Selepas karya-karya itu ia terima, Al-Ma’mun memerintahkan para ilmuwannya menerjemahkan karya-karya itu ke dalam bahasa Arab. Karena itulah Al-Ma’mun acap kali dipandang sebagai ‘Bapak Ilmu Pengetahuan’ dalam sejarah Islam.
JERNIH—“Hari ini sebaiknya aku blusukan ke desa-desa,” gumam Al Ma’mun bin Harun, pada suatu hari. Merasa perlu tahu langsung keadaan yang ia pimpin, Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid hari itu pergi ke sebuah desa di wilayah Kufah. Kota yang, menurut torehan sejarah Islam, kedua dibangun kaum Muslim setelah Bashrah.
Ketika penguasa ketujuh Dinasti Abasiyyah itu sedang menikmati indahnya suasana perdesaan yang sunyi dan jauh dari hiruk pikuk dan riuh kota Bagdad Darussalam, dia melihat seorang gadis cantic jelita sedang mengisi kantong air dari kulit (qirbah). Karena kantong itu terlalu besar bagi si gadis, dia pun meminta ayahnya untuk membantunya mengangkatkan kantong.
Mendengar kalimat runtut dan indah yang diucapkan gadis tersebut, Al Ma’mun memahami bahwa gadis itu adalah seorang perempuan yang terdidik baik. Al-Ma’mun segera mendekati gadis itu dan bertanya kepadanya,”Siapakah engkau? Kiranya Allah memberkahi dirimu.”
Gadis itu menyebutkan namanya. Dan selepas itu balik bertanya,” Kini, siapakah engkau?”
“Aku adalah anak keturunan Nabi Adam AS,” jawab Al-Ma’mun, sang khalifah.
“Memang benar, engkau adalah anak keturunan Nabi Adam AS, namun anak keturunan yang mana?” sergah gadis itu seraya menatap tajam wajah Al-Ma’mun.
“Yang terbaik di antara mereka,” kata Al-Ma’mun sekenanya.
“Tentu, engkau adalah orang Arab. Kalau begitu dari silsilah siapa?” gadis itu tetap mencecar Khalifah dengan pertanyaan.
“Yang terbaik di antara mereka,” kata Al-ma’mun seraya tersenyum.
“Oh, jika begitu engkau anak keturunan Mudhar. Kalau begitu, dari silsilah siapa?”
“Yang terbaik di antara mereka dari sisi keturunan mereka. Baik dari garis ayah maupun bundaku,” kata Al-Ma’mun yang mulai mengagumi wawasan gadis tersebut.
“Tentu engkau adalah anak keturunan Quraisy, dari silsilah siapa?”
“Yang terbaik di antara mereka. Aku adalah anak keturunan Quraisy yang paling dihormati dan disegani,” jawab Al-Ma’mun yang kian kagum kepada gadis tersebut.
“Oh, kalau begitu engkau dari kalangan Bani Hasyim!” seru gadis itu dengan sangat bersemangat.
“Ya, benar,” sahut Al-Ma’mun.
“Kalau begitu engkau dari kalangan Bani Hasyim yang mana?”
“Yang terbaik dan terhormat di antara mereka saat ini.”
Begitu mendengar jawaban Al-Ma’mun, gadis itu pun berseru,” Assalamu alaikum ya Amirul Mukminin…”
Usai berucap demikian, gadis itu memberikan penghormatan penuh takzim kepada Al-Ma’mun bin Harun Al-Rasyid. Al-Ma’mun, yang mengagumi kepandaian dan wawasan gadis itu, segera menikahinya. Dari pasangan ini kelak lahir Al-Abbas.
-Al Ma’mun dikenal sebagai pemimpin yang mencintai ilmu pengetahuan. Bukan hal yang luar biasa bila ia mengirimkan berbagai hadiah kepada Raja Roma, dengan permintaan agar Raja Roma mengiriminya buku-buk filsafat. Permintaan itu akhirnya terpenuhi, karena Raja Roma mengiriminya berbagai buku dari karya-karya Plato, Aristoteles, Galen, Euclides, Ptolomeus dan lain-lain.
Selepas karya-karya itu ia terima, Al-Ma’mun memerintahkan para ilmuwannya menerjemahkan karya-karya itu ke dalam bahasa Arab. Karena itulah Al-Ma’mun acap kali dipandang sebagai ‘Bapak Ilmu Pengetahuan’ dalam sejarah Islam.
Di samping itu, ia pun mendirikan lembaga ilmu pengetahuan “Bait Al-Hikmah”. [ ]
Dari “Islamic Golden Stories: Tanggung Jawab Pemimpin Islam”, Ahmad Rofi’ Usmani, Al-Bunyan, 2016, dengan perubahan seperlunya.