Site icon Jernih.co

Ketika Salju Pertama Menyaput Putih Borobudur

“Indonesia adalah negara pertama yang diberi kesempatan menampilkan miniatur ikon-ikon bangunan terkenalnya,” kata Dubes Yuddy.

KYIV— Ketika salju pertama musim dingin tahun ini berjatuhan pada 29 Desember 2019 malam, butir-butir lembut itu pelan-pelan menutup stupa terbesar Borobudur. Tipis saja, sehingga pada pagi hari berikutnya bentuk stupa yang mempunyai garis tengah 9,90 meter dan tinggi tujuh meter itu, meski tersaput putih masih terlihat jelas dan gagah.

Jika itu terjadi di Magelang, hal itu tak hanya akan menandai perubahan iklim yang ekstrem. Fenomena itu pun akan menjadi yang pertama sejak candi megah itu dibangun Raja Smaratungga dari Dinasti Syailendra pada sekitar abad ke-8 Masehi. Namun stupa berukuran sesuai aslinya itu tak terletak di tataran Arupadhatu Candi Borobudur, Jawa Tengah. Ia terpacak tegak di M.M Gryshko National Botanical Garden, Kiev, Ukraina, dibuat oleh tiga seniman Jawa Barat yang dipimpin Ki Jatnika.

“Pagi itu saya menyempatkan diri datang, saat sadar salju pertama musim ini turun,” kata Syafrizal Rambe, dosen Universitas Nasional yang menemani kami mengunjungi Botanical Garden di Sabtu pagi itu, bercerita. Rambe tengah berada di Ukraina selama beberapa bulan. “Sayang, telepon genggam saya yang berkamera, tertinggal tak saya bawa.” Jelas sekali nada kecewa dalam kalimat yang ia lontarkan.

Stupa itu sendiri berdiri atas prakarsa Dubes Indonesia untuk Ukraina, Georgia dan Armenia, Yuddy Chrisnandi. Awalnya, Indonesia dipercaya mendapatkan amanat tanah seluas 0,2 hektare di Botanical Garden, sebagaimana negara-negara sahabat Ukraina lainnya. Setelah merundingkannya beberapa lama di antara staf Kedutaan Besar RI (KBRI), Dubes Yuddy memutuskan untuk mengisi Anjungan Indonesia itu dengan, antara lain, replika stupa utama Borobudur dalam ukuran aslinya. Perlu waktu 51 hari untuk pembuatan stupa tersebut hingga akhirnya tegak berdiri.

“Stupa Borobudur ini merupakan ungkapan cinta kasih bangsa Indonesia kepada rakyat Ukraina, sebagai tanda kenangan persahabatan abadi yang akan tinggal selama-lamanya,” ujar Dubes Yuddy pada saat peresmian stupa tersebut, 17 Agustus 2019. Sambutan hangat atas prakarsa itu secara resmi diberikan Prof. Volodymyr Radchenko, kepala Dewan Presidium Ukraine National Academy of Science, yang membawahi National Botanical Garden. Ia menyambut antusias pemilihan stupa Borobudur, di tengah beragamnya kekayaan warisan budaya Indonsia yang ia ketahui.  

Selain stupa, di area tersebut didirikan pula beberapa saung Sunda yang berhiaskan bentuk-bentuk Kujang. “Saung-saung itu biasa digunakan warga Kiev untuk makan-makan, sembari piknik bersama keluarga,”kata Harlan Sumarsono, kepala protokoler KBRI Kiev yang juga mengantar kami. Menurut Harlan, setiap kali datang ke sana, selalu saja dilihatnya ada keluarga warga lokal yang tengah duduk-duduk santai di pondok-pondok kayu tersebut.       

Inisiatif KBRI segera membangun Anjungan Indonesia di National Botanical Garden tanpa sama sekali memakai anggaran itu patut diacungi jempol. Botanical Garden tergolong salah satu institusi terkemuka di Eropa dalam jumlah koleksi. Pada taman yang memiliki luas lahan sekitar 130 hektare tersebut terdapat sekitar 3.500 kelompok flora subtropis dan tropis, dengan sekitar 14 ribu species flora hidup.

Di area tersebut juga terdapat taman-taman, anjungn berbagai negara seperti Jepang, Korea, Tibet, dan lain sebagainya. Anjungan Korea ketara sekali dibiayai Samsung, yang tertera jelas di muka anjungan.

Bukan hanya Borobudur yang dibangun Yuddy untuk memperkenalkan Indonesia kepada warga Ukraina, Kiev khususnya. KBRI bahkan berinisiatif meminta lahan kepada Taman Miniatur Ukraina di Kiev, untuk mengisinya dengan miniatur  yang melambangkan kebhinekaan Indonesia. Permintaan itu direspons pengelola Taman Miniatur dengan sangat positif. Sejak 10 November 2017 di taman seluas dua hektare tersebut berdiri ‘anjungan’ miniatur Indonesia. Beberapa ikon terkenal Indonesia ditampilkan di sana, yakni miniatur Monumen Nasional (Monas), Masjid Istiqlal, Gereja Katedral Jakarta, Candi Borobubudur dan Pura Ulun Danu Bali.

“Indonesia adalah negara pertama yang diberi kesempatan menampilkan miniatur ikon-ikon bangunan terkenalnya,” kata Dubes Yuddy. Kami berdiri agak jauh dari anjungan yang tengah dikelilingi dua keluarga Ukraina itu. Menepi, memberikan mereka waktu untuk menikmati, bahkan mungkin merenungi. Beberapa saat kemudian saya sempat bertanya kepada salah seorang di antara mereka. Seorang pemuda, mungkin usia SMU atau mahasiswa. Dengan bahasa Inggris terbata ia balik bertanya, tampaknya meyakinkan diri bahwa semua miniatur bangunan itu adalah tempat-tempat ibadah agama yang ada di Indonesia.

“Ya, kecuali National Monument,” kata saya. Pemuda itu tersenyum senang, sambil berkali-kali mengatakan,”Seperti sudah kuduga.” Mungkin juga ia senang menyadari bahasa Inggrisnya telah cukup membantu dirinya saat membaca keterangan tentang miniatur-miniatur yang ada.

Miniatur Park yang luasnya sekitar dua hektare itu mulai dibuka dan dinikmati warga pada 23 Juni 2006. Lokasinya terletak di kawasan Hidropark di sisi Sungai Dniepro yang membelah kota Kiev. Di sana pengunjung dapat menemukan berbagai miniatur bangunan, gedung, serta monumen terkenal di Ukraina, seperti istana di Semenanjung Crimea, Katedral Saint Sophia, Biara Lavra, bahkan bangunan-bangunan pabrik besar pun ada. Semua dalam skala satu berbanding 33. Saat ini tak kurang dari 700 bangunan miniature ada di sana.

Sekitar setahun setelah berdirinya kedua anjungan di Kiev tersebut, menurut Maryna Kyrylchuk, staf lokal di KBRI Kiev, peluang Indonesia lebih dikenal warga Ukraina-khususnya Kiev, menjadi kian besar. “Jika bertanya, pertanyaan banyak teman dan junior tentang Indonesia kini lebih kaya dan beragam. Pengetahuan mereka tentang Indonesia tak hanya sebatas keindahan alam dan budaya Bali,” kata dia. Maryna adalah penerima beasiswa Darmasiswa Kemendikbud-Kemenlu, yang sempat dua tahun tinggal dan belajar di beberapa perguruan tinggi di Bandung. Maryna pula, yang bersama putri Dubes Yuddy, Ayesha Fatma Nandhira, menarikan Tari Lenggang Nyai dari Jawa Barat dengan rampak dan anggun, pada saat peresmian stupa Borobudur.

Tak hanya KBRI dan jajarannya, sebenarnya, yang antusias memperkenalkan Indonesia di Ukraina. Bahkan dua sejoli pemilik rumah makan khas Indonesia di Kiev, Eko Koesprananto dan Dewi, juga melakukannya. Setiap hari, paling tidak melalui rasa nikmat dari setiap menu masakan yang mereka masak dan sajikan buat tamu.

Resto bernama ‘17.804: Indonesian Social Kitchen’ itu saat ini adalah resto Indonesia pertama dan satu-satunya di Kiev. Sebuah resto terpandang, karena berada di Velyka Vasilkivska Street 82, tepat di jantung kota Kiev. Nama 17.804 sendiri mengacu kepada jumlah pulau yang ada di Indonesia.

Menurut Gatot Amrih Djemirin, counsellor KBRI Kiev yang saya kenal saat meliput kasus rencana eksekusi mati seorang TKI di Abu Dhabi di awal millennium, bercerita, restoran tersebut baru beroperasi April 2018. “Pak Dubes yang mendengar rencana itu, mendukung penuh,” kata Gatot. Apalagi, resto itu adalah resto Indonesia pertama yang beroperasi sejak berdirinya KBRI, 1996 lalu.

Ada bukti otentik, yang meski barangkali kecil, namun menegaskan komitmen dan dukungan yang kuat itu. “Lihat di sana,” kata Gatot. Pada sebuah dinding terpajang gagah ikon negara, Burung Garuda, lengkap dengan pita Bhinneka Tunggal Ika yang membentang di antara kedua cakarnya. Bentuk kerajinan tembaga itu dipesan khusus Dubes Yuddy dari seorang pengrajin tembaga di Boyolali, Jawa Tengah, untuk Resto 17.804.Sama dengan miniatur-miniatur Monas, Borobudur dan kawan-kawan yang berdiri gagah di Miniatur Park.

Menurut Alan Maulana Al-Kautsar, mahasiswa Jurusan Hubungan Internasional di National Aviation University yang sempat bekerja di resto itu, menu resto tersebut cukup beragam dan kaya.

“Mulai dari gado-gado, nasi goreng, mie goreng, soto ayam, lumpia, pisang goreng, rendang sapi, laksa, ikan bakar bumbu, wah, banyaklah,” kata Alan yang nekad pergi sendiri ke Kiev sesegera lulus SMU. Bahkan untuk kudapan, resto juga kerap menyajikan bubur kacang hijau dan bubur ketan hitam kepada tamu. Soal rasa, asal tahu saja, Eko sang pemilik resto sebelumnya adalah juru masak di Hotel Hyatt Kiev.

Harga? Untuk ukuran jalan-jalan ke luar negeri, harga-harga di Kiev terbilang murah. Teman saya Egy Massadiah punya pengalaman bersantap malam berempat di resto tersebut. Empat jenis menu dan empat minuman yang dinikmati cukup dibayar 700 Hryvnia saat membayar usai makan. Itu hanya sekitar Rp 350 ribu. Oh ya, saya sendiri lupa bertanya berapa harga makanan yang kami santap bersama. Tapi kita tentu sepakat, itu kurang layak ditanyakan, bukan? [ ]

Exit mobile version