Ma Eha hafal benar siapa-siapa saja mahasiswa yang terpaksa harus berutang —terutama para aktivis HMI yang memang markasnya dekat warungnya itu.
Oleh : Darmawan Sepriyossa
JERNIH— Setahun lebih saya tak mengunjungi Warung Nasi Ma Eha yang ada di dalam Pasar Cihapit, Bandung. Terakhir saya datang dan makan di sana sekitar dua pekan setelah rampung menyelesaikan ‘pesantren kehidupan’ saya di Lapas Cipinang, dan mendapat gelar ‘LC’—Lulusan Cipinang, awal Februari 2019. Sebelumnya lagi, dua hari setelah saya datang dan makan di Warung Ma Eha pula—sekitar awal Mei 2018, saya harus menjalani kehidupan di Lapas.
Saya punya hubungan emosional yang cukup dalam dengan warung Ma Eha, yang susah untuk saya negasikan. Semua berawal dari masuknya saya ke lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bandung pada awal 1991, di semester kedua saya kuliah. Saat itu, meski iklim kehidupan pergerakan kemahasiswaan di kampus-kampus sudah banyak dikebiri aturan Normalisasi Kehidupan Kampus – Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK-BKK), serta di awal 1990-an dengan keharusan menerima sistem Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), pergerakan mahasiswa tidak bisa dikatakan mati. Bahkan mati suri pun, tidak. Tetap berjalan, bersiasat dan mencoba menyintas dengan cara dan trik-trik tersendiri.
Makanya, sampai pertengahan 1990-an itu pun masih saja banyak kelompok pergerakan mahasiswa yang hidup dan menghidup-hidupkan semangat untuk tidak menutup mata terhadap ketidakadilan yang saat itu menjadi realita. Orang-orang kini bisa mengenang bahwa di tahun-tahun itu pun masih ada pergerakan dan kelompok mahasiswa-pemuda yang memperjuangkan nasib rakyat banyak, buruh dan petani, serta perempuan. Buktinya pada 5 Agustus 1989 orang masih menyaksikan bahwa para mahasiswa ITB Bandung, antara lain Muhammad Jumhur Hidayat, Fadjroel Rachman, Syahganda Nainggolan, dan kawan-kawan, berani menentang kedatangan Mendagri Roedini yang saat itu masuk ITB, dengan alasan saat itu banyak terjadi kesewenangan.
Buktinya, manakala tanah rakyat diambil-paksa berbagai kekuatan kapitalis, masih ada Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), Kelompok Pergerakan Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia (KPM URI) dan banyak kelompok lain yang berani ikut memperjuangkan kepentingan petani kecil. Manakala berjilbab pun dipermasalahkan negara dan masyarakat dibius judi massal yang dilindungi negara bernama SDSB, tampil setidaknya Pemuda dan Mahasiswa Islam Bandung (PMIB), Liga Mahasiswa Muslim Yogya (LMMY), dan Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) untuk menentangnya.
Nah, di saat itulah, manakala gairah untuk belajar baik-baik di perguruan tinggi sama besarnya dengan hasrat untuk menjadi bagian dari aktivisme kemahasiswaan, saya pun lebih banyak berkiprah—dan akhirnya hidup dan tidur–di markas HMI Cabang Bandung, di Jalan Sabang 17, ketimbang tinggal di kamar kost. Apalagi, sejak semester pertama pun, saya memang tidak tinggal di kamar kost, karena tak mampu menyewanya! Saya tinggal di satu ceruk di Masjid UNPAD, dengan bantu-bantu membersihkan halaman masjid, WC dan—apalah yang bisa, sebagai tanda ‘tahu diri’.
Hubungan dengan Ma Eha dan warung nasinya, bisa ditelusuri dari fakta kemiskinan tersebut.
Tentu saja, boleh saja saya hanya memegang uang dan aman makan minum—mungkin– sepekan saja dalam sebulan. Tetapi tetap saja saya harus makan setiap hari. Paling tidak sekali sehari, kalau pun tidak sebagaimana ‘mahasiswa normal’ yang makan terjamin tiga kali sehari. Pada saat itulah Ma Eha banyak membantu.
Seingat saya, saya tak harus bicara lebih dulu untuk dapat kemudahan itu. Bon, mengutang, atau apa pun namanya. Pengalaman Ma Eha bersentuhan dengan mahasiswa miskin sudah berbilang dekade, sejak usaha warung itu mulai dibangun ibunya—Ma Enok, pada 1947. Pada awal 1960-an, Ma Eha sudah berjuang sendiri meneruskan warung itu. Di saat-saat itu, menurut penuturan Ma Eha di tahun-tahun 1990-an itu, ia telah kenal dekat dengan alm Bang Imad (Imaduddin Abdulrachim), Akbar Tanjung, alm Abdullah Puteh, alm Adi Sasono, Dibyo Widodo, Bagir Manan, atau Ferry Mursyidan Baldan.
Ia hafal benar siapa-siapa saja mahasiswa yang terpaksa harus berutang —terutama para aktivis HMI yang memang markasnya dekat warungnya itu. “Baheula mah, eta Si—Ma Eha menyebut seorang akuntan terkemuka Jawa Barat —sering ngutang tah. Alhamdulillah ayeuna geus jadi jelema. Dulu, dia banyak mengutang. Alhamdulillagh saat ini sudah jadi orang,” katanya pada saya di dini hari tahun 1992, saat saya datang untuk ikut makan sahur—berhutang.
Biasanya, saya akan melunasi utang-utang makan itu manakala satu-dua tulisan saya di harian Pikiran Rakyat, dimuat. Lumayan, satu artikel akan dihargai ‘PR’ Rp 75 ribu. Jumlah yang lumayan besar karena satu semester kuliah di UNPAD pun pada awal 1990-an itu hanya perlu biaya Rp 60 ribu.
Mulai 1992, seorang guru SMP saya—Pak Agus Suprapto, yang saat itu sudah pindah mengajar di Bandung, membantu saya dengan menghibahkan beras bagian yang didapatnya sebulan sekali. “Teu ngeunah didaharna, Wan. Tak enak dimakan, Wan,” katanya beralasan tentang beras bagian pegawai negeri sipil itu.
Alhasil, sebulan sekali saya akan meminjam sepeda teman saya Solahudin, anak matematika ITB 1989, mengayuhnya dari Dipati Ukur ke Margahayu Raya di bagian selatan Kota Bandung, bolak-balik. Beras sekitar 30-an kilogram itu tak pernah sampai ke Masjid UNPAD, salah satu tempat nongkrong saya. Saya menjualnya ke Ma Eha, yang saya tak tahu digunakan untuk apa. Tentu tidak untuk mencampurnya dengan beras pulen yang Ma Eha tanak dengan dandang dan-–saat itu—perapian kayu bakar, untuk dinikmati konsumennya. Saya menolak mengambil uang penjualan itu. Saya memilih menyimpannya di Ma Eha, dikurangi sedikit demi sedikit untuk mengurangi utang yang potensial saya buat dalam sebulan.
Baru pada awal 1994, manakala kian banyak yang meminta saya menulis, entah buat makalah, ceramah, ghost writer artikel dan buku, dan sebagainya, utang saya setiap bulan pun kian berkurang. Apalagi setelah itu saya pun kian banyak beraktivitas di Jalan Dipati Ukur, ketimbang di Jalan Sabang 17. Hasil saya menulis saat itu bahkan sudah bisa saya kumpulkan untuk membeli motor—dan setahun kemudian juga mobil! Sejak itu, kalau pun saya datang ke Pasar Cihapit dan makan di warung Ma Eha, seingat saya, sudah tak lagi harus “sarantos” alias mengutang.
**
Pagi tadi, di meja seberang saya makan duduk seseorang yang lebih senior dibanding saya. Karena beliau pun sendiri, saya mendekatinya sejauh jarak yang dimungkinkan protokol Covid saat ini, mengajaknya bicara. Benar, beliau lulusan UNPAD di tahun 1980-an, dan telah lama menjadi pelanggan warung Ma Eha. Saya sempat melihat Ma Eha pun tampak mengenal beliau dengan baik, dari cara mereka mengobrol sebentar, sebelum duduk dan menikmati makanan yang diambilnya.
“Saya selalu nineung pada warung ini,” kata dia, saat saya bertanya tentang kedatangannya. Beliau tinggal di Jakarta. “Bukan hanya pada gepuk—empal, dalam penamaan masakan Jawa–, tapi pada semua, sekeliling tempat ini. Makanya, setelah makan pun biasanya saya selalu berlama-lama di sini.”
Saya mengiyakan. Saya pun datang ke warung Ma Eha memang untuk gepuk. Pelanggan lain datang dengan alasan mereka sendiri-sendiri dalam pilihan makanan. Ada yang menyukai pepes ikan mas di sini, atau pepes telur asin yang juga terkenal, atau goreng bandeng, ayam kampung atau gurame Ma Eha yang masing-masing punya nama. Tetapi satu hal yang sama, pelanggan rata-rata juga datang untuk mengambil kembali kenangan yang pernah mereka simpan di satu ceruk kehidupan masing-masing, di warung itu.
Termasuk si Bapak yang saya ajak ngobrol. Menurut dia, masa lalu memang sesuatu yang jauh dan tak mungkin diraih ulang. “Tapi bukan berarti kita tak bisa menangkap hikmahnya,” kata dia. Saya tak berusaha bertanya lebih spesifik, apalagi saat matanya menerawang kosong, jauh menembus tembok bangunan yang mengelilingi Pasar Cihapit. Mungkin saja ada sesuatu, tapi tentu tidak pada tempatnya saya tanyakan.
Namun ada pernyataan yang membuat saya kaget, meski sebenarnya wajar. “Saya kadang merasa, datang ke sini itu untuk menebus dosa-dosa masa lalu,” katanya, membuat telinga saya teracung peka.
Saya tak harus bertanya, karena beliau langsung melanjutkan. “Dulu, tak jarang saya terpaksa harus ‘darmaji’ (dahar lima ngaku hiji—memakan lima, mengaku dan membayar satu potong) di sini. Saya merasa Ma Eha tahu, tapi beliau sepertinya membiarkan. Setelah saya bekerja dan mapan, saya seringkali datang untuk makan dan memaksa membayar lebih. Untuk menebus ‘darmaji’ di masa lalu,” katanya, tersenyum.
Entah sampai kapan para pelanggan itu akan bisa menjemput ulang masing-masing kenangan masa lalu mereka. Pasalnya, semua juga tergantung pada figur Ma Eha, yang saat ini telah berusia 90 tahun. Sebab manakala Ma Eha tak lagi duduk di kursinya di pojok meja panjang berisikan wadah-wadah hidangan, rasanya warung itu akan kehilangan aura kuat yang selama ini menarik banyak orang datang ke sana. [dsy]