengurung diri di dalam kamarnya. Betapa pun ia didesak untuk berkhotbah kembali, ia tetap menolak.

“Aku sudah cukup puas”, jawab Junaid, “Aku tidak mau merancang kehancuran diriku sendiri.”

Tetapi beberapa lama kemudian tanpa diduga-duga Junaid naik ke atas mimbar dan mulai berkhotbah. “Apakah kebijaksanaan yang terkandung di dalam perbuatanmu ini?”  seseorang bertanya kepadanya.

Junaid menjawab, “Aku teringat sebuah hadits di mana Nabi SAW berkata,” Di hari-hari terakhir nanti, yang menjadi juru bicara di antara ummat manusia adalah yang paling bodoh di antara mereka. Dialah yang akan berkhotbah kepada umat manusia”. Aku menyadari bahwa aku adalah yang terbodoh di antara umat manusia dan aku berkhotbah karena kata Nabi SAW itu, aku takkan menentang kata-kata beliau.”

                                                          ***

Suatu ketika Syekh Junaid Al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yang baru saja pulang menunaikan haji. Meskipun ritual haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa pun dalam hidupnya.

“Dari mana Anda?” tanya Syekh Junaid.

”Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?”jawab orang itu.

”Jadi, Anda benar-benar telah melaksanakan ibadah haji?”

”Tentu, Syekh. Saya telah menunaikan haji.”

”Apakah Anda sudah berjanji akan meninggalkan dosa-dosa Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?”

“Tidak, Syekh. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”

“Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” kata Syekh Junaid.

“Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dengan Allah?”

“Itu semua tak terlintas di benak saya.”

“Berarti Anda tidak pergi menuju Kakbah, tidak pula pernah mengunjunginya.”

“Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yang biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Syekh Junaid lagi.

“Tidak, Syekh. Saya juga tak pernah berpikir demikian.”

“Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram,” Syekh Junaid menyayangkan.

”Saat Anda wuquf di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”

”Tidak. Saya tak mendapat pengalaman spiritual apa-apa.”

Syekh Junaid sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jasmaniah Anda?”

“Syekh, saya pun tak memikirkan hal itu.”

“Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.”

Lalu Syekh Junaid bertanya, “Kalau begitu, ceritakan kepadaku keindahan Ilahiah apa yang Anda tangkap sekilas saat thawaf, mengitari Kakbah.”

“Tidak ada, Syekh. Sekilas pun saya tak melihat.”

“Sama artinya Anda tidak mengelilingi Kakbah sama sekali.” Lalu, “Ketika sa’i, lari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?”

“Tidak.”

“Berarti Anda tidak melakukan sa’i.”

“Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”

“Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Syekh.”

“Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa-apa.”

“Lalu, ketika Anda melempar jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”

“Tidak juga, Syekh.”

“Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.”

Dengan nada menyesal, Syekh Junaid berkata, “Ulangi, tahun depan tunaikan haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yang ada hingga haji Anda mirip dengan ibadah haji yang dilakukan Nabi Ibrahim.” [  ]

Dari “Muslim Saints and Mistics” Fariduddin Aththar, Pustaka Zahra, 2005

Exit mobile version