Dalam keadaan sakit keras, Sultan Agung mewasiatkan takhta kekuasaanya kepada putranya, yaitu Mas Sayidin putra dari Ratu Wetan yang berhasil menggeser Ratu Kulon sebagai permaisuri. Sebelumnya yang digadang-gadang sebagai putra mahkota adalah Mas Syahwawrat putra Ratu Kulon.
Tahun 1645. Agung Senapati ing Ngalaga Abdurrahman wafat. Raden Sayidin naik takhta dan populer disebut Amangkurat I. Dia memiliki dua permaisuri yang bernama Ratu Kulon (putri Pangeran Pekik) dan Ratu Wetan ( putri Keluarga Kajoran). Dari ratu Wetan, Amangkurat I memiliki putra bernama Raden Mas Rahmat.
Saat Amangkurat I berkuasa, hubungan Mataram dengan Banten dan Mataram kian memburuk. Tokoh-tokoh senior yang tidak sejalan dengan Amangkurat I satu persatu dibunuh. Hal itu memicu pemberontakan yang dilakukan oleh adiknya, yaitu Mas Alit yang didukukung oleh para ulama. Pemberontakan itu gagal. Mas Alit dihukum mati dan 5000 ulama yang mendukung Mas Alit dibantai habis.
Di lingkungan kerabat keraton, Amangkurat I berselisih dengan anaknya sendiri, Raden Mas Rahmat yang mencoba mengkudeta ayahnya karena mendengar bahwa jabatan Dipati Anom akan dipindahkan ke Pangeran Singasari, putra Amangkurat I lainnya.
Kudeta itu gagal, begitu pula sebaliknya Amangkurat I juga gagal meracuni Raden Mas Rahmat. Hubungan buruk bapak dan anak ini memuncak tahun 1668 ketika Raden Mas Rahmat menyuruh Pangeran Pekik merebut calon istri bapaknya yang bernama Rara Oyi. Mengetahui hal tersebut membuat Amangkurat I menjadi murka.
Dia menghukum mati Pangeran Pekik. Sedangkan Raden Mas Rahmat diampuni setelah bersedia membunuh Rara Oyi. Selain itu Raden Mas Rahmat juga dipecat dari jabatan Dipati Anom. Raden Mas Rahmat yang merasa sakit hati, dipertemukan dengan Pangeran Trunojoyo melalui Raden Kajoran (mertua Trunojoyo).
Pangeran Trunojoyo adalah putra Raden Demang Melayakusuma. Maka atas dukungan finansial dari Raden Mas Rahmat, Trunojoyo segera membentuk pasukan dari Madura dan segera merebut kekuasaan Madura dari Cakraningrat II, pamannya sendiri yang diangkat oleh Amangkurat I sebagai penguasa Madura.
Trunojoyo berhasil membebaskan Madura dari kekuasan Mataram tahun 1674. Pasukannya kemudian bekerjasama dengan Karaeng Galesong (salah satu putra Sultan Hasanudin) untuk memerangi Amangkurat I dan VOC.
Kekuatan pasukan Trunojoyo merupakan gabuangan dari rakyat Madura, Makasar, dan Panembahan Giri di Surabaya yang tidak menyukai Amangkurat I karena kekejamannya membunuh para ulama.
Pertempuran demi pertempuran pun terjadi. Akhirnya Trunojoyo dapat menguasai istana Mataram di Plered. Setelah keraton dapat dikuasai penuh, Trunojoyo tidak menyerahkan keraton itu kepada Raden Mas Rahmat sehingga terjadi perselisihan.
Akhirnya tahun 1676. Raden Mas Rahmat berbalik berpihak kepada Amngkurat I. Setelah gagal menyerang balik Trunojoyo mereka segera melarikan diri ke Batavia untuk minta bantuan VOC.
Namun diperjalanan Amungkurat I wafat karena sakit. Menurut Babad Tanah Jawi kematian Amangkurat I dipercepat karena minum air kelapa yang telah diisi racun oleh Raden Mas Rahmat. Amungkurat I dimakamkan di Desa Tegalwangi, sehingga berjuluk Sunan Tegalwangi.
Setelah menguasai Keraton Plered dan mengambil harta rampasan perang, Trunojoyo segera kembali ke Kediri. Raden Mas Rahmat kemudian naik takhta sebagai penguasa Mataram dengan gelar Amangkurat II.
Dia segera bersekutu dengan VOC untuk melawan Trunojoyo yang dikukuhkan dalam Perjanjian Jepara pada September 1677. Isinya Amangkurat II akan menyerahkan yang isinya pesisir Utara Jawa bila VOC mampu menghancurkan pemberontakan Trunojoyo.
Kekuasaan Trunojoyo saat itu semakin besar dan kuat. Hampir seluruh pesisir Jawa berada dalam kendalinya. VOC pernah mencoba menawarkan perdamaian namun Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Gubernur Jendral Cornelis Speelman akhirnya mengerahkan kekuatan besar-besaran untuk menumpas Trunojoyo. Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berhasil menguasai Surabaya. Pasukan koalisi antara VOC dan Mataram yang berjumlah 1.500 orang perlahan-lahan akhirnya dapat mendesak kekuatan Trunojoyo.
Di Bukit Selokurung Lereng Gunung Kelud pecah pertempuran antara pasukan gabungan kompeni dan Kasultanan Mataram dibawah pimpinan Kapitan Francois Tack melawan pasukan Pangeran Trunojoyo yang dibantu oleh Karaeng Galesong.
Pasukan grilya Trunojoyo bertempur mati-matian dan pantang menyerah. Ia bertahan sampai kehabisan tenaga sampai akhirnya benteng itu akhirnya jebol. Pada 27 Desember, Trunojoyo, pejuang besar yang memerdekakan Madura dari Mataram ini akhirnya ditangkap oleh VOC dan dibawa kehadapan Amangkurat II.
Pada 2 Januari 1680, Amangkurat II menghukum mati Trunojoyo di Balairung Payak, Bantul. Proses kematiannya konon dikisahkan sangat tragis. Ia ditusuk oleh Amangkurat II menggunakan keris Kyai Balabar sampai tembus ke punggungnya.
Atas perintah Amangkurat II, hati Trunojoyo dikeluarkan, dicabik-cabik lantas hati harus dimakan mentah-mentah oleh para petinggi keraton. Setelah itu lehernya dipenggal, kepalanya dijadikan keset untuk membersihkan kaki abdi dalem dan pelayan keraton. Tak cukup sampai disitu, kepala itu kemudian ditumbuk sampai hancur di lumpang batu.
Kisah Trunojoyo yang berjuluk Panembahan Maduratna ini bersumber dari Babad Tanah Jawi, History of Java yang ditulis Raffles dan buku ‘Raden Trunojoyo: Panembahan Maduratna, Pahlawan Indonesia’ karya Raden Soenarto Hadiwijoyo.