CIREBON – Benda sejarah peninggalan Kerajaan Pajajaran termasuk minim ditemukan di tatar sunda. Apalagi bila artefak tersebut berbahan kayu yang mudah hancur. Namun di halaman komplek pemakaman Gunung Sembung tersimpan balai kayu tinggalan Pajajaran yang dinamakan Mande Pajajaran atau disebut juga Mande Jajar. Bale tersebut berdasarkan sengakalan di salah satu tiang sakanya berbunyi Tunggal Boya hawarna Tunggal yang dapat ditafsirkan tahun 1401 saka (1479 M).
Menurut Ki Kartani, Sejarawan Cirebon, Mande Pajajaran dibuat khusus oleh Kerajaan Pajajaran atas perintah Prabu Jayadewata atau mashyur dikenal Prabu Siliwangi sebagai tanda keprabon pada peristiwa pelantikan Pangeran Cakrabuana yang diangkat menjadi tumenggung setelah Pakuwuan Caruban Larang berkembang pesat.
Mande Pajajaran tersebut berukuran 9.80 x 9.80 m. Tingginya 6.80 m, dengan tihang berjumlah 6 buah. Tihang atas dan bawahnya diukir dengan pola hias kembang persegi dan motif tumbuhan. Motif ukiran ini juga menjadi salah satu bukti ragam hias peninggalan pajajaran yang masih bisa dilihat sampai saat ini.
Mande Pajajaran ditempatkan di Amparan Jati yang sudah berdiri ada sejak 1400 saka berdasarkan sengkalan sirna tanana warna tunggal atau 1478 M. Keberadaan Bale Pajajaran ini selain menjadi bukti sejarah tinggalan Kerajaan Pajajaran di Cirebon juga memberi gambaraan majunya tekhnik ukir kayu di masa Pajajaran.
Hal tersebut sesuai dengan kabar yang disampaikan Tome Pires yang menyebutkan bahwa ibu kota sunda itu penuh dengan rumah-rumah yang kokoh dari daun rumbia dan kayu serta Keraton mempunyai 330 tiang dari kayu yang tebalnya seperti drum anggur dengan dengan tinggi lima fadem serta di bagian puncaknya diukir indah.
Menurut Doddie Yulianto, filolog Cirebon, Mande Jajar ini unik karena bentuk atapnya tumpang sari terbalik. Biasanya atap tumpang sari memiliki susunan yang semakin mengecil pada kemuncaknya, seperti pada bentuk joglo. Sedangkan di Mande Pajajaran justru terbalik. Bagian atasnya lebih lebar dari bagian bawah. Seperti teratai mekar yang terbalik.
“Dari sumber lisan di Trusmi bahwa Mande Jajar juga digunakan sebagai panggung pertunjukan Wayang Kulit yang pertama kali diselenggarakan di Cirebon. Dalangnya adalah Sunan Kalijaga. Para penonton kehormatan duduk di Mande Mangu atau Mande Majapahit yang merupakan hadiah dari Sultan Demak yaitu Raden Patah (1478-1518) setelah Cirebon menjdi negara yg mandiri tahun 1482 M.” Papar Doddie.
Sejarah Mande Pajajaran ini tidak bisa dilepaskan dari kawasan yang bernama Caruban Larang. Awalnya Caruban Larang hanya kabuyutan kecil dengan Ki Buyut sebagai gelar pemimpinnya. sebuah kabuyutan ditentukan oleh jumlah cacah, jika somahnya semakin bertambah maka kabuyutannya juga bertambah.
Maka setelah kabuyutan meningkat kawasan tersebut berubah menjadi padukuhan yang dipimpin oleh seorang bergelar bergelar Ki Gedheng yang membawahi beberapa kabuyutan. Ketika jumlah padukuhan semakin banyak maka akan menjadi pakuwan yang dipimpin oleh Ki Kuwu.
Pemimpin pertama pakuwuan Cirebon Larang adalah Ki Gedeng Alang-Alang atau Ki Danusela. Dialah somah pertama yang tinggal di Tegal Alang-alang yang kemudian berkembang pesat setelah kedatangan Pangeran Wanlangsungsang, Indang Geulis dan Rara Santang. Kawasan sepi itu berkembang menjadi setingkat Pakuwuan.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang meninggal maka dilaksanakan proses uwi-uwian (pemilihan) oleh warga pakuwuan. Maka terpilihlah walangsungsang sebagai Kuwu Cirebon Larang dengan gelar Cakrabuana. Bahkan tokoh ini yang pertama kali menerapkan sistem pemilihan pemimpin secara langsung tanah Sunda.
Jabatan pengurus pakuwuan yang dibangun berdasarkan pola Pajajaran adalah buyut, kuwu, kliwon (wakil Ki Kuwu), carik, raksabumi, lelugu desa mayor (selaku pembantu raksabumi), bahu (selaku pembantu umum), capgawe (pembantu lelugu desa), bekel, lebe dan kemit.
Dua tahun setelah desa tersebut dibangun, penduduknya meningkat menjadi 346 orang, yang terdiri atas 182 pria dan 164 wanita. Pada saat itu pula Pangeran Cakrabuana membangun Tajug (mushollah) di tepi pantai yang diberi nama Jalagrahan. Jlagrahan ini adalah tajug kedua yang dibangun setelah Ki Gedeng Tapa juga membangun Jlagrahan di Singapura.
Pangeran Cakrabuana mengembangkan Caruban Larang dengan sungguh-sungguh, kedudukannya sebagai pewaris kerajaan Singapura sepeninggal kakeknya yaitu Ki Gedeng Tapa tidak diambilnya, namun dari warisan harta kekayaan dan usahanya sebagai saudagar dan pencari udang, Pangeran Cakrabuana membangun Cirebon Larang dengan sistem pemerintahan yang tertib.
Pangeran Cakrabuana membangun Istana Pakungwati, membentuk angkatan perang, termasuk membangun ekonomi kerakyatan seperti mengembangkan industri gerabah di Sitiwinangun yang produknya diarahkan dalam nilai-nilai islam.
Di Desa Junti Kebon, Pangeran Cakrabuana juga melatih masyarakatnya dalam hal kerajinan tenun dari bahan serat gebang yang biasanya hanya digunakan untuk membuat jaring, sudukuyem dll. Tenunan berbahan gebang ini sebagai media untuk membuat waring dan baju.
Komoditi utama Caruban Larang yang terkenal sampai ke Pajajarana adalah Beras tuton, garam, dan terasi. Ketika jaman Ki Gedeng Alang-alang menjadi kuwu pertama, beberapa pejabat Galuh yang diutus untuk meninjau Caruban Larang sangat terkesan dengan kelezatan trasi produk Cirebon Larang.
Saat itu, Cirebon Larang berada dibawah pengawasan Kerajaan Galuh yang menginduk ke Pajajaran. Raja yang berkuasa di Galuh adalah Prabu Jayaningrat, putra Prabu Ningratwangi (adik Jayadewata). Jayaningrat melanjutkan kekuasaan ayahnya didampingi Arya Kiban sebagai patih merangkap penguasa Rajagaluh.
Prabu Siliwangi sebagai ayahanda dari Pangeran Cakrabuana begitu terkesan yang mendengar Cirebon Larang semakin maju pesat dibawah pimpinan putranya. Wilayah pajajaran di pesisir Cirebon yang awalnya terserak dalam kerajaan-kerajaan kecil seperti Wanagiri, Surantaka dan Singapura dapat dipersatukan dibawah satu kepemimpinan Cakrabuana.
Loyalitas dan pengabdian Pangeran Cakrabuan terhadap Pajajaran sebagai induk kerajaan tetap terjaga. Cirebon tetap mengirim Bulu Bekti (upeti) berupa garam dan terasi. Maka Prabu Siliwangi akhirnya mengutus Tumenggung Jayabaya yang didampingi empat puluh orang pengawalnya membawa tandha keprabon dari pajajaran kepada Pangeran Cakrabuana.
Tandha Keprabon tersebut berisi keputusan Raja Pajajaran yang merubah status Caruban Larang dari sebuah Pakuwan menjadi Ketumenggungan. Atas dasar itu Pangeran Cakrabuana dinaikkan statusnya dari seorang kuwu menjadi tumenggung dengan gelar Tumenggung Sri Mangana.
Peristiwa pengangkatan Pangeran Cakrabuana menjadi tumenggung dituliskan dalam Naskah Purwa Caruban Nagari dengan bunyi kalimat : Raja Sunda manungsung suka riniking krama, matangnya Pangeran Cakrabuana, kinanaken ka twangga dumadi tumenggung Carbon, sang prabhu motus tumenggung jagabaya lawan kawula bulanira, nikang duta sang prabhu amawa patanda kaprabon lawan anarikmana kacakrawartyan mandala, Pangeran Cakrabuana Sinungan Pasenggahan Sri Mangana.‛
Menurut Buku Kerajaan Cirebon (Didin Nurul Rosidin dkk) yang mengutip makalah Ki Kartani menyebutkanTandha Keprabon yang diberikan Maharaja Sunda dalam pelantikan terdiri dari Mandhe jajar atau bale pajajaran, Keris, Lampit (tikar yang terbuat dari anyaman pandan atau rotan), Kandaga (kotak tempat menyimpan arsip), Songsong (payung kebesaran).
Peristiwa pelantikan itu merupakan yang pertama dilakukan di Caruban Larang. Sebelumnya, pengangkatan kuwu tidak pernah ada. Upacara pelantikan dengan penyematan Tandha Keprabon atau Gegelan Tandha Keprabon yang dilakukan terhadap Pangeran Cakrabuana sebagai Tumenggung Carbon (Caruban Larang) dijadikan dasar dari tradisi pelantikan para kuwu yang berada di bawah kekuasaanTumenggung Carbon.
Didin Nurul Rosidin menuliskan kuwu-kuwu yang dilantik oleh Pangeran Cakrabuana diharuskan membangun bale mangu(bangunan untuk menyambut para pembesar Carbon berbentuk lunjuk), baleraman (bangunan untuk melakukan upacara selamatan atau menerima sesepuh desa), bale desa(bangunan untuk menjalankan pemerintahan desa), dan bale lebu yaitu bangunan untuk mengurusi urusan-urusan khusus.
Pangeran Cakrabuana menjadi kuwu Cirebon selama 32 tahun (1447-1479 M). Tahun 1479 merupakan pelantikan Cakrabuana menjadi Tumenggung Cirebon Larang bergelar Sri Mangana. Ditahun yang sama, Cakrabuana juga melantik Syeikh Syarif Hidayatullah sebagai tumenggung bergelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah.
Pada tahun 1482 M, Syarif Hidayatulah menyatakan berdirinya Kesultanan Cirebon yang lepas merdeka dari kekuasaan Pajajaran. Di tahun yang sama Prabu Jayadewata resmi diangkat sebagai penguasa Pajajaran tahun 1482 dan berkuasa sampai 1521.
Berarti saat Mande Jajar itu dikirim, Kedudukan Jayadewata belum menjadi Raja di Pajajaran. Karena Prabu Susuk Tunggal sebagai penguasa Kerajaan Sunda dan Prabu Dewaniskala sebagai penguasa Kerajaan Galuh baru bisa menyerahkan takhtanya kepada Jayadewata tahun 1482 M.
Saat Syarif Hidayatullah diangkat sebagai tumenggung oleh Pangeran Cakrabuana, Prabu Jayadewata masih sebagai putra mahkota di Galuh dan Prabu Anom di Pakuan yang diberi mandat oleh mertuanya maupun oleh ayahnya untuk menjalankan roda pemerintahan.