Jernih.co

Ketika “Liburan” Itu Akhirnya Tiba -Catatan Perjalanan Anggota Gugus Tugas Egy Massadiah

Lepas menjabat Pangdam Pattimura tahun 2017, Doni Monardo diangkat sebagai “Warga Kehormatan Kota Ambon”. Tidak main-main, statusnya itu bahkan dikukuhkan melalui Surat Keputusan DPRD Kota Ambon Nomor 16/KPTS/DPRD/2017 tertanggal 13 November 2017 dan Surat Walikota Ambon Nomor 478 tertanggal 14 November 2017.

JERNIH– Hal apa yang paling Anda rindukan setelah berbulan-bulan me-lock down diri? Jawabnya bisa seribu satu. Bisa dipastikan, satu di antaranya adalah “rekreasi”. Nah inilah rekreasi versi kami.

Alhasil, ketika Ketua Gugus Tugas Covid-19, Letjen TNI Doni Monardo merencanakan perjalanan dinas panjang, maka di sana terselip harapan bisa liburan. Sambil menyelam minum air. Sambil bekerja bisa cuci mata. Sesuai jadwal, berangkat Minggu siang (5/7) dan kembali Rabu malam (8/7).

Egy Massadiah

Begitulah. Rombongan pun stand-by di Lanud Halim Perdanakusuma. Pesawat Boeing 737-400 TNI-AU sudah terparkir dengan pilot Mayor (Pnb) AR Hakim. Selain Doni Monardo, tampak Menko PMK Muhadjir Effendy, Menkes Terawan Agus Putranto, serta sejumlah pejabat dan staf dari insitusi lain. Termasuk tujuh orang anggota DPR RI dari Komisi 8 dan 9. Sebuah angka cantik 789.

Dua di antaranya adalah sobat lama. Mereka adalah politisi Golkar, Ace Hasan Syadzily, wakil ketua Komisi 8, pernah sama-sama berguru di Jerman saat mengikuti kursus singkat politik yang diselenggarakan Kondrat Adenauer Stiftung.

Yang kedua Aliya Mustika Ilham dari Partai Demokrat Dapil Sulsel. Aliya, saya kenal sebagai istri Aco Ilham, mantan Walikota Makassar. Kebetulan Aco juga mengenal dengan baik Doni Monardo, bahkan sejak Doni menjabat Danbrigif yang berkedudukan di Kariango, Maros. Saat itu Doni banyak melakukan penghijauan di Sulsel dengan menanam pohon trembesi. Alya dan suaminya yang walikota Makassar ketika itu, terlibat bersama men-trembesikan Lapangan Karebosi Makassar.

Kembali ke perjalanan. Saya merasa perlu menuliskan secara khusus nama penerbang AR Hakim. Sosoknya menjadi penting dalam perjalanan ini. Sebab, bukan sekadar penerbangan jarak panjang, tetapi penerbangan yang salah satu tujuannya adalah Manokwari, Ibu Kota Papua Barat. Benar, rangkaian perjalanan itu adalah: Jakarta – Surabaya – Ambon – Ternate – Manokwari – Jayapura – Merauke – Jakarta (transit Makassar).

Di kalangan penerbang, Bandara Rendani Manokwari terkenal sebagai bandara dengan tingkat kesulitan tinggi untuk take off dan landing. Sekadar menambah ilustrasi, Anda bisa melacak rekam jejak kecelakaan pesawat di bandara yang satu ini. Pendek kalimat, diperlukan pilot berpengalaman untuk bisa mencium landasan Rendani dengan mulus.

Adapun Mayor Hakim, tercatat sudah tiga kali mendarat di sini. Ia mengenal dengan baik karakter bandara Rendani. Pilot dari Skadron Udara 17 Wing Udara 1 Lanud Halim Perdanakusuma, lulusan Akabri Udara 2006 ini pun mengakui tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk landing di Rendani.

“Yang pertama terrain gunung-gunung. Yang kedua, instrumen di bandara terbatas. Dalam kondisi seperti itu harus hapal betul kondisi landasan, plus skill tentunya,” ujar Hakim seperti dikutip media lokal pasca mendarat di Rendani.

Tak urung, kisah “horor” Bandara Rendani sempat membuat jantung berpacu lebih kencang. Tapi tentu tidak dialami oleh semua penumpang. Kiranya, banyak juga yang tidak tahu hikayat Rendani, bisa pula karena larut dalam jadwal padat kunjungan yang –ternyata– cukup melelahkan.

Sebelum mendarat di Manokwari, rombongan sudah lebih dulu menapak di Surabaya, Maluku, dan Ternate. Jika dinarasikan, tentu tidak sependek menulis tiga kata: Surabaya-Maluku-Ternate. Sebab, rombongan sudah diatur protokol dengan agenda-angenda kerja yang menuntut stamina prima.

Tiba di Surabaya Doni dan rombongan menuju Hotel Grand Surabaya. Di hotel milik BUMN itu sudah menunggu Irjen Pol Mohammad Fadil Imran (Angkatan 1991). Jenderal polisi bintang dua yang punya hobby memasak — khususnya sea food ala Makassar ini — baru dua bulan lebih menjabat Kapolda Jatim.

“Hotel ini akan kami manfaatkan sebagai tempat istirahat tenaga kesehatan,” ujar  Doni.

Agenda selanjutnya adalah ke Gedung Grahadi, untuk video-conference (vicon) Menko PMK dengan para rektor se-Jawa Timur. Sampai di sini, biasa-biasa saja. Keadaan menjadi istimewa seusai vicon dan memasuki jam makan.

Apalagi kalau bukan kuliner Kaldu Kokot khas Madura. Tulang kaki sapi ukuran raksasa menyembul memenuhi mangkuk yang juga besar. Tulangnya dipenuhi sumsum. Ini sejenis sup “kaledo”, kaki-lembu-donggala di meja hidangan. Kehadiran kaledo –setidaknya di mata saya– spontan menenggelamkan menu-menu khas Jawa Timur lain, seperti rawon, sate, soto, dan lain-lain.

Kaldu Kokot ini benar-benar spesial. Masakan tulang kaki sapi direbus, lalu diberi bumbu asam muda dan bawang, kuahnya bening. Tidak penting apa jenis kuahnya, tetapi sumsum yang ada dalam tulang, kikil, serta daging-daging yang menempel lumer, sungguh luar biasa. “Kolesterol? Ah… dipikir nanti saja.

Usai vicon dan makan malam, rombongan kembali ke Juanda melanjutkan perjalanan menujuju Ambon. Karena waktu Ambon dua jam lebih cepat dari Surabaya, jadilah kami landing di Bandara Pattimura menjelang pukul 01.00 dinihari, setelah menempuh penerbangan 3 jam lebih.

Setiba di Ambon, rombongan disambut langsung Gubernur Maluku, Murad Ismail. Ia adalah purnawirawan Irjen Pol angkatan Akpol 1985. Sama seperti Doni Monardo yang angkatan Akmil 1985. Bagi Doni, kedatangannya ke Maluku tak ubahnya “pulang kampung”.

Benar. Lepas menjabat Pangdam Pattimura tahun 2017, ia diangkat sebagai “Warga Kehormatan Kota Ambon”. Tidak main-main, statusnya itu bahkan dikukuhkan melalui Surat Keputusan DPRD Kota Ambon Nomor 16/KPTS/DPRD/2017 tertanggal 13 November 2017 dan Surat Walikota Ambon Nomor 478 tertanggal 14 November 2017.

Sebelum bertolak ke Ambon, Doni sempat menghubungi sahabat lamanya di Ambon, Ationg, untuk menyiapkan hidangan sup kepala ikan dan tuna sashimi  super premium. Doni ingin kembali merasakan menu setara yang pernah ia santap olahan langsung pakar kuliner William Wongso beberapa tahun lalu.

Apa daya, Gubernur Murad ternyata juga sudah menyiapkan hidangan di rumahnya. Kami pun menyambut gembira santap (tengah) malam itu.

Jarak Bandara Pattimura ke rumah Gubernur sekitar 20-an kilometer. Mestinya kalau ditarik garis lurus, kurang dari 10 km, tetapi harus memutari Teluk Ambon. Perjalanan konvoi dengan pengawalan voorijder, bisa ditempuh kurang dari 30 menit. Perut masih bisa kompromi.

Aneka menu sudah disiapkan. Menjadi berlimpah ketika ditambah menu sup kepala tuna dan sashimi tuna. Benar-benar makan tengah malam yang sempurna. Anggota rombongan ada nyeletuk ini momen sahur yang maknyus. Agar Anda bisa membayangkan sup kepala tunanya, kuahnya sarat dengan irisan jahe segar plus aroma wijen. Silakan berimajinasi!

Pak Menko Muhadjir dan Menkes Terawan asyik menikmati makanan dinihari. Mungkin ia sempat lelap dalam penerbangan Surabaya – Ambon tadi, sehingga kelihatan tetap bugar di usia yang 63 tahun. Bahkan, ia tidak menampik ketika didaulat menyanyi dengan iringan organ tunggal.

Sebuah tembang yang hits tahun 2006, “Kenangan Terindah” (Bams/Samsons), dibawakan Muhadjir penuh penghayatan. Senyumnya terus tersungging sepanjang lantunan lagu.

Mayjen TNI Marga Taufik Pangdam Pattimura dan Irjen Pol Baharuddin Djafar Akpol 86 yang menjabat Kapolda Maluku — keduanya putra Sulawesi — termasuk yang menikmati dendang suara Pak Menko.

Tak urung, rombongan baru masuk ke kamar hotel pukul 02.30 WITA. Pukul 07.00-nya, sudah harus berada di kantor Gubernur Maluku untuk video-conference. Anda bisa bayangkan, berapa jam tidur rata-rata anggota rombongan.

Usai vicon, rombongan dijadwalkan take off pukul 10.00 WITA. Tujuan berikutnya adalah Bandara Sultan Baabullah, Ternate, di Maluku Utara. “Gara-gara” vicon yang antusias plus hidangan sukun khas Ambon di bandara Pattimura, take off pun mundur dua jam.

Selama di Ambon, ada peristiwa “reuni kecil” antara Doni Monardo dengan bekas anak buahnya, Kolonel Czi Arnold Aristoteles Ritiauw, yang sekarang menjabat Komandan Korem 151/Binaiya. Ia angkatan 1991, satu angkatan dengan Kolonel Hasyim Lalhakim dan Kolonel Budi Irawan, Koorspri Kepala BNPB Doni Monardo.

Setelah menempuh penerbangan 1 jam 10 menit, pesawat TNI-AU yang dipiloti Mayor Hakim pun mendarat mulus di Bandara Sultan Babullah Ternate. Di sini, rombongan juga melakukan pertemuan serta menyerahkan bantuan.

Di antara jadwal yang padat, saya sempat jumpa Letkol (Inf) R. Moch. Iskandar Manto (lichting 1999), mantan Danyon 12 Grup 1 Kopassus Serang. Sebelumnya, Iskandar Manto adalah Dandim Depok. Iskandar Manto adalah putra menantu mendiang Mayjen TNI Amirul Isnaini, mantan Danjen Kopassus (2000).

Usai acara di Ternate, rombongan pun bertolak ke Manokwari, pukul 17.00 WITA. Setelah lelap sejenak dalam penerbangan, pesawat berhasil mendarat dengan mulus di Bandara Rendani yang “unik” itu. Di sini Kapten pilot dan tim patut dipuji.

Kembali di Manokwari, Doni disambut wajah-wajah yang tak asing baginya. Dua di antaranya adalah Pangdam Kasuari, Mayjen TNI Ali Hamdan Bogra dan Asops Kasdam Kasuari, Kolonel Inf. Lucky Avianto.

Ali Hamdan Bogra adalah putra Serui, Ibukota Kepulauan Yapen, Papua. Ia pernah membantu Doni Monardo di Wantanas. Bogra menjabat Bandep Urusan Lingkungan Sosial Setjen Wantannas (2017—2019). Saat Doni Monardo bergeser ke BNPB, ia pun geser menjadi Wadan Sesko TNI (2019-2020), sebelum akhirnya menjabat Pangdam XVIII/Kasuari beberapa bulan lalu.

Adapun Kolonel Lucky Avianto juga dari kesatuan baret merah, beberapa kali tugas keluar kandang, tetapi balik dan balik lagi ke Markas Kopassus. Doni memuncaki posisi Danjen Kopassus tahun 2014- 2015, di mana Lucky sempat menjabat Waasops Danjen Kopassus (2015 – 2016).

Lulusan Terbaik Akmil, penerima Adhi Makayasa (1996) ini termasuk salah satu junior Doni yang namanya masuk di Gugus Tugas bidang Puskodalops Satgas Covid19 (2020). Lucky termasuk yang tidur di Graha BNPB selama urusan Covid sebelum bergeser dan bergabung dalam tim Pangdam Ali Hamdan Bogra di Manokwari sekitar sepekan lalu.

Di Kepala Burung Pulau Papua, rombongan beristirahat di hotel. Di tengah jamuan makan malam, wakil ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Golkar NTT-2, E.Melkiades Laka Lena melantunkan lagu syahdu berjudul “Tanah Papua”. Suasana haru membalut rombongan.

Sebuah lagu yang diciptakan oleh Yance Rumbino dan dinyanyikan oleh cucunya, Rainer Koibur. Liriknya dan iramanya sangat syahdu, dan seketika bisa membuat semua hadirin larut menikmati bait-demi-bait lagu “Tanah Papua” yang syahdu itu.

Esok paginya, rombongan take off ke Jayapura. Di Jayapura, Doni Monardo menyempatkan diri mengunjungi Sentani, lokasi yang pernah ia kunjungi beberapa waktu pasca bencana banjir Maret tahun lalu. Saat itu, ia menyerahkan bantuan mesin pengolah sagu dan mesin pengasap ikan.

Pada satu kesempatan, Doni berbisik kepada saya, “Pak Egy, mainkan ikan tuna asap.”

Dibantu Andi Eviana (Ka Biro Umum BNPB) dan Budi Irawan (Koorspri Ka BNPB), kami menyiapkan tuna asap untuk melengkapi menu santap malam nanti di SwissBell Jayapura. Tak hanya itu, kami juga berburu lobster. Betapa pun, hasil laut Papua memang luar biasa, dan harus disajikan kepada rombongan, agar potensi Papua makin kesohor.

Usai acara di Sentani, hujan turun dengan derasnya. Angin sempat meliukkan tenda acara. Sambil menunggu hujan sedikit reda, merapatlah Yanto Eluay dan membisikkan sesuatu ke Doni Monardo. Rupanya, anak kandung dari almarhum Theys Hiyo Eluay yang merupakan tokoh kharismatik Papua di masa kepemimpinan Gus Dur itu minta izin untuk mengundang Menko Muhajir dan Menkes Terawan secara khusus mampir ke Pendopo Adat milik mendiang ayahnya. Tentang ini, nantilah, saya akan tulis, menjadi satu tulisan tersendiri.

Seperti halnya di Papua Barat, maka di Papua pun Doni disambut Pangdam setempat. Pangdam XVII/Cendrawasih, Mayor Jenderal TNI Herman Asaribab. Kebetulan, baik Pangdam Kasuari maupun Pangdam Cendrawasih, keduanya putra asli Papua. Di antara staf Kodam, bercokol sejumlah prajurit Kopassus yang mengenal Doni Monardo dengan sangat baik. Tidak heran jika mengikuti Doni berkunjung ke mana pun di belahan bumi Nusantara, selalu terjadi “reuni-reuni kecil”.

Demikian pula keesokan harinya, pagi pagi datang Brigjen TNI Iwan Setiawan, Danrem 173/PVB, Biak Numfor menjumpai Doni Monardo. Iwan adalah prajurit Kopassus lichting 1992 yang dikenal sebagai pemanjat Mount Everest, puncak tertinggi di dunia dalam ekspedisi Kopassus pada tahun 1997. Saat itu, ia masih berpangkat letnan. Kebetulan lagi saya menjadi bagian dalam penyusunan buku pendakian Mount Everest Kopassus.

Sebegitu banyak cerita di atas kerja tertoreh di buku catatan, toh masih menyisakan satu perjalanan lagi, yakni ke Merauke. Setiba di Merauke, Doni mengubah jadwal, tidak langsung ke kantor bupati, tetapi menuju daerah perbatasan RI – Papua Nugini. Di titik nol itu, Doni sempat meminta staf BNPB membeli jualan penduduk lokal.

Sigap mereka membeli madu, dan beberapa jualan warga lokal.

Selesai mengunjungi wilayah perbatasan, kami pun menuju kantor Bupati Merauke. Vicon dipandu tuan rumah Wakil Bupati Sularso. Saat itu, Bupati Merauke Frederikus Gebze berhalangan.

Sore pukul 15.00 WITA, selesailah seluruh rangkaian kunjungan kerja yang diawali dari Surabaya. Kapten pilot Hakim  memboyong kami kembali ke Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dalam perjalanan, pesawat sempat landing di Lanud Hasanuddin Makassar untuk “double re-fueling”: Isi aftur untuk pesawat, dan isi perut untuk rombongan.

Alhamdulillah, pesawat TNI AU itu mendarat mulus di Lanud Halim Perdanakusuma Rabu (8/7/2020) sekira pukul 20.00 WIB. Baru saja kaki menjejak tanah Halim, masuk pesan di ponsel Doni Monardo. Isi pesan, besok, Kamis (9/7) mendampingi Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Setiba di kantor, sambil merebahkan tubuh, berkecamuk sebuah parodi liburan di pikiran.

“Kemarin, tiga bulan berkutat di kantor, rasanya ingin melihat dunia luar. Naik pesawat terbayang sebagai kemewahan. Bertemu teman lama, terngiang sebagai mimpi. Apa yang terjadi sepulang empat hari kunjungan kerja? Kemewahan itu terbayar lunas. Mimpi itu menjadi nyata. Meski harus dibayar dengan kondisi badan yang terasa bergolak karena dipacu dalam “rekreasi maksimal” ….”

Begitu kalimat-kalimat yang berseliweran di benak. Mataku sendiri sudah tak kuat melek. Tubuh lelah ini saya pastikan sebentar kemudian tergolek pulas dalam dengkur. [ ]

Exit mobile version