Site icon Jernih.co

Menelusuri Jejak Ki Gedeng Kasmaya di Carbon Girang

Batu Prahu di Situs Cimandung (foto Pandu Radea/Jernih)

Jernih — Siang beranjak sore ketika tiba di situs Keramat Cimandung, Desa Krandan, Kecamatan Talun Kabupaten Cirebon. Waktu menunjukan pukul 15.34 sore. Kadari asyik menyaksikan para pekerja yang sedang menyelesaikan pembangunan gapura di depan situs Cimandung.

“Ini situs keramat yang ada kaitanya dengan kerajaan Galuh,” katanya sambil mempersilakan masuk ruang pertemuan. Kadari adalah kerabat Ibu Satimi, juru kunci situs Cimandung.

Dengan gamblang Kadari menceritakan sejarah yang dia ketahui tentang keberadaan situs Mbah Kuwu. Menurutnya, lokasi tersebut pernah dimanfaatkan oleh Ki Gede Alang-alang dan Cakrabuana. Gunung Cimandung diyakini Kadari sebagai istana kerajaan.

Banyak masyarakat yang jiarah, secara spiritual melihat bangunan keraton. Padahal kondisinya hutan belantara. Di lokasi gunung yang luasnya mencapai 20 hektar itu juga terdapat sembilan mata air dan empat buah batu besar yang disakralkan.

Sembilan mata air tersebut diantaranya Mata air Cirebon (Banyu Cirebon Kauripan), Pancuran Mas atau air kejayaan, Balong Panganten, Sumur Pakungwati, Sumur Jago, Panggupakan (buat mandi kerbau bule) Sumur Kedung Kencana Wungu, Sumur Sekar Pandan dan Sumur Jaka Tawa.

Masing-masing sumur memiliki khasiat masing-masing dan posisinya berpencar. Khusus untuk sumur Pancuran Mas atau air Kejayaan banyak dimanfaatkan untuk mendapat berkah dan menghilangkan segala penyakit termasuk penyakit guna-guna.

Posisi sumur ini berada paling bawah dan tidak sembarangan orang bisa masuk harus seijin sang kuncen karena berada di dalam ruangan, menyatu dengan Batu Lumbung Grobog. Sedangkan Sumur Panganten memiliki khasiat untuk pengasihan terutama yang ingin memiliki jodoh, lokasinya tidak jauh dari lokasi Sumur Pancuran Mas.

Batu-batu yang disakralkan disebut dengan Batu Lumbung Grobog (Batu Gudang) Batu Pedadaran, Batu Perahu dan Batu Gajah. Batu Lumbung Grobog atau Batu Gudang diyakini warga adalah batu tempat penyimpanan pusaka keraton atau gudang keraton.

Konon Goong Sekati, Gamelan Renteng dan Gamelan Wayang juga tersimpan di lokasi tersebut. Banyak penjiarah yang sering mendengar suara gamelan berbunyi dari lokasi itu.

Menurut kisah setempat saat pihak Kerajaan Cirebon hendak menabuh gamelan saat perayaan yang dilakukan tanggal 8 mulud selalu mendengar suara goong di lokasi tersebut terlebih dahulu.

“Tiap tahun goong ini berbuny pas sebelum di Keraton menanbuh Goong. Suaranya sangat khas sampai menyayat hati,” kata Juru Kunci Ibu Satimi berbisik.

Tidak jauh dari Batu Gudang terdapat sebuah batu yang dibungkus kain putih. Posisi batu itu menghadap kiblat dan pas buat senderan. Konon batu itu sering dimanfaatkan oleh Mbah Kuwu untuk berwirid atau bermunajat kepada tuhan.

“Saya sering melihat laki-laki yang wirid di batu ini, Ia mengaku Mbah Kuwu,” katanya lagi.

Sekitar 50 meter di atas batu Lumbung Grobog terdapat Batu Pedadaran yang berada di tengah pelataran yang datar. Batu itu pada Jaman Ki Ageng Kasmaya sering dimanfaatkan untuk tirakat. Sedikit arah timur terdapat sebuah batu mirip kepala gajah. Masyarakat mengenalnya dengan sebutan batu Gajah. Lokasi tersebut sering digunakan kaum brahmana pada masa sebelum Islam untuk bertapa dan mencari wangsit.

Berjalan kira-kira 20 meter menelusuri sungai Cibening akan menemukan batu besar mirip perahu bagian depan. Warga pun memberi nama batu itu sebagai Batu Perahu. Kisah mistis Batu Prahu sering dimanfaatkan “eunterup” burung Garuda dan Naga. Bahkan sering ditemukan orang dengan tubuh tinggi besar.

Persis dibelakang gunung yang kondisinya mulai tergerus oleh perluasan lahan pertanian terdapat setu atau Situ Purwadadi yang airnya berasal dari lliran sungai Cibening sendiri sampai ke lokasi Keraton Cirebon dan Gunungjati.

Seratus meter dari lokasi situs keramat Mbah Kuwu masih dikaki Gunung Cangak terdapat kolam kuna yang diberi nama Balong Biru yang airnya berwarna biru. Nama itu disematkan Sultan Cirebon tahun 2003.

“Awalnya Balong Parawali, namun di Ganti dengan Balong Biru, dengan artian jangan keliru yang lima waktu,” kata Karmita (55) juru Kunci Balong Biru.

Lokasi tersebut kini dikenal dengan situs Pesanggrahan Balong Biru Gunung Cangak. Kesitimewaan balong biru memiliki sudut balong yang jumlahnya sembilan. Sejak dulu sampai sekarang masih terjaga keasliannya.

Balong Biru disebut juga Balong para wali, karena pada jaman dulu lokasi itu sering digunakan mandi para wali terutama Mbah Kuwu atau Pangeran Cakrabuana. Bahkan Jimat Keraton Cirebon sering dicuci di balong biru itu. Namun saat ini ritual tersebut sudah lama tidak dilakukan, paling hanya mengambil airnya saja untuk mencuci pusaka keraton.

Diakui Karmita yang merupakan juru kunci ke 22,  di lokasi tersebut tidak ada lagi daerah yang dikenal dengan sebutan Cirebon Girang selain lokasi itu. Hanya saja Ia mengaku tidak tahu persis siapa yang pertama kali menempati lokasi itu.

Sedangkan menurut Ibu Satini, yang masih bersaudara dengan Karmita mengaku pernah mendengar nama Ki Ageng Kasmaya dari cerita leluhurnya. Ki Ageng Kasmaya atau Giridewata pernah memerintah di Cirebon Girang.

Ki Ageng Kasmaya menjadi raja kecil dibawah kekuasaan Galuh saat ayahnya yang bernama Mangkubumi Bunisora Suradipati menjabat sebagai Raja Sunda Galuh di Kawali, menggantikan Prabu Linggabuana yang meninggal di Bubat . Jabatan itu untuk mewakili pewaris takhta yang sah, yaitu putra Prabu Linggabuana bernama Niskala Wastu Kancana yang saat itu masih berusia 9 tahun.

Ki Ageng Kasmaya diangkat sebagai penguasa Cirebon Girang dan menjadikan lokasi Gunung Cimandang atau Gunung Cangak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Lokasi itu ditunjang dengan bentang alam yang subur dan nyaman untuk pusat pemerintahan.

Cerbon Girang merupakan kelanjutan dari kerajaan Indraprahasta dan Wanagiri. Dari pernikahan Ki Ageng Kasmaya dengan putri Prabu Ganggapermana, penguasa Wanagiri, maka lahirlah Ki Gedeng Cerbon Girang. Maka sekitar tahun 1445 M, wilayah Wanagiri bernama Cerbon Girang.

Setelah Pangeran Cakrabuana menjadi kuwu Cerbon menggantikan mertuanya, yaitu Ki Danusela, Cerbon Girang berada dibawah kekuasaan Pangeran Cakrabuana. Hal itu dapat dimengerti karena Ki Gedeng Carbon Girang adalah mertua Ki Danusela. Putra Ki Ageng Kasmaya lainnya selain Ki Gedeng Carbon Girang yaitu Ki Gedeng Sanggarung, Indang Sakati, Lara Ruda dan Ratna Kranjang.

Ki Gedeng Kasmaya adalah putra tertua Mangkubumi Bunisora Suradipati yang berkuasa di Kerajaan Sunda Galuh Kawali tahun 1357-1371 Masehi. Ia memiliki 3 orang adik, yaitu Bratalegawa (haji pertama di tanah Sunda), Ratu Banawati (ratu di wilayah Galuh) dan Dewi Mayangsari yang kemudian diperistri oleh Prabu Niskala Wastu Kancana.

Exit mobile version