JAKARTA— Usai maghrib kemarin, karena minta makan dengan lele goreng dan dia memaksa ikut, si bungsu Ghiffar terpaksa saya bawa menembus gerimis. Dalam usianya yang baru 5 tahun, ia tampak takjub manakala lampu-lampu di tenda warung si Mas Lamongan langganan saya penuh dikerubungi serangga.
“Apa itu, Tuan Onta?” tanya dia. Sudah lebih dari tiga bulan ini ia memanggil saya dengan sebutan tersebut, sebagaimana sebutan ‘Miu-miu’ untuk mamanya. Saya mengerti darimana ia memperoleh sebutan ‘Kiki’ buat dirinya dan ‘Miu-miu’ buat mamanya. Tapi ‘Tuan Onta’? Tak pernah bisa saya lacak!
“Laron, Nak,” jawab saya. “Asalnya dari rayap. Mereka keluar bila sarang tempat mereka hidup lembab karena hujan. Terbang mencari sumber cahaya, sekalian untuk menghangatkan diri.”
Sebagaimana kepada kakak-kakaknya, kepada Ghiffar saya terbiasa bicara apa adanya. Bahkan sejak ia masih bayi. Saya selalu percaya bahwa anak, sekecil apa pun, memiliki intelejensia yang melebihi apa yang kita perkirakan. Saya percaya, mereka merekam kata dan kalimat apa pun yang didengar. Mungkin saat mendengar pertama kali mereka tak mengerti, tapi saya yakin, seiring waktu ‘rekaman’ itu akan dipahami sendiri.
Sambil menunggu pesanan dan menyaksikan Ghiffar masih terpukau melihat laron berkerumun di lampu warung, atau terbang merubung lampu jalan yang tinggi, saya teringat masa kecil. Saya punya banyak cerita terkait laron.
Sejak kecil saya seorang pemakan laron. Satu-satunya dalam keluarga. Ibu saya yang gampang jijik, tentu tidak. Bapak, meski memiliki latar belakang yang lebih kuat untuk lebih ‘kampungan’ dibanding Ibu, juga tidak. Beliau mah orang kampung yang gaya dan dandan. Apalagi Budiman, adik kembar saya yang makanannya pilih-pilih.
Kebiasaan makan laron itu di kampung saya—entah yang di Cibasale -Majalengka Kulon, atau Lapangsari dan Kampung Putat di Kadipaten karena kampung saya saat kanak-kanak banyak, wajar bin lumrah. Biasanya bila musim hujan sekaligus musim laron tiba, kami anak-anak usia SD sepulang mengaji bada maghrib langsung ke rumah mengambil tampir atau niru bambu ukuran besar. Setidaknya niru-lah, kalau pun bukan tampir. Setelah membasahinya dengan air, di bawah lampu penerangan jalan yang sebenarnya redup untuk ukuran sekarang—karena hanya berdaya 110 volt aliran dari pabrik gula, dengan niru dan tampir kami berburu laron.
Orang-orang kaya di kampung—yang punya lampu petromaks, tak perlu mendatangi lampu penerangan jalan. Cukup menaruh baskom berisi air di bawah petromaks mereka. Laron akan datang, jatuh ke baskom begitu saja.
Laron-laron yang tertangkap dan sayapnya melekat di niru basah itu kami ambil, dikumpulkan di baskom yang sudah diisi air. Bila jumlah laronnya banyak, kadang waktu Isya pun kami biarkan lewat. Baskom yang sudah penuh dengan laron itu kami bawa ke rumah masing-masing, dibiarkan untuk di’masak’ buat lauk pagi hari.
Untuk menyingkirkan sayap laron, banyak cara bisa dilakukan. Kadang dibiarkan dalam air semalaman pun banyak laron yang menggugurkan sayap. Bisa juga dengan membersihkannya satu persatu yang tentu makan waktu. Ada juga yang menyangrai—menggoreng tanpa minyak, lalu ditampi di niru laiknya menampi beras.
Laron yang telah kehilangan sayap sudah bisa dimasak sesuai selera. Ada yang diberi bumbu gula Jawa dan asam Jawa, tinggal digoreng begitu saja. Ada pula yang menjadikannya rempeyek laiknya rempeyek kacang. Tak jarang pula yang merasa lebih sedap bila dipepes. Saya? Cukup digoreng sendiri diam-diam agar tak disemprot Ibu, sayapnya saya bersihkan sambil sekalian makan.
Tapi makan laron yang sangat membekas di kepala saya, seolah terpahat di satu lokus otak, adalah waktu kemping kelas satu SMP. Kalau tak salah perkemahan Jumat-Sabtu-Minggu (Perjusami) itu diadakan di lapangan Kira Pandak, Kecamatan Panyingkiran saat ini. Dulu sebelum dimekarkan, masih masuk wilayah Kecamatan Kadipaten.
Saya masuk dalam kepanitiaan, meski panitia didominasi anak-anak kelas dua yang memang masanya jadi pengurus OSIS. Jadi ketua seksi penerangan sebagaimana saya minta. Sempat kakak pembina, almarhum Pak Arifin waktu itu, keberatan saya menempati ketua seksi tersebut.
“Jangan Asep, yang lain yang lebih besar badannya,” kata Kak Arifin, membuat saya heran. Apa urusannya dengan badan besar? Dulu, waktu kelas 1 SMP badan saya tergolong kecil. Saya telat ‘beger’ alias lambat mengalami pubertas. Suara saya baru ‘ngomboan’ itu kira-kira kelas 3 SMP!
Karena saya memaksa, jadilah saya ketua seksi penerangan. Setelah jadi ketua seksi penerangan itulah saya tahu mengapa di bidang itu memang lebih baik diisi anak-anak berbadan gede. Soalnya, tugas pokoknya tak lain dari memompa lampu-lampu petromaks yang ada di depan-belakang setiap tenda! Jadi ‘penerangan’ itu bukan memberikan pengumuman, arahan atau publikasi. Ini benar-benar bertugas menjaga lampu penerangan agar tak padam nyaris sepanjang malam!
Nah, karena selama dua malam itu nyaris selalu gerimis, ‘Menteri Penerangan’ pun sangat sibuk. Benar saya yang kecil tak banyak ikut memompa, tapi gerimis membuat putaran keliling kami memeriksa menjadi lebih kerap.
Satu-satunya hiburan agar tak terlalu kecewa, senyampang menemani anak buah memompa itu saya mengambil satu demi satu laron yang ada di sekitar lampu. Saya pegang kedua sayapnya. Tak usah dibakar masuk tabung kaca petromaks. Cukup mendekatkannya ke tabung yang panas, atau menempelkannya ke bagian atas lampu yang terbuat dari logam. Panas dengan segera mematangkan laron.
Bila bau harum—setidaknya buat hidung saya dan teman-teman saat itu, telah tercium, tinggal memakannya sebagai kudapan. Dengan cara itu, tak hanya urusan memompa menjadi lebih ringan karena banyak yang tertarik bergabung, tapi setidaknya ada snack malam yang kami nikmati. Daripada mulut kering tanpa kemasukan sama sekali! [ ]