Wabah saat ini, katanya, menyeru Larry Kramer—dirinya, untuk dengan marah melawan penyakit, melawan kegagalan pemerintah, melawan ketidakadilan dalam kematian
Larry Kramer, aktivis AIDS yang menjadi nabi untuk wabah mengerikan itu, sekarang menulis drama di era Covid-19. Bisa jadi, itu karya terakhir yang ia tulis.
“Ini tentang seorang gay yang harus hidup melalui tiga wabah,” kata Kramer, Selasa (24/3) lalu dari apartemennya di Greenwich Village, tempat yang kini membuatnya terisolasi di tengah wabah baru. “Aku ingin tahu apakah ini akan segera berakhir.”
Tiga malapetaka itu adalah HIV/AIDS, Covid-19 dan penurunan fungsi tubuh manusia–khususnya patah kaki yang dialami Kramer, 84, April lalu, ketika ia jatuh di apartemennya dan hanya mampu terbaring di lantai sampai pelayan rumahnya tiba berjam-jam kemudian.
Kramer, yang telah mengalami beberapa ‘perjumpaan’ dengan maut sejak menerima diagnosis HIV pada tahun 1988, hari ini memiliki gema yang sama menghantuinya dengan epidemi AIDS. Bayang-bayang kelam yang ia rasa tidak pernah berakhir.
“Pemerintah sangat buruk dalam kedua kasus itu,” katanya, suaranya lebih lembut dari dulu, tetapi amarahnya tidak berkurang. “Mereka melakukan hal yang buruk dengan AIDS, dan mereka pun sama buruknya dalam wabah saat ini. Orang-orang kuatir, cemas dan bertanya-tanya, apa yang akan terjadi pada kita.”
Seperti dalam epidemi AIDS, Dr. Anthony Fauci, direktur National Institute of Allergy and Infectious Diseases, adalah perlengkapan tetap untuk berita malam. Manakala mengulas AIDS, selalu saja stasiun berita akan meminta tanggapan Dr Fauci. Kedua pria ini memiliki sejarah yang rumit. Pada 1980-an, Kramer menyalahkan Dr. Fauci atas respons lambat pemerintah federal terhadap AIDS, menyebutnya sebagai pembunuh dan “idiot yang tidak kompeten.”
Tetapi permusuhan itu justru mengembangkan persahabatan yang penuh dendam, dan Dr. Fauci membantu memasukkan Kramer ke dalam percobaan obat-obatan (AIDS) yang menyelamatkan nyawanya, setelah Kramer melakukan transplantasi hati.
“Kami berteman lagi,” kata Kramer dalam email. “Aku menyesal atas perlakuannya. Saya mengirimi dia email ini tetapi jawaban satu barisnya adalah, “Tiarap”.
Seperti halnya AIDS, pertemuan antar-pribadi pun berpotensi mendatangkan kematian, sementara berita-berita yang muncul ibarat tetes-tetes pengumuman tentang kematian yang kian rutin atau diagnosis terpapar: penulis drama Terrence McNally, yang oleh Kramer disebut tetangga dan teman dekat, meninggal pada usia 81; peneliti AIDS Dr. Michael Saag, yang didiagnosis pada usia 64 tahun dalam perjalanan pulang dari konferensi medis tentang retrovirus dan infeksi oportunistik, dinyatakan sakit.
“Sudah begitu lama bahwa saya kehilangan teman-teman, sehingga semua menjadi lebih dari kenyataan,” kata Kramer. Dia merasa pengalamannya selama wabah AIDS tidak memberinya perspektif tentang pandemi coronavirus, katanya. Sebaliknya, ia merasa kedua era itu saling menyatu.
“Tentu saja kami memiliki pengalaman kami sendiri,” katanya tentang generasi aktivis AIDS, generasinya. “Tetapi saya merasa sangat sulit untuk tetap berhubungan dengan dunia luar, karena kesulitan yang harus kita semua lalui. Anda dapat membaca pengalaman orang lain di Facebook, tetapi setelah itu semua terasa menyedihkan. “
Bagi Kramer, yang sebagian besar tinggal di rumah, tantangan pandemi adalah isolasi. ‘Suaminya’—mereka pasangan sesama jenis, David Webster, yang dinikahinya pada tahun 2013 di unit perawatan intensif NYU Langone Medical Center, bekerja pada sebuah proyek, yang mungkin dsaja membawa paparan ke rumah. Beberapa pembantu rumah tangganya juga berhenti datang karena kuatir paparan penyakit.
Jadi dirinya telah siap untuk kehilangan dalam drama barunya, “An Army of Lovers Must Not Die,” yang dia harus ubah hampir setiap hari seiring bergantinya berita. “Saya ingin tahu apakah itu akan selesai sekarang,” katanya tentang drama itu.
Tetapi Kramer, di luar semua ucapan buruknya, telah berulang kali mengalahkan peluangnya untuk mati. Ia bertahan untuk menyelesaikan novel epik dua bagiannya, “American People,” volume kedua dengan 880 halaman, yang akan segera terbit. “Ini buku yang bagus untuk Anda baca ketika macet berjam-jam,” katanya.
Kramer sebagai sosok besar yang menjengkelkan selama krisis AIDS, dan pada saat ini tampaknya masih melihat dirinya dalam peran yang menggelegar itu. Kematian adalah serum kebenarannya. “Tunjukkanlah wabah padaku,” tulisnya dalam volume salah satu eposnya, “aku akan menunjukkan dunia kepadamu !”
Wabah saat ini, katanya, menyeru Larry Kramer—dirinya, untuk dengan marah melawan penyakit, melawan kegagalan pemerintah, melawan ketidakadilan dalam kematian. “Aku berharap bisa,” katanya. “Aku tidak tahu caranya. A,u ingin (itu) jadi sebuah gerakan besar, tapi aku tidak yakin bagaimana melakukannya.” [John Leland/The New York Times]