Site icon Jernih.co

Kelenteng Talang, Sisa Misi Emigrasi Cina ke Nusantara

CIREBON– Semakin siang, udara Cirebon, Jawa Barat,  semakin gerah.  Suasana Jalan Talang  disamping gedung British American Tobacco (BAT) sedikit lengang.  Tepat di seberang samping bangunan BAT berdiri bangunan kelenteng yang usianya sudah mencapai lima abad.

Seorang pria muda menyambut ramah di pintu gerbang Kelenteng. Dia memperkenalkan diri. Yohanes namanya, dipanggilnya Yoyo. Ia salah seorang yang bertugas merawat salah satu kelenteng tertua di Cirebon itu.  Dengan ramah Mas Yoyo mengajak masuk untuk mengenalkan kelenteng kuno tersebut.

Keadaan dalam kelenteng sekilas mengingatkan kepada cerita-cerita yang ditulis Kho Ping Ho yang sering menarasikan suasana  kelenteng dalam novel-novelnya. Namun untuk mengetahui latar belakang Kelenteng Talang ini tentu  tidak dari naskah-naskah Kho Ping Ho, namun dari naskah-naskah kuna Cirebon, seperti Naskah Nagarakertabhumi yang ditulis Pangeran Wangsakerta tahun 1692 Masehi.

Naskah Negarakertabhumi menceritakan kedatangan orang-orang Tiongkok ke Cirebon  pada 14 paro peteng Palguna Masa 1337 Saka  atau tahun 1415 Masehi.  Kedatangan  armada itu dipimpin Laksamana Cheng Ho, Ma Hwan selaku Sekretaris merangkap pencatat, Kung Way Ping selaku panglima Angkatan Bersenjata, Wang Kheng Wong sebagai kapten kapal, dan Pey Shin sebagai pencatat.  Mereka menjalankan misi muhibah keliling dunia atas perintah Kaisar Yung Lo, raja dinasti Ming III untuk menjalin persahabatan.

Dari tujuh kali pelayarannya misi ini berhasil memindahkan 25.000 orang Cina dari Provinsi Yunan dan Swatow di Cina Selatan  ke Palembang, Kalimantan dan Pulau Jawa. Di tanah Sunda, imigran Cina itu ditempatkan di Banten dan Cirebon. 

Di Cirebon, Kung Way Ping mendirikan sebuah  bangunan untuk keperluan perdagangan. Namun bangunan ini kemudian menjadi tempat ibadah Kung Way Ping dan anak buahnya yang menganut Islam bermazhab Hanafi.

Hal tersebut dibenarkan Teddy Setiawan, ketua Majelis Agama Konghucu Indonesia Kota Cirebon, bahwa bangunan di Talang ini adalah kantor perwakilan perdagangan Cina pada masa Cheng Ho yang kemudian digunakan beribadah anak buah Cheng Ho yang beragama Islam.

Seiring perubahan zaman akhrinya bangunan tersebut berubah menjadi Kelenteng Toa lang dan orang Cirebon menyebutnya kelenteng Talang yang kokoh berdiri sejak ratusan tahun lalu. Kelenteng Talang sudah mengalami rehabilitasi, namun arsitektur dan beberapa bidang bangunan masih dipertahankan keasliannya.

Kata Talang berasal dari kata Toa Lang yang artinya pembesar, bangsawan atau pejabat. Sedangkan kelenteng  adalah rumah ibadat bagi penganut agama atau kepercayaan Konfusianisme, Taoisme, dan Buddha. dalam perkembangan selanjutnya, ketiga agama atau kepercayaan ini dikenal dengan sebutan Tridharma.

Dari ciri bangunnanya memang berbeda. Bagian atasnya  berbentuk pelana dan tak ada ornamen naga di atas atapnya seperti umumnya kelenteng lainnya.   Di dalam ruangan depan terdapat bagan silsilah dan sejarah berdirinya Kelenteng Talang.

Menurut Prof. Dr. Slamet Muljana pada bukunya yang berjudul “Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara”  menyebutkan bahwa pada tahun 1450-1475; sama saja seperti di Pantai Utara Jawa Timur dan Jawa Tengah, di daerah Cirebon pun masyarakat Tionghoa Islam Mazhab Hanafi sudah sangat merosot, karena putus hubungan dengan tanah Tiongkok.

Masjid di Sarindil sudah menjadi tempat pertapaan, karena masyarakat Tionghoa Islam mazhab Hanafi sudah tiadak ada lagi. Masjid di Talang sudah menjadi Kelenteng. Sebaliknya, masyarakat Tionghoa Islam di Sembung  berkembang baik. Keterangan tersebut terdapat dalam catatan-catatan yang diperoleh oleh Resident Poortman saat menggeledah Kelenteng Talang.

Poortman juga  menyita catatan lainnya dari Kelenteng Sam Po Khong di Semarang tahun 1928.  Berdasarkan catatan-catatan tersebut maka lahirlah buku ‘Tuanku Rao’ yang ditulis  Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan yang digunakan Prof. Dr. Slamet Muljana untuk menulis buku di atas. Buku tersebut sempat mengundang polemik. HAMKA pernah mendebat buku tersebuy dalam buku beliau, ‘Antara fakta dam Khayal Tuanku Rao’. Pada tahun 1960-an, buku Mangaraja Parlindungan tersebut dilarang beredar karena sekian banyak sisi yang mengundang keresahan.

Buku Tuanku Rao kemudian mendapat bantahan dari naskah-naskah asli Cirebon seperti Negarakertabhumi yang di tulis Pangeran Wangsakerta maupun naskah Purwaka Caruban Nagari yang ditulis oleh Pangeran Arya Carbon. Sehingga buku Tuanku Rao maupun buku Runtuhnya Kerajaan Hindu – Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara  dianggap tidak bisa dijadikan rujukan sejarah terutama yang menyangkut  riwayat para wali sanga. 

Yang menarik, baik naskah yang disebut-sebut diambil dari kelenteng tersebut, maupun Resident Poortman sendiri, menurut sejarahwan Agus Sunyoto, sebenarnya tidak pernah ada.  [PRD]

Exit mobile version