Ketika Dinasti Qing naik tahta (1644-1912), penindasan terhadap Islam-Tionghoa makin menjadi. Sekretaris Agung Chen Shiguan bahkan sampai mengusulkan pada Kaisar Yong Zheng agar memerintahkan umat Islam untuk murtad dan membakar mesjid-mesjid.
Jernih.co — Kebudayaan Tionghoa dikenal luas lekat dengan ajaran Konfusianisme, Taoisme, dan agama Kong Hu Cu. Di tempat asalnya, agama ini telah dianut sejak ribuan tahun silam dan dalam perkembangannya, Kong Hu Cu telah saling pengaruhi dengan agama Buddha, Islam, dan agama serta kepercayaan lainnya.
Novi Basuki, seorang mahasiswa doktoral di Universitas Sun Yat Sen, Tiongkok, menuliskan pengalaman serta kajiannya terhadap akulturasi Islam dan Kong Hu Cu di Tiongkok di laman Historia.id.
Islam pertama kali masuk ke Tiongkok pada era Dinasti Tang (618-907 M). Di masa itu, penduduk setempat mayoritas memeluk agama Buddha dan pengamal kepercayaan Tionghoa klasik, Taoisme dan Konfusianisme.
Ratusan tahun lamanya, Islam menyebar di Tiongkok melalui jalan damai dan nyaris tanpa halangan berarti. Novi menulis bahwa Islam menyebar dengan cara natural, yakni melalaui perdagangan dan perkawinan antara saudagar muslim asal Arab dan Persia dengan penduduk setempat.
Dengan pola seperti, nyaris tidak ditemukan dai yang dengan sengaja, sistematis, terstruktur, dan masif berdakwah menyebarkan Islam, apalagi dengan jalan pedang.
Kedamaian Islam di Negeri Tirai Bambu mulai terusik tatkala Dinasti Ming mulai memerintah Kekaisaran Tiongkok pada tahun 1368 M usai menggulingkan Dinasti Yuan yang telah memerintah sejak 1271 M.
Mirip dengan isu yang kerap dihembuskan tiap menjelang pemilu di Indonesia, Dinasti Ming juga menggunakan isu “pribumi” untuk menggulingkan Dinasti Yuan dengan slogan “qu zhu hu lu, huifu Zhonghua (usir kaum barbar utara, kembalikan kejayaan Tionghoa)”.
Slogan ini ternyata menjadi pijakan kaisar pertama dinasti itu, Zhu Yuan Zhang, membuat kebijakan asimilasi paksa terhadap mereka yang dicap nonpribumi setelah ia naik tahta. Ia melarang segala penggunaan busana, bahasa, dan nama yang dianggap “asing”.
Orang-orang Mongol dan etnik lain yang bermata berwarna (semu ren), termasuk warga muslim saat itu (huihui), masuk dalam ketegori orang asing. Demi mempertahankan diri, nama-nama dan istilah berhasa Arab dan Persia yang telah melekat dengan huihui selama ratusan tahun terpaksa diubah menjadi bernuansa Tionghoa. Nama Muhammad, misalnya, berubah menjadi marga Ma.
Akibat aturan ini, mereka juga perlahan kehilangan kemampuan untuk memahami bahasa Arab dan Persia sebagai bahasa nenek moyang mereka. Hidup dibawah tekanan seperti itu membuat seorang ulama muslim Tionghoa bernama Hu Deng Zhou (1522-1597) mendirikan “madrasah diniyah” yang kemudian dikenal luas dengan nama Jingtang Jiaoyu di daerah Weinan, Provinsi Shaanxi.
Perlahan, lembaga pendidikan Islam ini menjamur. Dari yang awalnya hanya di ada di rumah Deng Zhou sendiri, Jingtang Jiaoyu kemudian diadakan di mushola dan mesjid-mesjid. Pengajaran Islam yang asalnya dilakukan terbatas di kalangan keluarga, melaui majelis ini, dilakukan secara terbuka di tengah-tengah masyarakat.
Apa yang menyebabkan mereka bertahan dibawah tekanan antipribumi semacam itu? Mereka ternyata melakukan translasi kitab-kitab Islam ke dalam bahasa setempat. Pelafalannya pun disesuaikan dengan bahasa Mandarin yang telah umum menjadi lingua franca di sana.
Jika dalam tradisi pesantren di Nusantara dikenal aksara Arab Pegon yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa menggunakan aksara Arab yang dimodifikasi, maka di Tiongkok terdapat bahasa Arab/Persia yang ditulis dan dilafalkan dengan lafal dan akara setempat yang disebut Jingtang Yu.
Umpamanya, lafal “assalamu’alaikum” ditulis dengan menggunakan akasara Mandarin menjadi “an sai lia mu a lai ku mul”. Contoh lainnya adalah istilah salat Ashar yang dalam bahasa Persia berbunyi “namāz dīgar”, dalam Jingtang Yu menjadi “na ma zi di gai er”.
Ketika Dinasti Qing naik tahta (1644-1912), represi terhadap Islam-Tionghoa makin menjadi-jadi. Sekretaris Agung Chen Shiguan bahkan sampai mengusulkan pada Kaisar Yong Zheng agar memerintahkan umat Islam untuk murtad dan membakar mesjid-mesjid.
“Agama Islam…tidak memuja dewa-dewa [kita], malah mengkultuskan yang lain. Komplotannya banyak. Mereka saling bersekongkol melakukan kejahatan dan membahayakan masyarakat,” kata Cheng Shiguan, dikutip Novi dari Kumpulan Usulan Pilihan Dinasti Qing Jidil 9 (Qing Qi Xian Lei Zheng Xuan Bian).
Namun, tekanan ini justru ditanggapi dengan cerdik oleh ulama-ulama Islam di era dinasti terkahir Kekaisaran Tiongkok itu. Mereka lalu mengarang kitab-kitab berbahasa Mandarin Kuno untuk menginformasikan kepada khalayak bahwa ajaran Islam sebenarnya memiliki banyak kesamaan dengan falsafah Kong Hu Cu. Kitab-kitab semacam itu lazim disebut “Han Ketabu”, bahasa Jingtang Yu yang bermakna “kitab yang ditulis oleh muslim Bangsa Han (Cina)”.
Pada masa Cina Moderen kini, “ikhtiar kreatif” ulama-ulama muslim Tionghoa itu masih dapat dengan mudah ditemukan jejaknya di berbagai komunitas muslim di Negeri Tirai Bambu itu.
Penulis yang dikenal dengan nama Cina Wang Xiao Ming ini juga menuturkan pengalamannya ketika pertama kali ikut solat berjamaah di salah satu mesjid di Xianmen, Provinsi Fujian. Imam mesjid itu melantunkan bacaan-bacaan solat dengan pelafalan khas yang cenderung asing bagi telinga penulis yang jebolan Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur itu.
Upaya akulturasi Islam, kebudayaan dan falsafah Tionghoa yang dilakukan ulama-ulama Islam-Tionghoa terdahulu ini menyebabkan juga arsitektur mesjid-mesjid di Tiongkok menyerupai Klenteng yang merupakan tempat ibadah umat Kong Hu Cu.