Site icon Jernih.co

Ke Kolonodale, Melintas Kerajaan Jin di Uentiro

sarapan Lalampa, lemper ikan, di Toboli, kota kecamatan di pinggir Teluk Tomini

Di simpang pertigaan jalan menuju Kabupaten Parigi Moutong-Kabupaten Poso, mobil kami pinggirkan dan turun. Saya yang kuatir bepergian dengan perut kosong sementara AC mobil menyala, mengajak teman-teman sarapan.  Kebetulan menurut Fauzi, ada sebuah warung lalampa terkenal di sana. Warung Raja Lalampa, namanya. Lalampa adalah sejenis kue lemper khas Sulawesi Tengah. Bedanya, bila lemper di Jawa berisikan daging, abon atau daging ayam, di sini isinya ikan, terutama masakan ikan Tuna.

JERNIH– Setelah tiga hari berkeliling kota Palu, menikmati sekian banyak obrolan dengan para cendikiawan, aktivis dan budayawan Palu, yang kebanyakan kami gelar di warung-warung kopi sederhana, kami pun mulai harus turun ke lapangan yang sebenarnya: Morowali dan Morowali Utara. Kehidupan sehari-hari di Palu ini segera mengingatkan saya akan kota-kota di Aceh, yang—menurut saya—dihidupi warung-warung kopi. Ada banyak cerita dan data yang harus kami dapatkan dari sana.  

Rabu pagi, usai subuh, bersama Fauzi yang semalam lama mengantre pertalite demi  memenuhi tangki Kijang Innova sewaan, dan Asruddin Rongka, seorang aktivis buruh bersuku Mori kelahiran Morowali, kami bergerak menuju Kolonodale, ibu kota Kabupaten Morowali Utara (Morut).  Innova kami meninggalkan gerbang Sultan Raja Hotel yang dimiliki mendiang DL Sitorus  tepat pukul 5.57 WITA. Tentu saja, dengan waktu keberangkatan sepagi itu, sarapan hotel belum buka. Kami hanya mengisi perut dengan teh hangat yang dibuat sendiri di kamar.

Untuk menuju Kolonodale–Kodal kata Udin Rongka– dari Palu mula-mula kami bergerak ke utara, ke atas kalau dalam peta yang kami beli dari Gramedia dua hari sebelumnya. Gaya-gayaan saja beli peta, sekadar memenuhi kebiasaan lama setiap kali mengunjungi wilayah baru. Untuk memastikan arah sih pakai saja Google Maps. Itu pun tak berguna dengan adanya Udin—panggilan Asruddin. Hanya dengan adanya peta yang tercetak, laiknya yang dipakai Indiana Jones, paling tidak saya bisa mencoret-coret peta, membulati kota-kota kecil yang dilalui dengan spidol, dan menambahkan kata-kata singkat. Misalnya, di peta itu saya bulati kota kecamatan Toboli dan mencoretkan kata kecil “lalampa” (lemper ikan). Ada warung lalampa terkenal di kota itu. “Persis di pertigaan,”kata Udin.     

Kota kecil pertama yang kami temui adalah Mamboro. Karena hari masih sangat remang, saya tak bisa cermat menikmati daerah-daerah yang terlewati sepanjang perjalanan. Apalagi sebagai sopir, Fauzi punya cara mengemudi laiknya sopir angkot dikejar setoran: ngebut. Tentu saya tak complain apa pun. Saya tahu diri, saya mulai menua dan mungkin sudah masuk ke standard lain dalam cara menikmati berkendara. Fauzi masih berada di standard lain, sesuai usianya. 

Di pertigaan Tawaeli, mobil berbelok ke timur. Sisi kanan jalan kami umumnya hutan-hutan jarang atau tebing-tebing perbukitan yang cenderung gundul. Beberapa bukit tampak telah ditebas untuk memperlebar badan jalan.

Sejak keluar Palu, entah mengapa obrolan kami bertiga sempat menyentuh soal-soal mistik. Fauzi berkali-kali menceritakan beberapa kisah supranatural yang didengarnya dalam pembicaraan sehari-hari. Mungkin saja untuk menghilangkan kantuk, karena menurutnya semalam sama sekali tidak tidur.

“Kalau mau menjalani perjalanan jauh, justru saya suka stress dan susah tidur, kuatir sukar dibangunkan,”kata Fauzi. “Semalam, saya sama sekali tak lelap sekejap pun.” Lalu dengan sopan dia mempersilakan kalau saja di antara kami mau menggantinya menyetir manakala ia diterjang kantuk berat.

Saya sebenarnya cukup shock juga mendengar pengakuan tersebut. Di antara kami bertiga, praktis hanya Fauzi yang bisa menyetir Innova bermesin manual itu. Saya sejak belajar menyetir seolah sudah berazam hanya menyetir mobil matic, dengan tak mau belajar mengendarai mobil bermesin manual. Sementara Asruddin bahkan lebih kacau lagi. “Saya sama sekali nggak bisa nyetir, Bang,”kata dia.

Saat mobil memasuki kawasan Kebon Kopi, Asruddin ikut nimbrung, menceritakan kisah-kisah mistik lain yang didengarnya. Waktu mobil kami bertemu sekelompok kecil monyet-monyet hitam tanpa ekor, yang menurut pengamatan saya nyaris seperti Oa dalam sebutan orang Sunda, Udin bahkan mengisahkan cerita mistik terkait primata yang cukup ‘dekat’ dengan manusia itu. 

Namun segera setelah kami menemukan jalanan longsor pertama, di sebuah kawasan yang dipenuhi tebing-tebing padas yang tampak rapuh, baik Fauzi maupun Udin tak ada lagi yang bicara. Kabin mobil tiba-tiba sepi. Awalnya saya tak merasakan perbedaan itu. Saya hanya menyangka itu sebuah jeda. Mungkin mereka capek dan rehat sejenak, kata saya membatin. Namun ketika keheningan di kabin mobil itu mulai berjalan 15 menitan, saya ngeuh, keheningan itu bukan tidak disengaja.

“Mengapa tiba-tiba berhenti?” tanya saya. Apalagi sebagai pendengar, saya tahu betul kisah yang tengah diceritakan itu terpotong.

“Sebentar, Bang,”Udin yang menjawab. Namun setelah itu kembali diam. Baru setelah lepas dari lokasi itu kira-kira 10 km, Udin bicara.

“Saya nggak enak bicara di sana tadi,”kata dia. Waktu saya tanya, jawabannya menunjuk kawasan tebing padas di belakang. “Kami orang sini mengenal daerah tadi sebagai Uentiro. Banyak yang percaya, itu kawasan kerajaan jin.”      

“Iya betul!”kata Fauzi menyergah. “Saya juga diam karena ingat cerita orang-orang.” Menurut Fauzi, yang diaminkan Udin, orang-orang Sulteng terbiasa mendengar banyak cerita mengenai kawasan Uentiro tersebut. Cerita-cerita yang akhirnya membangun citra angker kawasan itu. Kata Udin, pernah suatu kali satu tim sebuah showroom mobil dari Palu datang dengan dengan dua mobil. Satu mobil mewah baru yang hendak diantarkan kepada pembeli, satunya mobil yang akan mereka kendarai untuk pulang nanti.

Kepada salah seorang warga yang tinggal di sedikit rumah yang ada di sekitar kawasan tersebut, keduanya bertanya di mana Uentiro. Meski warga sekitar tadi merasa aneh karena tak ada satu pun rumah tinggal di sana, ia menunjuk arah dan memberikan perkiraan jarak. Ia makin heran manakala tim showroom tadi bilang mau mengantar mobil.

Namun tatkala kedua orang showroom itu pulang hanya dengan satu mobil dan mengaku telah memberikan mobil baru yang mereka bawa kepada pemesan, warga itu hanya terdiam. Ia tak bertanya banyak, selain kukuh mengatakan di sana tak ada orang tinggal. Tak ada rumah, apalagi sampai satu kota kecil yang ramai sebagaimana dikatakan kedua orang showroom.

Saat ganti Udin yang bercerita, bumbunya bahkan lebih semarak. Konon, keluarga besarnya pernah mengantar salah satu anggota keluarga besar untuk menjalani tugas sebagai ko-as, di akhir pendidikannya sebagai mahasiswi Fakultas Kedokteran. Lokasinya di Puskesmas sebuah kecamatan di sekitar Uentiro. Dalam perjalanan, manakala melintas kawasan Uentiro, gadis ko-as itu dengan takjub bertanya ini-itu sambil menunjuk tebing yang dilewati. Dia bicara tentang gedung megah yang tak dilihat anggota keluarga lain yang ikut semobil, tentang mobil-mobil mewah yang jarang dilihatnya di Palu. Ia bahkan bicara soal lapangan terbang yang kondisinya bak bumi dengan dengan langit dibanding kondisi Bandara Mutiara SIS Al-Jufry.  

“Eh, kok masih ada Adam Air ya?” tanya dia. Itu kira-kira setahun setelah kejadian hilangnya pesawat Adam Air yang hingga kini tak ditemukan keberadaannya itu. Padahal, maskapai Adam Air tak bertahan lama setelah musibah besar itu. Bangkrut. 

                                                          ***

Sekitar pukul 8 pagi kami sampai di Toboli. Di simpang pertigaan jalan menuju Kabupaten Parigi Moutong-Kabupaten Poso, mobil kami pinggirkan dan turun. Saya yang kuatir bepergian dengan perut kosong sementara AC mobil menyala, mengajak teman-teman sarapan.  Kebetulan menurut Fauzi, ada sebuah warung lalampa terkenal di sana. Warung Raja Lalampa, namanya. Lalampa adalah sejenis kue lemper khas Sulawesi Tengah. Bedanya, bila lemper di Jawa berisikan daging, abon atau daging ayam, di sini isinya ikan, terutama masakan ikan Tuna. Bentuknya juga sedikit lain, lebih memanjang. Perbedaan lainnya, lalampa akan dibakar dulu sebelum dihidangkan.

Rasanya memang enak, setidaknya di lidah saya. Entah karena enaknya, atau memang kapasitas perut saya lumayan besar, saya habis sekitar lima buah sebelum menghabiskan lagi sepiring nasi kuning. Rasanya ganjil bila hanya sarapan penganan dari ketan, tanpa mengawaninya dengan nasi biasa. Sebagaimana lalampa, lauk yang dihidangkan untuk teman nasi kuning itu pun kembali olahan ikan. Kali ini sepotong ikan kembung. Benar-benar sepotong, alias seekor ikan dipotong dua, membaginya menjadi bagian kepala dan ekor. Bedanya, menurut saya ikan-ikan di sini enak sekali. Terasa masih menyisakan rasa ‘manis’ yang khas ikan segar.

Biaya sarapan plus kopi, air minum untuk di perjalanan dan sedikit camilan yang kami ambil, tak banyak. Masih di bawah Rp 150 ribu. Dengan perut terisi, saya lebih pede melanjutkan perjalanan bermobil, yang dalam perkiraan masih sekitar sembilan jam di depan sebelum sampai ke tujuan.    

Saat kami melintas wilayah Tindaki, Torue, Sausu, Kilo dan Tiwoa, mata saya tertumbuk sekian banyak bangunan rumah bergaya Bali. Pura, bahkan.

“Banyak orang Bali di sini, Bang,”kata Udin. Ia bercerita, beberapa tahun terakhir orang-orang Bali banyak mengisi pos-pos pekerjaan di sektor aparatur sipil negara (ASN). Di Kepolisian, terutama.  Belakangan, selama luntang-lantung ke sana ke mari di Morowali, cerita itu makin banyak saya dapatkan sebagai perbincangan di masyarakat. Sudah mulai terasa nuansa SARA-nya. Saya berharap pemerintah setempat bisa mencari cara agar kita semua tak menjadi keledai: terperosok sekian kali ke lubang yang sama, konflik SARA.

Memasuki wilayah Poso, kedua teman itu mulai bercerita banyak tentang rentetan kejadian puluhan tahun lalu tersebut. Saat sampai di lokasi-lokasi penting peristiwa tersebut, misalnya pesantren Wali Songo, salah satu tempat pembantaian, atau bangunan gereja yang dibakar, baik Udin maupun Fauzi cukup detil menceritakan versi yang mereka dengar. Tinggal saya sebagai orang luar mengonfirmasinya dengan cerita-cerita yang telah dituliskan. Mungkin bukan mengonfirmasi, hanya menyandingkan, mencari persamaan, menemukan hal-hal yang lain, yang mungkin berguna sebagai penambah. Bagaimana pun cerita-cerita versi warga yang beredar dari mulut ke mulut itu sangatlah penting. Verba volant, scripta manent: cerita mulut itu menguap seiring waktu, apa yang tercatat selalu lebih lestari.   

Sebenarnya, sekitar pukul 13 siang saat kami tiba di Saojo, kota kecil setelah Poso, Togolu dan Tampemadoro, perut saya sudah kembali lapar. Berapa sih kekuatan sarapan sepiring nasi kuning plus lima potong lalampa? Hanya Udin bilang, sepanjang jalan sampai ke Lembontonara, susah menemukan warung makan yang bisa kami masuki tanpa syak. Hingga Lembontonara, sepanjang jalan yang ada memang kebanyakan perkampungan-perkampungan non-Muslim. Ada satu dua warung makan yang tampaknya warung makan Muslim, dicirikan dengan nama-nama Warung Nasi Berkah, atau langsung merujuk nama pemiliknya yang tampaknya seorang Muslim. Hanya, kebanyakan warung-warung yang terlalu kecil untuk dimintai nota, satu hal yang pasti akan ditanyakan kantor.       

Baru di Lembontonara mobil kami minggir di sebuah warung makan. Dari Namanya, kami segera tahu itu warung makan Jawa, meski Namanya sedikit terdengar ganjil: RM Clara Monggo Mas. Sederet menu mereka tuliskan, baik di lembar menu yang dilaminating maupun yang terpampang di dinding warung. Ada pecel lele, sop ayam, ikan bakar, ikan masak woku dan sebagainya yang tak merujuk masakan Jawa. Namun saat minta ini-itu, tak ada juga yang mereka sanggupi.

“Yang ada hanya goreng ayam, bakso dan goreng ikan katombo (sebangsa ikan kembung). Udah,”kata pelayan. Alhasil, saya memesan goreng ikan katombo tersebut. Hanya sekitar 100 meter dari warung makan tersebut, pulang dari masjid senyampang menunggu ikan digoreng—rata-rata warung makan di Sulteng perlu waktu lebih lama untuk memasak pesanan—saya menemukan penjaja durian di pinggir jalan. Penjaja durian itu pun kami datangi. Harganya hanya Rp 20 ribu per tiga buah. Manis-manis, dengan daging yang cukup tebal. Hanya saat menghitung setelah makan, harganya berubah menjadi Rp 10 ribu per buah. Ya, sudahlah….

Kami tiba di Kolonodale sekitar pukul 19 malam. Kolonodale, ibukota kabupaten hasil pemekaran, Morowali Utara, jauh dari layak untuk menjadi ibukota kabupaten. Menurut saya, sehari setelah tiba dan keluyuran ke cukup banyak tempat, Beteleme yang berkontur datar, lebih ramai dan lebih ‘metropolis’, tampaknya lebih layak untuk jadi kota kabupaten.

Hanya, barangkali karena justru Kolonodale dan sekitarnya yang kini dimasuki berbagai perusahaan sawit dan perusahaan nikel, dengan pertumbuhan permukiman yang massif, memang lebih menjanjikan ke depan. Ditambah lagi di sana ada pelabuhan besar yang bisa dimasuki aneka kapal besar dari dan ke lain provinsi, mungkin itu yang menjadi alasan.    

Kalau soal fasilitas umum, jalan raya paling tidak, mungkin lima huruf ini sudah cukup menggambarkan kondisi itu: WALAH!  Tapi Kolonodale akan kita obrolkan di tulisan berikutnya. [darmawan sepriyossa]     

Exit mobile version