Kami yang tidak hobi memelihara ikan memilih toples penuh durian segar untuk dibawa ke Jakarta. Pihak Thailand tidak masalah buah-buahannya jadi oleh-oleh, tapi orang Singapura yang harus diwaspadai. Dengan deg-degan saya dan seorang teman sengaja berjarak saat di bandara maupun di pesawat agar konsentrasi bau durian terpecah.
Oleh : Yudanto Hendratmoko
JERNIH– Akhir tahun 2001 (1422 H) bertepatan dengan bulan Ramadhan. Pada saat itu saya dapat tugas perjalanan dinas ke Bangkok, Thailand. Setelah transit di Singapura, perjalanan di siang hari itu berujung di Bangkok sekitar sore hari.
Sesampai di full serviced apartment, segera saya berbuka dengan segelas air. Tidak ingat makanan kecilnya apa. Malam hari saya ke luar dengan teman-teman mencari makanan, ternyata yang saya alami ialah susah mencari makanan halal. Di kota ini secara default makanan cemilan, gorengan, resto, kafe, warung tenda menyediakan menu babi atau menggunakan minyak babi.
Untung ada teman seiring yang sudah beberapa kali ke Thailand dan tahu cara memilih makanan. Salah satu caranya adalah mencari warung seafood yang hanya merebus, bukan menggoreng. Beruntung juga ada teman lain yang jago masak dan bisa membedakan minyak babi dengan minyak goreng biasa, selain mengenal dari bau makanan dan penampakannya.
Selesai makan malam, sebelum balik ke apartemen, kami yang Muslim harus beli makanan bungkus untuk sahur. Pilih-pilih lagi kalau ingin variasi dari makan malamnya. Kegiatan itu kami lakukan hampir tiap hari kalau tidak sempat membungkus makanan dari kantin tempat proyek yang punya risiko sama. Kami harus hati-hati memilih makanan halal dari non-halal.
Tim mendapat jatah pulang ke Indonesia dua minggu sekali. Jadi kami punya satu kali akhir minggu yang dihabiskan di Bangkok sebelum pulang ke Indonesia. Di akhir pekan itu beberapa orang merencanakan ke Grand Palace, objek wisata berupa istana kerajaan lama.
Di akhir pekan jadilah tiga orang konsultan Indonesia jalan-jalan ke istana dan hanya saya yang berpuasa. Keliling istana yang lebih mirip museum kerajaan tua itu ternyata cukup jauh dengan berjalan kaki, berjam-jam, diselingi istirahat tentu saja. Kala itu matahari cukup terik dan udara panas. Sore hari kami pulang, tentu saja harus membeli dan bungkus makan malam (dan sahur untuk saya).
Selain makanan, tantangan lain adalah tempat shalat dan masjid untuk jumatan. Di hari kerja, kami diberi kamar yang kebetulan kosong dan diberi alas koran. Untuk jumatan, karena lokasi proyek agak ke luar kota, jauh dari lokasi masjid dan tidak ada info, terpaksa kami ganti dengan shalat zuhur biasa.
Yang mendebarkan adalah pulang tiap dua minggu sekali. Karena harga ikan hias murah di Bangkok, ada teman yang coba membawa pulang ke Jakarta. Lolos di Bandara Don Muang Bangkok, ikan itu ternyata harus dilepas dan menetap di Singapura karena distop saat Custom Clearance (proses administrasi pengiriman maupun pengeluaran barang). Bye-bye fish…
Kami yang tidak hobi memelihara ikan memilih toples penuh durian segar untuk dibawa ke Jakarta. Pihak Thailand tidak masalah buah-buahannya jadi oleh-oleh, tapi orang Singapura yang harus diwaspadai. Dengan deg-degan saya dan seorang teman sengaja berjarak saat di bandara maupun di pesawat agar konsentrasi bau durian terpecah. Selamatlah durian oleh-oleh tersebut sampai rumah dengan bau tetap menyengat! [ ]
Tulisan ini merupakan buah karya peserta program pelatihan menulis Salman Moving Class yang dikelola Yayasan Salman Mahir Cerdas.”