Site icon Jernih.co

Kasus Gerakan Raksapraja, Sultan Tetiron di Tahun 1828

JAKARTA– Munculnya fenomena  raja dan sultan fiktif  yang saat ini sedang viral juga terjadi di masa lampau. Bedanya kasus raja atau sultan fiktif masa kini sarat dengan pembiasan sejarah dan pengakuan palsu mengenai kekuasaannya di seluruh dunia.

Motif-motif tersebut digoreng dengan bumbu propaganda ‘halu’ mengenai kekayaan yang tak terbatas atau unlimited dengan tujuan menjerat masyarakat dengan harapan semu.  Demikian pula kasus King Of The King yang mengangkat isu Imam Mahdi, juga disertai iming-iming dana Ampera, kini mulai ditangani polisi.

Sedangkan kasus di abad 19 masehi umumnya dilatar belakangi oleh motif perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda, yang ditimbulkan akibat ketidakadilan. Dalam kasus di abad 19  ada yang bersifat  magico religius yang mencerminkan milleniaristis atau membangkitkan kejayaan masa silam, termasuk juga yang bersifat messianistis atau harapan datangnya Ratu Adil yang mencuat karena adanya ketidakadilan baik politik maupun persoalan sosial ekonomi di masyarakat.

Beberapa kasus di abad 19 yang terjadi dengan latar belakang  perlawanan pemerintah Hindia Belanda berbuntut konflik dan menimbulkan korban nyawa.  Bersumber dari Buku Sejarah Tatar Sunda Jilid I (Nina Lubis dkk) diantaranya tertulis gerakan Raksapraja, warga Cutak Karang, kabupaten Sukapura yang mengangkat  dirinya sebagai Sultan Raja Kanoman tahun 1828.  Akibatnya, Raksapraja ditangkap oleh Hindia Belanda dan dibuang ke luar Jawa dengan tuduhan penipuan dan pemakaian gelar kebangsawanan.

Namun gerakan Raksapraja sesungguhnya baru dimulai setelah ia bebas dari masa hukuman.  April tahun 1842 ia berhasil mengumpulkan 19 orang warga Cutak Karang untuk menyerbu  Bandung dalam rangka merebut kekuasaan R Wiranatakusumah III, bupati Bandung (1829-1846). Semangat Raksapraja timbul setelah dibantu kawan lamanya yang bernama Raden Aria Anggadikusuma, seorang Patih Polisi yang juga merasa tidak puas karena tidak diangkat menjadi kepala Cutak seperti ayahnya.

Anggadikusumah berniat memberontak dilandasi sakit hati. Ia pernah mengajukan permohonan kepada Residen Priangan untuk menguasai empat cutak yaitu, Cisondari, Rongga, Cihea serta Kopo yang dulu dikuasai ayahnya. Namun oleh Residen Priangan hanya dikabulkan dua cutak saja, yaitu Cisondari dan Rongga.  Yang membuatnya lebih sakit hati adalah pemecatan dirinya sebagai Patih Polisi Bandung oleh Hindia Belanda.

Maka  timbulah niat untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda, dengan memanfaatkan Raksapraja yang juga bersemangat untuk menggulingkan Bupati Bandung. Uniknya dua tokoh sentral ini dalam pergerakannya tidak pernah bertemu. Cara komunikasi mereka menggunakan surat yang dibawa beberapa orang kepercayaan Raksapraja kepada Anggadikusumah

Rombongan Raksapraja kemudian berangkat menuju Bandung setelah menerima surat balasan Anggadikusumah yang mengundangnya ke Bandung. Surat undangan itu rupanya disalahartikan, dianggap sebagai kode untuk melakukan serangan. Padahal Anggadikusuma hanya mengundang untuk bertemu. Dalam perjalanan ke Bandung, rombongan Raksapraja singgah di beberapa tempat. Selain untuk menambah orang yang simpatik terhadap gerakannya juga untuk mengatur strategi agar gerakannya tidak tercium pemerintah Hindia Belanda.

Kampung-kampung yang disinggahinya yaitu Cengcem (Sukapura), Cipetir, Cikupa, Cikamiri (Cutak Tarogong), Liang Maung (Cutak Banjaran) dan Cihanjaro. Melalui intruksi surat Anggadikusuma, Rombongan yang bertambah banyak disarankan bersembunyi dulu. Raksapraja kemudian menuju Gunung Tilu dan bersembunyi selama 15 hari. Di Cihanjaro Raksapraja mengangkat dirinya sebagai Pangeran Raja Markum.

Untuk memberitahukan lokasi persembunyiannya Raksapraja kembali menyuruh seorang kepercayaannya benama Sastra untuk menemui Anggadikusumah. Dalam pertemuan itu,  Anggadikusumah meyakinkan Sastra bahwa ia akan tetap ikut dalam pemberontakan. Kepada Sastra, Anggadikusumah juga mengaku sebagai Ratu Adil  dan akan ke Cilauteureun untuk menjemput Nyai Ratu Ageng yang membawa 71 kapal yang akan membantu pemberontakan Raksapraja.  

Untuk lebih meyakinkan Raksapraja, Anggadikusumah menitipkan dua rol kain putih, satu rol kain merah, dua buah sendok mas, 30 butir batu senapan, dan satu helai kain panas (selimut). Benda-benda tersebut umum digunakan oleh seorang bupati. Namun benda-benda tersebut tidak boleh diserahkan langsung oleh Sastra yang tidak memegang jabatan. Menurut Anggadikusumah harus diserahkan oleh Jaya Kusuma, kepala Cutak Ciparay yang jabatannya lebih tinggi dari Raksapraja.

Setelah melalui kisah yang berliku-liku, dapat disimpulkan bahwa Anggadikusumah sebenarnya hanya mengulur waktu karena merasa serba salah. Ia tidak menyangka bahwa Raksapraja serius menuju Bandung dengan jumlah pengikut yang cukup banyak untuk memberontak. Padahal ia hanya mengundang untuk bertemu, bukan langsung beraksi. Selain itu, Anggadikusuma sebenarnya tidak memiliki keberanian untuk memberontak karena ia tipe  orang yang menjauhi kekerasan.

Untuk mengalihkan perhatian Raksapraja menyerang Bandung, Anggapraja menyuruh rombongan Raksapraja ke Cidamar yang dikuasai oleh Cutak Jaya Samudra yang kurang disenangi warganya. Kelompok Raksapraja kemudian membuat kekacauan dengan tindak kekerasan untuk menakuti warga dan menangkap Kopral Polisi Sumawireja yang bermaksud menanyakan maksud gerakan Raksapraja.

Mendengar anak buahnya ditangkap, Jaya Samudra menunjuk Gariman untuk memimpin 150 orang ke Cilimus untuk mengancam Raksapraja agar menyerah. Namun ancaman itu tak digubris, Raksapraja balik menggertak bahwa ia tidak takut dengan jumlah pasukan Gariman.

Kelompok Raksapraja yang berjumlah 90 orang malah berbalik menyerang dan mengejar pasukan Gariman. Sampai akhirnya Jaya Samudra dapat ditangkap pasukan Raksapraja. Ia dibebaskan kembali karena bukan tokoh penting di Cidamar. Jaya Samudra segera melaporkan kepada  Residen Priangan yang saat itu dijabat oleh Ridders. Akhirnya kepada Bupati Limbangan, Bandung dan Sukapura diintruksikan mempersiapkan pasukan untuk menyergap Raksapraja di Bungbulang.

Raksapraja yang mengetahui info tersebut segera menuju Cilayu lalu ke Cipancang dan diteruskan ke Sodong-Ciliyak. Dari Ciliyak dilanjutkan ke Cikaso (Cutak Kandangwesi).  Perjalanan berlanjut ke Muara Cikandang, Cirompong dan Cigelam (Cutak Garut). Dalam perjalanan itu Pasukan Raksapraja berhasil menawan 19 pasukan pengamat Jaya Samudra dan menewaskan utusan kepala Cutak Garut. Perjalanan pun sampai ke Gunung Windu (Cutak Majalaya).

Di Gunung Windu, di sebuah hutan bernama Kasesepan, lima andalan Raksapraja bentrok dengan lima utusan Cutak Majalaya. Salah seorang utusan Cutak Majalaya menjadi korban dan empat lainnya melarikan diri. Hal tersebut segera dilaporkan kepada Komandan Prajurit Majalaya bernama Letnan R Rangga Suriadiredja.

Pada 8 Juni 1842, Pasukan Rangga Suriadiredja menyerang Raksapradja. Dalam pertempuran itu, tujuh orang anak buah Rangga Suriadiredja tewas. Dipihak Raksapraja delapan orang anak buahnya tewas dan 15 orang lainnya ditangkap.  Raksapradja bersama kelompoknya segera pindah ke Cilaki.

Gerakan Raksapraja bernar-benar dapat dilumpuhkan setelah keluar intruksi Residen Priangan. Akhirnya Bupati Bandung mengerahkan 200 prajurit dipimpin oleh lima orang andalannya, yaitu Nitipraja, Martadireja, Abdulahrahman, Raden Natadireja dan Raden Purakusuma yang dikonsentrasikan di Sukapura dan mendapat tambahan pasukan dari kabupaten  lainnya.

Pasukan gabungan itu kemudian bergerak ke Cilaki dan pertempuran pun pecah. Kelompok Raksapraja akhirnya dapat dilumpuhkan, sebagian pengikutnya lari cerai berai. Namun Raksapraja dapat meloloskan diri. Akhirnya beberapa waktu kemudian Raksapraja, yang mengaku Sultan Raja Kanoman akhirnya tertangkap di Gunung Cayur. Setelah tertangkap, riwayatnya tidak diketahui lagi karena tidak ada berkas perkaranya. (Pd)

Exit mobile version