”Murshid, bukalah mata hatiku. Aku ingin mengalami Allah, tidak hanya membaca atau pun sekadar mendengar tentang Allah.”
JERNIH—Seorang pedagang yang kaya raya medatangi seorang sufi, dan berkata,”Murshid, bukalah mata hatiku. Aku ingin mengalami Allah, tidak hanya membaca atau pun sekadar mendengar tentang Allah.”
Sang guru tersenyum. “Banyak orang kemari, ada yang minta rejeki, ada yang meminta kenaikan pangkat. Kau ke sini untuk minta Tuhan. Mintalah sesuatu yang lain, Sahabat. Jangan minta Tuhan, jangan minta pengalaman yang itu.”
“Guru, aku sudah tidak butuh sesuatu apa pun. Beri aku pengalaman yang satu itu. Aku dengar hanya kaulah yang bisa memberikan pengalaman seperti itu,” kata Si Kaya, mendesak.
“Baiklah, sahabat. Tunggu sampai tengah malam nanti. Dan pengalaman yang kau butuhkan akan kau peroleh,” akhirnya Sang Guru pun menyerah karena kuatnya keinginan Si Pedagang kaya tersebut.
Si Pedagang kaya melihat jam. “Maaf, Guru. Ada masalah. Nanti malam saya sudah ada janji pertemuan dengan kepala negara, diundang makan bersama. Bisakah Guru memberikan pengalaman itu sekarang juga?”
Ia membuat sang Guru gusar. “Pergilah kau dari sini. Urusi kepala negara dulu. Urusi usahamu dulu. Urusi politikmu dulu. Nanti bila semua itu sudah selesai, datanglah lagi ke mari!”
Ego Si Pedagang terusik, ia terpukul. Ia pun meninggalkan tempat itu. Dua tahun kemudian dia datang kembali ke padepokan Sang Guru sufi, berkata,” Kali ini aku siap, Guru. Aku sudah sadar bahwa yang selama ini aku urusi semuanya fana—tidak ada yang baqa, tidak kekal. Tak ada yang abadi.”
Sang Guru memeluknya. “Nanti—tengah malam, temui aku di halaman belakang.”
Di halaman belakang, ada sumur-sumur terbuka. Persis tengah malam, Si Pedagang kaya datang ke tempat itu, menemukan Sang Guru sedang menunggunya.
“Lihatlah apa yang ada dalam sumur itu. Jangan bergerak, perhatikan terus.”
Si Pedagang membungkuk sedikit. Sementara ia sedang berupaya melihat sesuatu dalam kegelapan sumur di tengah malam itu, Sang Guru mengikat kakinya dengan tali dan tiba-tiba mendorong Si Pedagang ke dalam sumur. Si pedagang didorong masuk ke dalam sumur, dengan ujung tali masih dipegang Sang Guru.
Si Pedagang tak bisa berenang, dan itu rupanya diketahui Sang Guru. Ia mulai ketakutan, berteriak minta tolong. Tetapi Sang Guru membiarkannya berapa dalam sumur untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menariknya kembali ke atas, ke bibir sumur.
“Apa yang terpikirkan olehmu selama berada dalam sumur?” tanya Sang Guru.
“Apa lagi? Aku takut mati, tenggelam—tidak ada pikiran lain!” kata Si Pedagang, sambil menahan marah.
“Jadi tidak ada pikiran lain—hanya satu pikiran saja: takut mati. Temanku, Sahabatku, apabila kau memikirkan Tuhan dan hanya memikirkan Tuhan seperti kau memikirkan kematian tadi—tidak ada pikiran lain, kau pun akan mengalami Allah.” [ ]