Pasal 256 bukan merupakan delik terkait unjuk rasa, melainkan lebih merupakan delik terganggunya ketertiban umum.
JERNIH-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) telah resmi disahkan menjadi UU, pada Selasa (6/12/2022). Namun masih terdapat penolakan terhadap pasal-pasal dalam KUHP tersebut, di antaranya pasal 256 KUHP yang disebut sebagai pasal yang melarang aksi unjukrasa atau demonstrasi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra Habiburokhman memastikan jika KUHP yang baru tidak melarang aksi aksi unjuk rasa atau demonstrasi.
“Terkait isu larangan demo yang ada dalam di KUHP baru dan demo harus izin (memberitahu pihak berwenang) jika enggak izin akan ditangkap, itu tidak benar,” kata Habiburokhman menjelaskan.
Sebagaimana diketahui, Pasal 256 KUHP baru, mengatur tentang melakukan pawai, unjuk rasa, dan demonstrasi bisa terancam penjara 6 bulan atau denda Rp10 juta jika tidak memiliki izin (memberitahu pihak berwenang).
Pasal 256 KUHP tersebut berbunyi:
“Setiap Orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp10.000.000).”
Dijelaskan oleh legislator Gerindra dapil DKI Jakarta, bahwa yang diatur dalam pasal tersebut adalah soal pemberitahuan akan dilakukan aksi unjuk rasa kepada pihak berwajib dan kerusuhan yang ditimbulkan dari aksi unjuk rasa tersebut terutama jika tidak memberitahu pihak berwenang.
“Di pasal 256 diatur setiap orang tanpa pemberitahuan, pemberitahuan bukan izin, kepada yang berwenang mengadakan pawai, demonstrasi di jalan umum mengakibatkan terganggunya kepentingan umum dan huru hara dipidana enam bulan penjara,” jelas Habiburokhman lagi.
Menurut anggota komisi hukum itu, adalah wajar apabila ada massa aksi yang membuat keonaran sehingga berujung pada kerusuhan.”Nah wajar dong siapapun yang bikin huru hara pasti dipidana ,”.
“Jadi ada dua hal yang pertama, memang bukan izin yang diatur tapi hanya pemberitahuan. Kedua, baru bisa dipidana kalau mengakibatkan kerusuhan atau terjadinya huru hara,”.
Terkait tudingan bahwa pasal tersebut dianggap membungkam aspirasi dan kritik masyarakat, anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari, menjelaskan pasal 256 bukan merupakan delik terkait unjuk rasa, melainkan lebih merupakan delik terganggunya ketertiban umum.
“Pasal 256 bukan ditujukan semata unjuk rasa saja, tetapi justru pasal ini deliknya adalah delik terganggunya ketertiban umum, keonaran atau huru hara,”. (tvl)