Dari sebuah kota kecil di Jawa Timur, dari perusahaan berskala kecil, Marsinah melawan kekuatan korporasi. Nyawanya hilang 32 tahun silam. Marsinah mewakili rakyat buruh yang ditindas sebagai Pahlawan Nasional.
JERNIH – Marsinah (lahir 10 April 1969 – wafat 8 Mei 1993) adalah nama yang tak terpisahkan dari sejarah gerakan buruh dan penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Kisah hidupnya, yang berakhir tragis di tengah perjuangan menuntut upah layak, telah menjadikannya simbol perlawanan terhadap penindasan otoriter pada era Orde Baru.
Kasus yang menimpa Marsinah, buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, berawal dari perjuangannya untuk menuntut hak-hak normatif pekerja.
Pada awal tahun 1993, Gubernur Jawa Timur Soelarso mengeluarkan surat edaran yang mengimbau kenaikan gaji pokok sebesar 20%. Namun, PT CPS memilih untuk tidak menaikkan gaji pokok dan hanya memberikan tunjangan. Tentu saja hal ini dinilai merugikan buruh.
Hal itu membuat kaum buruh meradang dan mulai melakukan berbagai pertemuan. Pada 2 Mei 1993, Marsinah, sebagai salah satu pengurus Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) tingkat perusahaan yang aktif, terlibat dalam rapat perencanaan unjuk rasa.
Keesokan harinya, ribuan buruh PT CPS melakukan aksi mogok kerja massal untuk menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari, serta memperjuangkan tunjangan tetap sebesar Rp550. Aksi ini tidak ujung menemukan jalan keluar, bahkan para buruh mengalami represi.

Pada 4 Mei 1993 unjuk rasa berlanjut dengan para buruh mengajukan 12 tuntutan. Ke-12 tuntutan itu meliputi;
- Kenaikan Upah Sesuai Aturan:
Tuntutan kenaikan upah pokok sesuai dengan Surat Edaran Gubernur Jawa Timur No. 50 Tahun 1992 tentang Upah Minimum Regional (UMR), yaitu dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari.
- Upah Lembur:
Permintaan agar perusahaan membayarkan upah lembur sesuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 72 Tahun 1984.
- Tunjangan Tetap dan Absensi:
Perjuangan agar tunjangan tetap sebesar Rp550 per hari dapat diterima, termasuk oleh buruh yang absen (tidak masuk kerja) karena alasan tertentu (misalnya sakit).
- Cuti Haid:
Penyesuaian dan pembayaran cuti haid sesuai dengan upah minimum yang berlaku.
- Cuti Hamil:
Pembayaran penuh untuk hak cuti hamil bagi buruh perempuan.
- Jaminan Kesehatan (Jamsostek):
Permintaan agar jaminan kesehatan buruh dipenuhi sesuai dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).
- Asuransi Tenaga Kerja (Astek):
Penyertaan buruh dalam program Asuransi Tenaga Kerja (Astek).
- Tunjangan Hari Raya (THR):
Pemberian THR sebesar satu bulan gaji (sesuai imbauan pemerintah).
- Uang Makan dan Transport:
Kenaikan uang makan dan uang transport harian.
- Kesamaan Upah:
Penyamaan upah bagi buruh yang baru selesai masa pelatihan (training) dengan buruh yang telah bekerja selama setahun.
- Larangan Pencabutan Hak:
Hak-hak buruh yang sudah ada tidak boleh dicabut oleh perusahaan, melainkan hanya boleh ditambah atau ditingkatkan.
- Larangan Intimidasi Pasca-Mogok:
Permintaan agar setelah pemogokan, pengusaha dilarang mengadakan mutasi, intimidasi, melakukan pemecatan (PHK), atau menekan buruh yang terlibat dalam aksi unjuk rasa tersebut.
Pada hari yang sama, pihak Komando Rayon Militer (Koramil) setempat diduga kuat melakukan intervensi dan intimidasi di pabrik. Intimidasi aparat semakin memuncak setelah unjuk rasa.
Situasi terus memanas. Keesokan harinya 5 Mei 1993 pag sebanyak 13 buruh, termasuk pengurus serikat, dipanggil ke Komando Distrik Militer (Kodim) 0816 Sidoarjo dan dipaksa untuk menandatangani surat pengunduran diri dengan iming-iming pesangon, dituduh terlibat rapat gelap dan PKI/Komunis. Upaya represif yang sering jadi modus di era Orde Baru. Sebenarnya Marsinah tidak termasuk di dalamnya. Namun dilandasi oleh kepedulian sesama buruh, Marsinah lalu mendatangi Kodim untuk menuntut klarifikasi dan pertanggungjawaban atas intimidasi serta pemaksaan pengunduran diri rekan-rekannya.
Naas menyelimut Marsinah. Sore hari itu ia masih terlihat di Kodim. Pertemuan yang tak selesai itu berlanjut hingga malam. Marsinah terakhir kali terlihat setelah pertemuan di Kodim dan berkunjung ke rumah temannya, kemudian menghilang tanpa jejak sekitar pukul 22.00 WIB.
Pada 6-7 Mei, Marsinah benar-benar tak muncul sosoknya. Baru pada 8 Mei 1993 jasad Marsinah ditemukan oleh anak-anak dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk di Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur, sekitar 200 km dari tempat kerjanya di Sidoarjo.
Hasil visum otopsi pada jasad Marsinah ditemukan dengan tanda-tanda penyiksaan berat dan kekerasan seksual. Terdapat banyak luka memar, patah tulang, dan kerusakan organ dalam, menunjukkan Marsinah tewas akibat penganiayaan fatal.
Kasus ini menjadi salah satu skandal hukum paling kelam di Indonesia, ditandai dengan dugaan kuat rekayasa dan intervensi militer.
Penyidikan diarahkan kepada pihak perusahaan. Aparat menahan sembilan orang, termasuk Direktur Utama PT CPS, Judi Susanto, dan beberapa staf perusahaan lainnya.
Selama proses pemeriksaan di Denintel, para tersangka mengaku disekap, diintimidasi, dan disiksa selama berhari-hari oleh penyidik (yang diduga melibatkan aparat militer) agar mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan.
Judi Susanto divonis 17 tahun penjara di tingkat Pengadilan Negeri, sementara tersangka lain juga mendapat vonis hukuman. Proses kasasi yang dilakukan terdakwa malah memberikan hal istimewa. Seluruh terpidana, termasuk Judi Susanto, dibebaskan dari segala dakwaan oleh Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1999 setelah terbukti bahwa pengakuan mereka diperoleh di bawah tekanan dan penyiksaan, serta bukti-bukti yang digunakan sangat lemah.
Hingga saat ini, pelaku pembunuhan Marsinah yang sebenarnya tetap tidak pernah ditangkap dan diadili, menjadikan kasus ini sebagai kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas di Indonesia.
Perjuangan Marsinah dalam melawan otoritarianisme perusahaan dan aparat militer demi upah layak diakui secara luas oleh aktivis dan organisasi HAM. Marsinah dianugerahi Penghargaan Yap Thiam Hien pada tahun 1993 sebagai pengakuan atas perjuangannya dalam membela HAM.
Marsinah resmi dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Republik Indonesia oleh Presiden pada tanggal 10 November 2025, bertepatan dengan Hari Pahlawan. Gelar ini diberikan atas jasa-jasanya di bidang Perjuangan Sosial dan Kemanusiaan, menjadikannya simbol keberanian bagi kaum pekerja.
Marsinah adalah contoh bahwa kepahlawanan bukan hanya milik mereka yang mengangkat senjata, tetapi juga mereka yang berani mengangkat suara di tengah rezim yang menindas.
Di kalangan buruh, Marsinah adalah semangat. Ada beberapa nama di kalangan buruh yang memiliki jasa besar dalam konteks perjuangan buruh dan kelas pekerja di Indonesia.
Muchtar Pakpahan misalnya. Meskipun belum menerima gelar Pahlawan Nasional secara resmi dari negara (seperti Marsinah), nama Muchtar Pakpahan sering disebut sebagai “Pahlawan Buruh Nasional” oleh serikat pekerja dan aktivis karena perannya sebagai pendiri Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dan perjuangannya melawan rezim Orde Baru yang berpihak pada buruh. Ia merupakan figur sentral dalam gerakan buruh pasca-Marsinah.
Ada pula Jacob Nuwa Wea figur yang juga dihormati di kalangan buruh. Ia menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) pada era Presiden Megawati Soekarnoputri dan dianggap banyak berjasa dalam memperjuangkan hak-hak buruh melalui kebijakan publik.
Terakhir adalah Thamrin Mosii tokoh yang juga diberi gelar “Pahlawan Buruh Nasional” oleh serikat pekerja, bersama Marsinah dan Muchtar Pakpahan, atas dedikasinya pada perjuangan buruh.
Marsinah menjadi Pahlawan Nasional resmi pertama yang diangkat karena perjuangan konkretnya sebagai buruh perempuan melawan ketidakadilan, menjadikannya ikon tunggal dari perjuangan kelas pekerja yang diakui negara.(*)
BACA JUGA: Daftar yang Diusulkan Dapat Gelar Pahlawan Nasional pada 2025?