Site icon Jernih.co

Kapolri Dilematis Adanya Kelompok Radikalisme dalam Tubuh Polri

Dan yang sampai sekarang belum ketemu jawabannya adalah faktor apa yang membuat TNI-Polri bisa teradikalisasi.

JERNIH-Pendiri Negara Islam Indonesia (NII) Crisis Center Ken Setiawan menyoroti dinamika radikalisasi di kalangan aparat, khususnya di tubuh TNI dan POLRI

Menurut Ken, saat ini radikalisasi terjadi di semua lini. Benar-benar tidak ada yang steril. Setiap hari mata kita dibikin terbelalak, dengan fenomena-fenomena baru, masifnya radikalisme.

Ketika Menteri Pertahanan menyatakan bahwa 3% TNI terpapar radikalisme, kita semua kaget, ternyata radikalisme sudah menembus benteng terakhir pertahanan NKRI. Belum selesai kekagetan kita, disusul munculnya riak-riak radikalisasi di tubuh Polri, dengan munculnya komunitas Polri Cinta Sunah.

Kapolri menurut Ken sampai saat ini belum berani mengambil sikap atas hal ini karena di lematis, secara keyakinan agama bukan Islam, jadi mungkin banyak pertimbangan, bisa dianggap anti Islam jika menindak dan memproses pelaku cinta sunnah.

Ken juga akhir akhir ini melihat fenomena istilah hijrah, bahkan kini muncul banyak komunitas tentang hijrah yang digandrungi kalangan milenial, demikian juga artis banyak yang tiba tiba ikut ikutan hijrah.

Secara istilah, hijrah memang baik. Sayangnya hijrah yang selama ini nge-trend justru yang mengarah pada radikalisme, sehingga awalnya nakal berubah rajin ibadah. “Dari nakal, menuju radikal”.

Dan yang sampai sekarang belum ketemu jawabannya adalah faktor apa yang membuat TNI-Polri bisa teradikalisasi. Bisa jadi memang ada infiltrasi agenda kelompok rasikal untuj kudeta, sehingga mereka merekrut aparat. Jelas Ken.

“Tidak salah berjenggot dan bergamis, tapi kalau ada polisi dan tentara bergamis dan berjenggot gimana gitu, saya rasa ada kode etik di internal aparat kita yang tidak memperbokehkan hal itu.”Jelas Ken.

Maka ketika ada polisi atau tentara bergabung dengan Salafi Wahabi dan sejenisnya, kemungkinannya hanya satu yaitu nasionalismenya hilang dan berubah jadi arabisasi, sebab kelompok tersebutlah yang selalu teriak anti adat budaya tradisional nusantara.

Baik Salafi Wahabi, Ihwanul Muslimin, dan HTI ideologinya mirip-mirip, ketemu dalam hal sama-sama menolak budaya, adat, dan tradisi, karena itu semua dianggap kreasi manusia (ro’yu). Tolak ukur boleh tidaknya perbuatan adalah amalan Sunnah atau bukan. bila tidak sesuai kaidah mereka maka divonis Bid’ah.

Jadi kalau ada Polisi Cinta Sunah, maka otomatis ada Polisi Bid’ah, wah bahaya itu. kata Ken.

Konsekuensinya, upacara bendera, doa bersama dengan agama lain, dan ritual lainnya, yang tidak termasuk Sunnah, adalah bid’ah, fasiq, dan kafir. Bayangkan, apa jadinya jika ideologi semacam itu yang diyakini oleh anggota polisi.

Selaku eks pelaku radikalisme, Ken menyarankan agar Polri dan TNI mencari ormas atau kelompok keagamaan yang terbukti cinta NKRI. Yang menyadari bahwa NKRI adalah bumi sujud kita.

Kesalehan itu baik, penyalurannyapun harus baik dalam bingkai agama yang berwawasan kebangsaan. Jangan yang melawan negara. Jangan sampai salah mencari guru/ustadz, karena akibatnya akan menyesal di kemudian hari, ya seperti saya yang pernah jatuh dalam kubangan hitam radikalisme. Jelas Ken.

Beragama bagi Ken bukan hanya bicara ritual formal saja, kelihatan rajin ibadah, dengan adzan lagsung ke masjid dan tampilan agamis, tapi juga bicara ahlak dan etika dalam menjalankan tugas bernegara.

Lucu kan bila ada Polisi tidak mau jamaah dengan masyarakat karena ada qunut dalam sholat dan tahlil serta tidak mau hormat bendera dan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya karena dianggap bid’ah dan syirik.

Jika Kapolri tidak menganggap ini serius maka ini akan jadi preseden buruk bila membiarkannya, karena disatu sisi Densus 88 yang juga bagian dari aparat kepolisian getol menangkap pelaku teror.

“Jangan salah bila suatu saat Polri Cinta Sunnah ini besar maka dilematis ini akan akan menjadi senjata makan tuan.”.

Exit mobile version