Doni tampak masih sigap mengendarai sepeda motor off-road yang memiliki tinggi 115 cm itu. Setelah menembus rimba, mereka pun sampai di tepi Danau Bak Blau di Dusun Tiga, Desa Meok. Warna kebiruan sangat jelas terlihat di permukaan danau seluas lebih kurang 500 meter persegi. Orkestra suara burung menyambut kami dalam hening hutan perawan.
Oleh : Egy Massadiah
JERNIH–Masih seputar Pulau Enggano, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Salah satu pulau terluar Indonesia, yang memecut perhatian Ketua Umum PP PPAD, Letjen TNI Purn Dr (HC) Doni Monardo. Kunjungan empat hari, melahirkan sejumlah gagasan kreatif-inovatif, yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Setelah berbicara tentang potensi wisata berburu bersama Muspika Kecamatan Enggano, para tetua dan tokoh adat, perhatian Doni berikutnya adalah pada hutan mangrove (bakau) yang ada di pulau itu.
Mengendarai sepeda motor trail Kawasaki KLX 150 milik Kodim 0423/Bengkulu Utara, Doni dan rombongan blusukan masuk hutan. Selanjutnya dengan perahu nelayan menyusuri lingkar pesisir pulau nan indah itu.
Doni tampak masih sigap mengendarai sepeda motor off-road yang memiliki tinggi 115 cm itu. Setelah menembus rimba, mereka pun sampai di tepi Danau Bak Blau di Dusun Tiga, Desa Meok. Warna kebiruan sangat jelas terlihat di permukaan danau seluas lebih kurang 500 meter persegi. Orkestra suara burung menyambut kami dalam hening hutan perawan.
Selanjutnya, berjarak satu-dua kedipan mata rombongan bergeser ke sebuah laguna yang damai. Dengan perahu nelayan, kami menyusuri pantai bening ditemani percik ombak cantik. Rimbun hutan bakau purba berukuran raksasa mengapit perjalanan kami. Tinggi bakau mencapai 20 – 30 meter, dengan akar kecil hingga akar besar berdiameter lebih dari 30 cm.
Enggano vs Cilacap
“Jenderal pohon” Doni Monardo tentu saja takjub melihat bakau Enggano. Seketika terlintas di benaknya, suasana yang kontras saat mengunjungi Cilacap, dalam kapasitas sebagai Kepala BNPB Desember 2020. Ia melihat bakau di sana rusak dicuri tangan-tangan tak bertanggung jawab.
“Di Enggano, saya lihat mangrove-nya sangat terjaga. Tolong Pak Camat, jangan sampai ada warga yang menebang mangrove,” pesan Doni kepada Camat Susanto.
Camat Susanto pun mengisahkan, masyarakatnya sangat menjaga hutan mangrove yang ada. Terlebih setelah tahun 2015 datang tim LIPI ke Enggano yang juga menyampaikan pesan sama seperti yang dikatakan Doni, yakni menjaga keutuhan hutan mangrove.
Ditambah, adanya adat-istiadat warisan nenek-moyang yang memang selaras. Adat Enggano melarang masyarakat menebang pohon bakau serta melarang warga membuka kebun yang berjarak lebih dari 3 km dari badan jalan utama.
Adat lain yang masih dijaga adalah larangan menangkap penyu pada saat pesta pernikahan atau pesta adat. Kesepakatan itu terjaga betul berkat struktur adat yang ada di bawah kendali pemimpin tertinggi suku-suku yang ada, yang disebut Paabuki. Paabuki dipilih oleh para kepala suku untuk masa jabatan enam tahun.
Ekosistem mangrove
Jika menelisik dokumen penelitian LIPI di Enggano, bisa kita temukan kajian Ary Prihandyanto Keim. Peneliti LIPI itu mengatakan bahwa ekosistem mangrove merupakan ujung tombak pelestarian Pulau Enggano. Disebutkan pula, jika mangrove rusak, maka keseluruhan ekosistem Pulau Enggano juga akan terganggu.
Selama ini, ekosistem mangrove di pulau Enggano berfungsi menjadi benteng penahan gelombang laut. Luas hutan mangrove keseluruhan lebih dari 1.700 hekatare. Hasil penelitian LIPI tahun 2015 juga sudah menyebutkan kepiting, udang, ikan karang, sebagai bagian dari ekosistem mangrove Enggano.
Karenanya, ketika Doni Monardo menyampaikan rencana budidaya kepiting di hutan bakau Enggano, masyarakat menyambut antusias. “Budidaya kepiting bakau itu segera kita realisasikan,” kata Doni.
Melihat potensi hutan bakau di seluruh Indonesia yang sekitar 3,6 juta hektare, mestinya kepiting bakau bisa menjadi komoditas unggulan Indonesia. “Syaratnya, harus dibudidayakan. Hentikan pengambilan kepiting tanpa diikuti budidaya. Berapa pun banyaknya, kalau tidak dibudidayakan, kepiting akan habis,” tambahnya.
Budidaya kepiting bakau seyogianya dibuat dengan memasang semacam keramba dari jaring dengan kualitas bagus.
Doni juga menyebutkan, kepiting memiliki pola hidup kanibal. Ia mencontohkan, dari 100 benih kepiting, yang berhasil tumbuh hingga layak panen, hanya sekitar 30 persennya saja. “Kita juga harus menjaga agar yang dipanen adalah kepiting jantan dengan ukuran 400 gram,” katanya.
Ke depan, Doni akan melibatkan pakar kepiting. “Nanti akan kita buatkan pola budidaya yang baik dan benar. Termasuk pola pemberian makan. Ketika kepiting masih kecil-kecil, mungkin cukup sekali diberi pakan dalam sehari. Ketika sudah besar, bisa ditambah dua sampai tiga kali pemberian pakan. Makanan yang paling mudah didapat adalah sisa-sisa potongan kepala ikan, atau bagian ikan yang tidak diambil, dicacah-cacah lalu ditebarkan ke keramba,” kata Doni.
Jika semua berlangsung baik, dalam waktu 3–4 bulan sudah bisa mulai panen. Kita bisa lihat harga kepiting bakau paling murah Rp 70.000 per kg. Makin besar ukuran, makin mahal, bisa ratusan ribu rupiah per kilogram.
Kalkulasinya sederhana, bahwa bakau adalah habitat yang sangat bagus untuk budidaya kepiting. Karenanya, dalam banyak kesempatan Doni menjadi orang yang paling lantang menentang penebangan bakau.
Kepiting merah dan selasih
Petrus Sutarjo merupakan salah satu penggiat udang dan kepiting yang turut serta dalam rombongan Doni Monardo ke Enggano. Petrus tak habis-habis memuji keutuhan hutan bakau di sana, sebagai habitat yang sangat bagus bagi kepiting.
Ihwal gagasan Doni Monardo mengembangkan budidaya kepiting, Petrus sangat setuju. “Dari empat jenis kepiting yang hidup di perairan seluruh Indonesia, dua di antaranya ada di Enggano. Ini potensi yang luar biasa,” ujar Petrus, pembudidaya udang vaname dan ikan bandeng di Saung Naga Soedirman, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang.
Empat kepiting yang disebut Petrus, pertama adalah kepiting hijau (Jawa). Yang kedua kepiting hitam (Kalimantan dan Papua). Ketiga kepiting merah dan keempat kepiting selasih. “Nah, dua varietas kepiting ada di Enggano, yakni kepiting merah dan selasih,” ujarnya.
Kedua jenis kepiting itu bisa dibilang kepiting unggulan. Menurut Petrus, kepiting merah sangat diminati pasar ekspor. “Permintaan kepiting merah umumnya datang dari China, Hong Kong, Singapura, dan Malaysia. Berapa pun produksinya, akan terserap, karena memang permintaan sangat tinggi,” ujarnya.
Sementara, kepiting selasih juga sangat tinggi permintaan pasar, terutama dari para pengusaha restoran seafood. “Jika kita makan kepiting yang ukuran jumbo, ada yang beratnya satu kilo, dua kilo, bahkan lebih, itulah kepiting selasih. Ukurannya jumbo-jumbo,” katanya.
Karenanya, gagasan Ketua Umum PPAD untuk membudidayakan kepiting di Enggano, dinilai sangat tepat. Enggano memiliki dua varietas kepiting unggulan, alam bakaunya juga masih utuh dan terjaga. “Saya ikut keliling Enggano bersama pak Doni. Wah, hutan bakaunya masih rapat, luar biasa,” kata Petrus.
Hutan bakau adalah habitat terbaik kepiting. Itu artinya, dengan sistem budidaya yang baik, ada harapan produksi kepiting Enggano bisa terjaga bahkan meningkat. “Tidak seperti sekarang, di mana populasi kepiting makin tergerus. Kenapa bisa terjadi? Karena kepiting betina ikut ditangkap dan dijual,” kata Petrus, prihatin.
Petrus mengaku sudah berdialog dengan sekitar 20 pencari kepiting di Enggano. Mereka sendiri yang mengisahkan, sepuluh tahun lalu, dalam satu hari bisa mendapatkan 70 kilogram kepiting. Tapi saat ini, dalam tiga hari mencari kepiting hanya dapat 20 kilogram kepiting.
“Yang lebih mengenaskan, kepiting-kepiting itu dibeli tengkulak dengan harga Rp 20 ribu per kilo. Sungguh tragis. Padahal, ekspor kepiting bisa ratusan ribu rupiah per kilogram,” kata Petrus pula.
Petrus optimistis dengan rencana program budidaya kepiting di Enggano. Terlebih, Menteri KKP telah mengeluarkan Permen (Peraturan Menteri) yang melarang ekspor kepiting betina. Permen dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56/PERMEN-KP/2016 tentang Larangan Penangkapan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari wilayah Indonesia.
Permen tadi selain mengatur ukuran karakas (cangkang) yang boleh ditangkap dan diekspor, juga mengatur dengan sangat spesifik mengenai larangan ekspor kepiting bertelur. Dengan menegakkan aturan tersebut, Petrus berharap budidaya kepiting akan sukses. “Yang lebih penting, kita tidak perlu khawatir anak-cucu kita kelak tidak bisa makan kepiting karena punah,” kata Petrus.
Petrus memuji konsep budidaya kepiting di hutan bakau Enggano sebagai konsep brilian. Di mata Petrus, budidaya itu setidaknya akan mendatangkan tiga manfaat sekaligus. Pertama, kesejahteraan bagi petani kepiting. Kedua, keuntungan bagi eksportir kepiting. Ketiga, ekosistem (hutan bakau) terjaga.
“Last but not least… jarak Enggano ke Jakarta hanya 500 km. Dekat. Itu jaminan kita mendapatkan kepiting yang masih dalam keadaan hidup. Apalagi kepiting merah dan selasih terkenal memiliki daya hidup tanpa air yang cukup lama,” kata Petrus, senang.
Instrumen selamat
“Ingat, jangan ada bakau yang ditebang sewenang-wenang, hanya untuk dijadikan arang. Memang arang dari batang bakau disukai karena aromanya harum dan tidak bikin sesak napas. Apinya juga biru, mereka ekspor ke Malaysia dan Timur Tengah. Tapi hutan kita rusak parah akibatnya,” kata Doni.
Karenanya, jika tidak dilakukan gerakan pencegahan penebangan mangrove, serta gerakan penanaman mangrove, Doni khawatir dalam waktu tidak terlalu lama luas hutan mangrove akan terus menyusut.
“Maka sekali lagi saya titip sama Pak Camat, jangan sampai ada yang menebang mangrove. Termasuk jangan ada warga yang membangun rumah dengan menggusur serta menimbun hutan bakau,” kata Doni pula.
Doni tegas mengimbau, jika mendapati ada warganya membangun rumah dengan menimbun bakau, segera hentikan. “Peran penting bakau di Enggano sejatinya bukan semata-mata untuk budidaya kepiting, ada fungsi yang jauh lebih besar, yakni sebagai instrumen untuk menyelamatkan warga Enggano jika sewaktu-waktu terjadi gelombang tsunami,” ujar Kepala BNPB 2019 – 2021 itu.
Doni lantas membuka catatan ihwal posisi Enggano yang terletak pada subduksi Indo-Australia. Batas Samudera Hindia dengan wilayah Asia. Nah, di situ ada subduksi, ada pertemuan lempeng.
Jika pertemuan dua lempeng ini mengalami gesekan, maka akan timbul gempa. Dan biasanya gempa yang ditimbulkan bisa sangat besar, jika itu terjadi setelah sekian lama tidak terjadi gesekan. Istilahnya lepasan energinya sangat besar, bisa mengakibatkan gempa dengan magnitudo hebat seperti yang terjadi di Aceh (2004) dan Nias (2006). “Aceh, Nias, Mentawai, dan Enggano adalah segaris,” kata Doni.
Pertanyaannya, apakah itu mungkin terjadi? “Sangat mungkin. Sekali lagi saya ulangi: Sangat mungkin! Ini ilmu pengetahuan, dan bisa dipelajari. Apakah tsunami Aceh 2004 itu yang pertama? Tidak! Itu yang kesekian kalinya. Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa tsunami di Aceh sudah pernah terjadi sebelum-sebelumnya,” ujar Doni, yang pada tahun 2019 akhir pernah mengunjungi Gua Ek Leuntie di Aceh Besar, saksi bisu tsunami Aceh sejak 7.400 tahun lalu.
Manusia tidak bisa menghindari takdir, tapi berbekal ilmu pengetahuan, kita bisa membuat perencanaan sedemikian rupa untuk bisa meminimalisir dampak, manakala bencana itu terjadi. Entah kapan. “Dan mangrove itu salah satu benteng terbaik meredam tsunami,” tegas Doni.
Doni juga paham, Enggano memiliki problem infrastruktur, utamanya sarana jalan. Selama ini, Enggano seperti belum tersentuh pembangunan. Tenaga listrik yang terbatas. Sarana transportasi yang juga minim. “Dengan menggarap ekowisata berburu, serta budidaya kepiting bakau, saya harap bisa meningkatkan perekonomian Enggano. Ekonomi akan tumbuh dengan sendirinya,” ujar Doni, optimistis.
Simak terus catatan perjalanan Enggano, karena masih melimpah kisah cerita lainnya yang menginspirasi. Tabik! [ ]
*Egy Massadiah, wartawan senior, konsultan media, menulis sejumlah buku serta pembina Majalah “Jaga Alam”