Konsistensi kebijakan yang baik amatlah penting. Agar mereka tak lagi harus mengemis meminta sekolahnya tidak tutup. Mengemis sesuatu yang sejatinya adalah hak yang harus diberikan negara dengan cuma-cuma.
JERNIH–Pada 21 Maret lalu Amerika Serikat terperangah saat seorang sosiolog pemenang Hadiah Pulitzer 2017 untuk nonfiksi umum, Matthew Desmond, meluncurkan bukunya, “Poverty, by America”. Ibarat wacana kemiskinan struktural yang dengan konsisten dihidupkembangkan oleh almarhum Adi Sasono, demikian pula Desmond berkesimpulan. Kemiskinan tetap ada di AS karena banyak orang Amerika dan perusahaan besar mendapatkan keuntungan besar dari kemiskinan. Sebuah tesis yang mengembalikan ingatan kita ke tahun-tahun 1970-an, manakala sosiolog Amerika kelahiran Jerman, Herbert J. Gans, dalam papernya yang menyentak publik pada 1971, “The Uses of Poverty: The Poor Pay All” bicara bahwa banyak sisi kehidupan modern justru membutuhkan orang-orang miskin. Untuk apa? Untuk dieksploitasi!
Dengan buku baru sosiolog Nikhil Goyal yang terbit bulan ini, “Live to See the Day: Coming of Age in American Poverty,” kita semua didasarkan bahwa kemiskinan kini telah menjadi realitas yang harus diterima kehidupan Amerika. Artinya, “the American Dream”, sejatinya telah terbang, hilang.
Seperti laiknya Oscar Lewis menceritakan lima keluarga dan mendapatkan teorinya “Culture of Poverty” melalui “Five Families; Mexican Case Studies in the Culture of Poverty”, pada 1959, Goyal juga menuliskan kisah. Pada 2011, Ryan Rivera, seorang remaja Puerto Rico dari Kensington, salah satu daerah paling bermasalah di salah satu kota besar termiskin di Amerika, mendengar dan memberikan di Balai Kota Philadelphia. Lima jam dibiarkan sebagai pendengar, Ryan akhirnya diberi waktu bicara.
Dengan lantang Ryan meminta Dewan Kota untuk tidak menutup sekolahnya, El Centro de Estudiantes. Bertahun-tahun sebelumnya, Ryan pernah melanggar hukum saat masih duduk di bangku sekolah menengah. Sekolah yang kemudian tak pernah ia tamatkan. Kini dia bersekolah di El Centro de Estudiantes, salah satu dari selusin sekolah menengah alternatif yang disediakan Dewan Kota untuk siswa putus sekolah atau mereka yang memiliki catatan kriminal. Tujuan idealnya, membantu mereka lulus SMA dan punya sertifikat kelulusan yang diperlukan. Ryan, yang kemudian bersekolah di sana, mengambil jurusan seni dan magang di bengkel sepeda motor. “Jangan tutup rumahku,”katanya, menunjukkan ikatannya kepada sekolah itu.
Dewan Kota akhirnya menyimpulkan untuk tidak menutup El Centro dari pemotongan anggaran. Namun, dalam “Live to See the Day,” sosiolog Nikhil Goyal menulis bahwa Ryan—anak mud aitu–mempertanyakan mengapa El Centro yang terancam ditutup manakala Kota menghadapi defisit anggaran sebesar $629 juta? “Mengapa mereka yang harus memohon kepada para penguasa agar sekolah itu dihormati dan sisswa-siswanya dibantu?” Goyal bertanya. “Mengapa hal itu tidak menjadi hak dasar bagi semua orang?”
Pertanyaan-pertanyaan ini adalah bagian dari kajian Goyal yang lebih luas terhadap kebijakan, institusi dan sistem Amerika—pendidikan, peradilan pidana, bantuan publik. Bantuan yang dimaksudkan untuk membantu mengangkat anak-anak dan keluarga miskin AS keluar dari kemiskinan, serta menjaga ketertiban masyarakat yang sering kali gagal. Orang miskin Amerika hanya mencoba bertahan hidup, kata Goyal, bukannya hidup. Ia melihat jaring pengaman sudah compang-camping, dan kemiskinan adalah sebuah perjalanan sulit yang tidak lagi punya ruang untuk kesalahan.
“Live to See the Day” membawa pembaca dalam perjalanan bersama Ryan serta Emmanuel Coreano dan Giancarlos Rodriguez — dua remaja Puerto Rico lainnya, yang harus melewati kekacauan dan kekerasan di Kensington, sebelum terdampar di El Centro. Goyal menelusuri permasalahan yang mereka hadapi tidak hanya pada geografi, namun juga pada ibu-ibu yang tumbuh dalam kemiskinan, dan mewariskannya kepada keturunan mereka seperti utas DNA. Seorang ibu diperkosa untuk pertama kalinya pada usia delapan tahun dan berulang kali sepanjang masa kanak-kanaknya, oleh laki-laki yang berbeda. Saat dia berani menelepon polisi, justru tidak ada yang menindaklanjuti.
Goyal pada dasarnya sosiolog yang lekat dengan para remaja. Buku pertamanya, “One Size Does Not Fit All: A Student’s Assessment of School,” diterbitkan pada tahun 2012, ketika dia berusia 17 tahun! Sejak itu, dia menjabat sebagai penasihat senior Senator Bernie Sanders, dan memegang komando pembuatan undang-undang pendidikan federal, negara bagian dan lokal serta beragam program sosial. “Live to See the Day” sebenarnya terdiri dari empat cerita berbeda: pengembaraan tiga remaja dan ibu mereka, serta serangan akademis atas kebijakan yang mengatur kehidupan mereka.
Banyaknya rangkaian cerita “Live to See the Day” tidak selalu mudah untuk dilacak, dan buku ini mungkin mendapat manfaat jika berfokus pada satu remaja. Meskipun masing-masing kisah mereka sangat menarik, dalam hidupnya, Ryan, Emmanuel, dan Giancarlos memiliki begitu banyak orang–saudara, teman, guru, hakim, pekerja sosial, suami dan pacar ibu –yang datang dan pergi, yang gampang membuat pembaca tersesat.
Ryan adalah pembuat onar dan pemuda iseng yang berakhir di sistem peradilan anak. Dia mencoba-coba menjual ganja dan crack untuk bertahan hidup. Giancarlos, seorang siswa cerdas yang menyukai balet, juga beralih jadi pengedar narkoba. Emmanuel, yang kemudian bernama Corem, sibuk menjual CD mixtape, bergulat dengan masalah tunawisma dan—masalah yang kini mewabah–identitas gender.
Goyal berada dalam kondisi terbaiknya saat berfokus pada Ryan, yang memiliki alur cerita yang paling terbentuk sepenuhnya. Buku ini dimulai dengan lelucon Ryan di sekolah menengah, membantu menyalakan api di tempat sampah yang juga coba dia padamkan. Hal ini menempatkannya pada jalur untuk tidak pernah lulus atau berakhir di penjara, atau mati. Ada orang dewasa yang mampu membantu namun menyerah begitu saja. Goyal menceritakan bagaimana Ryan kembali ke sekolah menengah dan mendengar seorang guru menyindir, “Oh, lihat, pyromaniac kita sudah kembali.”
Goyal adalah seorang penulis yang cerdas–kisah-kisah yang ia ceritakan tentang keadaan anak-anak ini sangat menyakitkan dan membuat frustrasi. Namun narasinya sering kali terhenti oleh tulisan-tulisan panjang mengenai kebijakan-kebijakan yang gagal. Sebuah bab yang merinci sejarah migrasi Puerto Rico ke Philadelphia dimulai dengan lancar, meski akhirnya berkelok-kelok menjadi kronik panjang regulasi narkotika di Amerika. Perlu dikritik cara Goyal menceritakan “perang melawan narkoba” yang dilancarkan Presiden Richard Nixon hingga akhir pemerintahan Reagan, meski harus diakui terkait dengan urusan kehidupan para tunawisma saat ini. Pengisahan cerita muncul kembali hanya untuk disela oleh bagian yang tidak jelas dalam program “Temporary Assistance for Needy Families”– Bantuan Sementara untuk Keluarga yang Membutuhkan. Goyal punya Gudang data sejarah, namun ia mempergunakannya dengan tidak efektif-efisien!
Kehidupan sebagai kaum miskin memang sulit. Tak kecuali di Amerika. Kemunduran dalam hidup yang sudah susah itu hanya akan membuat perut berlubang. Seringkali antara tangis dan sorak begitu dekat dan tiba-tiba. Seperti ketika Rayni, ibu Ryan, berhasil masuk ke Temple University dengan impian menjadi seorang psikolog. Meski akhirnya harus keluar ketika sistem pendukungnya runtuh.
Cerita Goyal membuat kita sulit menerka masa depan seperti apa yang akan dijalani para anak-anak miskin saat ini. Bagaimana kejadian esok hari, manakala hari ini kulkas kosong melompong dan rumah dipenuhi tikus got yang tak jarang menggigiti kaki di tengah malam.
Goyal sendiri hanya mampu mengajukan usulan utamanya dengan: “Bagaimana jika Emmanuel, Ryan dan Giancarlos serta keluarga mereka menerima tunjangan anak bulanan, mulai dari lahir? Dengan itu mereka mungkin bisa secara konsisten tinggal di perumahan yang aman, dan membeli bahan makanan serta aneka kebutuhan lainnya.”
Namun jelas, konsistensi kebijakan yang baik amatlah penting. Agar mereka tak lagi harus mengemis agar sekolahnya tidak tutup. Mengemis sesuatu yang sejatinya adalah hak yang harus diberikan negara dengan cuma-cuma. [dsy—The New York Times]
LIVE TO SEE THE DAY: Coming of Age in American Poverty | By Nikhil Goyal | 334 pp. | Metropolitan Books | $29.99