PAPUA — Papua menyimpan sejuta pesona. Selain kekayaan dan keindahan alam serta keanekaragaman hayati yang melimpah, pulau Cendrawasih ini juga memiliki kebudayaan yang eksotis. Laman resmi provinsi Papua menyebut terdapat 255 suku asli yang tinggal di provinsi beribu kota Jayapura tersebut.
Dari sekian banyak suku tersebut, Asmat adalah suku dengan jumlah anggota terbesar. Selain nama suku, Asmat sendiri merupakan nama salah satu kabupaten di provinsi Papua. Dulunya, kabupaten dengan luas wilayah 23.746 km2 ini merupakan bagian dari kabupaten Marauke.
Suku Asmat dikenal dengan karya seni kriyanya yang mendunia. Salah satu yang masyhur adalah Mbis. Infobudaya.net menyebut Mbis adalah patung berbahan kayu bakau. Sebelum dan saat menebang pohon, para pria suku Asmat biasanya melakukan tarian tertentu sebagai bagian dari ritual pembuatan patung.
Setelah pohon ditebang, kayu dibersihkan dari ranting-ranting dan dikupas kulitnya. Batang pohon tersebut lantas dilumuri suatu cairan khusus berwarna merah. Setelah semua ritual di hutan tempat menebang kayu beres, barulah kayu tersebut dibawa ke desa. Di sana, rombongan penebang kayu akan disambut sedemikian rupa bak pahlawan yang pulang dari medang perang.
Kemudian, kayu akan diserahkan kepada wow ipits untuk dipahat oleh. wow ipits adalah sebutan bagi orang yang memiliki keahlian memahat patung di Asmat. Bentuk patung ini tidak dipahat berdasarkan sketsa melainkan berdasar pada semacam ilham atau wangsit. Setelah jadi, patung ini akhirnya akan disimpan di lumpur di dalam hutan agar roh yang orang yang meninggal “mendiami” patung tersebut dan menjaga hutan adat Asmat.
Sebelum diperjualbelikan seperti sekarang, Mbis dibuat khusus untuk orang yang sudah meninggal. Tidak semua yang meninggal dibuatkan patung eksotis ini. Hanya orang-orang khusus yang datang dalam mimpi yang dibuatkan Mbis.
Data dari Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudaaan (Kemendikbud) RI, menyebut bahwa patung setinggi 3 – 5 meter ini kini banyak diduplikasi oleh orang luar Asmat dan diperjualbelikan di Yogya, Bali, dan Jepara. Di marketplace Bukalapak, misalnya, patung sejenis ini dijual dengan harga Rp1.500.000 oleh pelalapak Mardani Store asal Garut.
Dalam kebudayaan tradisional, benda-benda seni tak hanya dibuat untuk kebutuhan praktis atau estetis belaka. Selalu ada kisah dan nilai filosofis dibalik sebuah karya seni. Demikian pula Mbis.
Koentjaraningrat (dalam Jacob Sumardjo, 2014: 122) menyebutkan bahwa patung Mbis berkaitan erat dengan mitologi suku Asmat tentang asal usul mereka. Disebutkan bahwa zaman dahulu kala ada entitas bernama Fermuripits yang berasal dari langit. Dalam sumber lain, ia dikatakan seorang dewa.
Fermuripits turun ke bumi ke sebuah puncak pegunungan. Dari tempat itu ia mengarungi sungai menuju hilir menggunakan perahu sampan. Di tengah jalan, ia diserang oleh seekor buaya raksasa. Mereka berdua berkelahi hebat. Sang buaya kalah dan mati. Sedang Fermuripits terluka parah dan tak sadarkan diri. Sumber lain menyebut ia mati.
Karena tak sadarkan diri, ia terbawa arus hingga ke hilir dan terdampar di tepi sungai Asewets di desa Syuru. Tiba-tiba datanglah seekor burung Flamingo (sumber lainnya tak spesifik menyebut jumlah dan jenis burung). Dengan kekuataan gaib, burung itu menyembuhkan Fermuripits.
Sang burung kembali ke langit sedang Fermuripits membangun jew, rumah bujang khas suku Asmat. Karena merasa kesepian, ia lantas mengukir dua batang kayu menyerupai manusia, laki-laki dan perempuan. Setelah menciptakan tifa (alat musik tabuh khas Papua), ia menari-nari sambil berteriak-teriak. Secara ajaib, dua patung tersebut berubah menjadi manusia sungguhan.
Dua manusia ini lantas beranak pinak. Keturunan mereka inilah yang kemudian menjadi suku Asmat. Sumber lain mengatakan setelah membuat dua manusia pertama, Fermuripits berjalan menyusuri pesisir selatan Papua. Tiap tiba di tempat baru, ia melakukan hal yang sama: membuat jew, patung, dan menari, kemudian jadilah manusia.
Dari mitologi ini, Jacob Sumardjo (2014: 122) menyimpulkan bahwa kebudayaan Asmat tergolong kebudayaan berpola dua. Dalam kisah Fermuripits terdapat (serba) dua hal yang paradoks. Misalnya, Fermuripits adalah dewa (langit) namun kalah oleh buaya (bumi). Namun, ia “dihidupkan” kembali oleh burung (langit). Dari “mati” hidup kembali.
Meski dari langit, namun ia menciptakan manusia dari kayu (bumi). Sebelum menghidupkan manusia, ada tragedi kematian buaya dan “kematian” (kekalahan/terluka parah) yang dialami Fermuripits sendiri. Agar ada kehidupan, harus ada kematian. Ini yang mendasari praktik-praktik pengorbanan mahluk hidup dalam suatu ritual.
Pola dua ini pun terdapat dalam semua produk budaya suku Asmat. Hal ini lebih mudah dikenali dalam tinggal budaya yang tergolong Warisan Budaya Benda (WBB) atau tangible heritage seperti pada patung Mbis atau motif gambar khas Asmat seperti pada perisai atau benda lain.