Pada sebuah papan di atas pintu, gedung itu dibangun tahun 1249 AH/1829EC. Agak ganjil, karena sebenarnya tahun 1249 Hijrah itu sepadan dengan tahun Masehi 1833 atau 1834
JAKARTA—Telah begitu seharusnya bila masjid-masjid tua di Jakarta terletak di bagian utara kota modern, situs Batavia dulu. Sayangnya, kecuali barangkali Masjid Cilincing, tak ada yang tertinggal dari masjid-masjid tua yang dibangun abad ke-17.
Yang ada barangkali hanya masjid-masjid dari abad 18, salah satunya berada di Kampung Pekojan, di pojok Jalan Pekojan dan Pengukiran. Kampung tersebut, sebagaimana terlihat dari namanya, asalnya daerah permukiman orang Khoja, Muslim asal India, terutama orang Bengali. Seiring waktu orang-orang Hadramaut (Yaman) datang dan menetap. Kini merekalah yang mengurus masjid tersebut.
Masjid ini di selatan Jalan Pekojan, antara jalan itu dengan Kali Angke. Gedungnya bertingkat dua: tingkat bawah ditempati—menurut Jacques Dumarcay dan Henri Chambert-Loir yang menulis artikel untuk majalah Prancis, Archipel tahun 1985, empat keluarga yang berdagang di situ. Sementara tingkat atas menjadi masjid kecil atau langgar. Pada sebuah papan di atas pintu, gedung itu dibangun tahun 1249 AH/1829EC. Agak ganjil, karena sebenarnya tahun 1249 Hijrah itu sepadan dengan tahun Masehi 1833 atau 1834. Tak tahu mengapa tertulis begitu.
Sebuah tanggal lain tertulis pada prasasti yang terukir di bagian atas mimbar. Mimbar itu sebuah bangunan kayu yang indah berukir halus, dengan tertutup cat lak Palembang. Prasasti berbahasa Arab yang tercungkil di atasnya berisikan permohonan kepada Allah atas Syeikh Sa’id bin Salim Na’um, yang pernah menghadiahkan mimbarnya pada bulan Rajab 1275 (Februari 1859).
Nama Sa’id Na’um masih banyak diingat penduduk. Sa’id bertugas mengelola harta waris seorang saudagar kaya raya Arab asal Palembang, yakni Syarifah Mas’ad Babrik Ba’alwi. Nyonya itu mewakafkan dua petak tanah di Batavia, satu di Tanah Abang tempat dibukanya pemakaman Islam, satunya di Pekojan, tempat dibangunnya Langgar Tinggi tersebut. Makam Nyonya Arab yang murah hati itu kini tampaknya terletak di luar Masjid An Nawir, berupa makam bercungkup yang telah dipugar dan yang nisannya berupa batu asli tak bertulis.
Ada keterangan sejarah tentang Langgar Tinggi dalam buku LWC van den Berg, ‘Le Hadramout et les Colonies arabes de l’Archipel Indien’ (Hadramaut dan Masyarakat Arab di Kepulauan Hindia, yang terbit di Batavia tahun 1886. Keterangannya menarik, karena membenarkan bahwa langar itu dibangun komunitas Arab, dan bahwa tingkat bawahnya asalnya ditujukan buat pengajian. Van den Berg menjelaskan, bahwa orang Arab di Batavia yang jumlahnya sedikit sebelum 1844, berdiam di ‘daerah orang Bengali’, yitu Pekojan, dan akhirnya justru menjadi jauh lebih banyak.
“…Bangunan itu dinamakan langgar dan berupa wakaf dengan modal yang cukup besar. Namun shalat Jumat tidak dilaksanakan di situ, untuk itu para jamaah Arab pergi ke masjid pribumi yang lebih besar di kampung itu. Selain langar di atas, terdapat sebuah masjid Arab lain di daerah itu, lebih kecil, disebut Zawiah.”
Menurut pengamatan Dumarcay dan Chambert-Loir, dalam arsitektur Langgar Tinggi terlihat sumber yang aneka ragam: neo-klasik untuk pilar-pilarnya, rupanya dengan merujuk langsung kitab arsitektur dibuat dengan gaya Toscan anjung masuk, kasau tengah pada kuda-kuda kerangka atap bersumber dari gaya Eropa, penyangga luar yang menyandarkan rangka balok-balok luar berasal dari Cina, tetapi balok-balok rangka payung di sudut-sudut jelas asli Jawa, sebagaimana juga usuk penerus di sisi barat.
Ini, kata Chambert- Loir, tampaknya tak sengaja dipilih oleh arsiteknya. Dia mungkin mmberikan petunjuk yang agak kasar kepada tukang bangunan, yang sedikit banyak tahu berbagai gaya, namun urang menguasai bentuk bingkai mahkota. Namun, masih kata Chambert-Loir, justru mungkin karena kesalahan-kesalahan kecil itu maka gedung itu jadi menarik. Lalu ia pun mempekerjakan tukang kayu yang tidak mampu mengindahkan denah rancangan dan menyesuaikan pekerjaannya pada arsitektur yang ada. Dengan adanya empat bidang atap, hilanglah seluruh orisinalitas bangunan itu.
Pendampingan berbagai unsur Eropa dan Cina di atas dasar Jawa asli yang telah menyerapkan sebuah unsur India merupakan tanda khas arsitektur Jawa abad ke-19. Campurang gaya ini tak hanya ditmukan di Jakarta, namun juga Cirebon dan Pasuruan. [ ]