Sungai adalah urat nadi kelestarian alam yang mustahil terpisahkan dari rotasi bumi. Sungai menjadi refleksi keutuhan lingkungan hutan. Dan sungai pun menjadi lahan hidup manusia yang beradab dan berbudaya.
Oleh : Usep Romli HM
Sebagai produk budaya setempat, seni “pantun” adalah karya sastra yang bersumber dari lingkungan sekitar. Tercipta dari perasan perasaan dan serapan nostalgia, untuk memotivasi para penikmat di zamannya agar terus memacu kemampuan diri dalam mempertahankan keadaan sedemikian rupa.
“Pantun” yang konon lahir pada masa kejayaan Kerajaan Pajajaran abad 12-14, merupakan dokumen estetis-historis tentang Tatar Sunda yang “jugala, wibawa, komara”. Tanah yang “sawawa”, dihiasi “cai curcor canebrang herang, leuweung ganggong simagonggong si sumenem jati walagri, walungan ngembat, sawah makplak”. Dengan penghuni yang “darehdeh hade hate, someah akuan ka semah, akur jeung dulur, jenuk jeung batur, daek tulung tinulungan”. Sebuah profil yang sangat ideal walaupun sangat fantastik.
Peran alam Tatar Sunda yang dilukiskan “carita pantun” – baik yang terkenal sejak dulu, seperti Lutung Kasarung, Mundinglaya di Kusumah — hingga yang dikenal belakangan, berkat ketekunan Ajip Rosidi lewat “Proyek Pengumpulan Pantun dan Folklore Sunda” (1967-1975), seperti “Ki Buyut Orenyeng”, “Gantangan Wangi”,“Kembang Panyarikan”, Nyi Sumur Bandung”,“Badak Pamalang”,dll., selalu berjalin-berkelindan dengan manusia-manusia di sekitarnya. Manusia yang akrab dengan alam, yang menjadikan alam sebagai pijakan batu loncatan untuk mencapai taraf hidup lebih baik. Sebut saja peran “leuwi” (lubuk) di sungai-sungai besar, hutan, mata air, “bongborosan” (tumbuhan liar berupa batang atau umbi yang dapat dimakan).
Bagaimana Lutung Kasarung alias Sang Hiyang Guru Minda menjadikan “leuwi Sipatahunan” sebagai media untuk merapatkan rasa penuh cinta kepada Purbasari, pujaan hati. Bagaimana pula, Mundinglaya di Kusumah harus memenuhi keinginan sang istri Dewi Asri yang menginginkan “boros honje” sebelum menembus langit ketujuh untuk memetik Lalayang Salaka Domas.
“Leuwi” atau lubuk, yaitu bagian sungai yang dalam, tempat ikan-ikan liar beranak pinak, dan tempat penduduk di sepanjang sungai mandi-cuci sehari-hari, merupakan ciri khas sungai yang hidup, bersih, terpelihara, baik di hulu, tengah, maupun hilir. Tidak ada kotoran apa pun yang tega “membunuh” sungai sehingga kehilangan fungsi dan peran sebagai sarana pengembangan peradaban manusia di muka bumi. Sungai adalah urat nadi kelestarian alam yang mustahil terpisahkan dari rotasi bumi. Sungai menjadi refleksi keutuhan lingkungan hutan. Dan sungai pun menjadi lahan hidup manusia yang beradab dan berbudaya. Semua sungai, baik besar maupun kecil. Bukan hanya sungai-sunga bertaraf internasional dan tercantum dalam peta bumi, seperti Amazon, Nil, Euphrat, Tigris, Yantze Kiang, Irawadi, Indus, Gangga, dsb. Melainkan juga sungai-sungai kecil di pedalaman. Di tingkat RT/RW atau lebih rendah lagi.
Di “leuwi”, para penduduk sekitar melakukan upacara khusus “kuramas” sehari menjelang bulan Ramadhan. Membersihkan diri dari segala kotoran fisik, mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Mereka ingin menghadap Al Khaliq melalui ibadah shaum Ramadhan dalam kondisi suci dan hening. Sesuci air sungai yang memenuhi syarat “thaharah”. Sehening lingkungan “leuwi” yang biasa dikitari rimbun tumbuhan rumpun dan semak penahan erosi. Di situ mereka “icikibung” (berkecimpung) sehingga bunyi air menimbulkan dendang harmoni dengan desau angin dan cicit burung.
Mereka “silanglang” (telentang di permukaan air), “papalidan” (berhanyut-hanyut mengikuti arus air), “kokojayan” (berenang ke sana ke mari). Seolah-olah ingin meresapkan keakraban jiwa dengan air dan alam sekitar selama proses penyucian pisik berlangsung.
Sehingga idiom “ka leuwi ka geusan mandi, ka darat ka geusan hanjat” mengandung lukisan indah tentang peran dan fungsi lubuk, sungai dan bagian-bagian di sekelilingnya benar-benar terpelihara utuh, jauh dari kerusakan-kerusakan yang mengakibatkan sungai beserta segala kegunaan dan habitanya mati membangkai.
Begitu pula dengan hutan. Hutan lebat – ganggong simagonggong si sumenem jati walagri – adalah sumber mata air dan sumber keragaman hayati untuk kepentingan hidup manusia. Untuk kemajuan sosial, ekonomi dan budaya manusia. Dari hutan diperoleh aneka macam tumbuhan, baik bahan makanan, minuman, maupun obat-obatan. Dari hutan diperoleh sumber enerji, keseimbangan gizi, protein nabati dan hewani melalui pemanfaatan flora-fauna yang disiplin, teratur dan terjaga. Hutan adalah museum, laboratorium, sekaligus penyedia cadangan pangan jangka panjang bagi mahluk hidup, baik manusia, hewan maupun tumbuhan. Hutan yang terpelihara merupakan “surga” bagi seluruh mahluk hidup, baik yang ada di kawasan hutan itu, maupun yang ada di luarnya.
Hutan tak terpisahkan dari dokumentasi literer karya para pujangga masa lampau, masa kini dan masa-masa mendatang. Kisah-kisah wayang selalu menjadikan hutan sebagai latar belakang pertarungan antara keadilan (diwakili para sinatria pengembara) melawan kedzaliman (diwakili para raksasa pembegal).
Termasuk hutan “Sherwood” di Inggris, yang menjadi latar belakang kisah klasik termashur Robin Hood yang juga membela kebenaran dan keadilan melawan kezaliman dan kejahatan yang dilakukan Sherif Notingham bersama Pangeran John, adik raja yang berhianat mengincar tahta kakaknya, Richard The Lion Heart yang sedang berjuang membela agama di medan Perang Salib Jerusalem.
Dari hutan mengalir sungai-sungai, sarana pengembang peradaban manusia itu. Dari sungai tumbuh aneka kegiatan bernilai budaya yang terus mekar sesuai tuntutan kebutuhan manusia dari zaman ke zaman. Maka tatkala hutan rusak, sungai ikut rusak. Peradaban manusia pun terkena akibatnya. Luluh lantak bersama hutan yang tinggal dataran gersang dan sungai yang membangkai.
Manusia kehilangan contoh dari kerendahhatian hutan dan ketertiban sungai. Hutan begitu rendah hati, menghimpun aneka tanaman, tumbuhan, pohon-pohonan, dalam berbagai bentuk, ukuran dan jenis. Hutan menjadi media kebhinekaan untuk meraih kesatuan dan persatuan yang sempurna paripurna. Heterogenitas hutan merupakan replika heterogenitas manusia yang berasal dari satu sumber perpaduan laki-laki dan perempuan lalu dijadikan bebagai etnis dan bangsa yang satu sama lain berbeda rupa, bentuk tubuh, warna kulit
Semuanya untuk saling kenal-mengenal. Tidak ada yang berlebih dari satu sama lain. Kecuali ukuran ketakwaan (inna akramakum indallahi atqakum), sebagaimana diutarakan di dalam Q.s.al Hujuraat : 13.
Sedangkan sungai begitu patuh dan taat mengikuti aliran yang dituju. Membelok ke sana, menyimpang ke sini, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Ia berangkat dari satu titik mataair keikhlasan. Menuju muara ridla Allah SWT. Dan di sepanjang perjalanan senantiasa menebar kebaikan dan kebajikan untuk dikemas lagi menjadi kebaikan dan kebajikan baru oleh umat manusia yang memanfaatkannya.
Di tegah pandemi Corona Covid 19, seyogyanyalah masyarakat Tatar Sunda menyempatkan “nyaliksik diri”. Meneliti keadaan diri sendiri, keluarga, masyarakat dan lingkungan alam tempat mereka hidup menjalani kehidupan. Masih adakah unsur-unsur alamiah yang menjadikan Tatar Sunda “gemah ripah loh jinawi subur mamur raweuy beuweungeun rambay alaeun bru di juru bro di panto ngalayah di tengah imah tengtrem tingrim santosa raharja”? Atau justru telah dihadapkan kepada situasi dan kondisi yang penuh keresahan dan kegelisahan akibat kerusakan alam yang tak terkendali? Hutan-hutan tinggal kerangka. Sungai-sungai tinggal parit sempit penuh limbah dan racun mematikan. Sehingga tidak ada lagi “cinyusu” yang menyejukkan. Tak ada lagi “leuwi” yang menenteramkan. [ ]