Mengenang Jakob Oetama dan Kompas itu seperti membaca satu bab pertumbuhan Indonesia. Itu momen ketika koran cetak dan buku cetak menjadi raja.
Oleh : Denny JA
JERNIH– Walau Jakob Oetama tumbuh sebagai raksasa media. Walau Ia juga tumbuh sebagai pengusaha besar. Tapi sejak awal, hati Jakob Oetama adalah hati seorang guru.
Ia ingin ikut membimbing, ikut membina tumbuhnya anak anak muda, yang pro- keberagaman. Yang pro- demokrasi.
Mendengar wafatnya Jakob Oetama, memori saya melayang ke belakang, tahun 80-an. Perjumpaan saya dengan Jakob Oetama ikut mempengaruhi jalan hidup saya.
Di tahun 80-an, di usia mahasiswa, tak ada yang lebih membanggakan saya dibandingkan tulisan saya dimuat di Kompas. Sangat jarang mahasiswa yang tulisannya dimuat dalam halaman opini Kompas.
Yang tak kalah menyenangkan adalah momen ketika mengambil honor tulisan. Itu era ketika saya menopang hidup sebagai mahasiswa, ikut membayar uang kuliah saya di UI dengan menjadi kolomnis.
Sejak era mahasiswa menulis bagi saya juga itu cara untuk membiayai hidup. Saya menulis di banyak koran. Namun dimuat di Kompas adalah puncak kebanggaan saya selaku penulis di era mahasiswa.
-000-
Dalam satu momen mengambil honor di Kompas, sekitar ujung tahun delapan puluhan, di kantor Kompas, tak sengaja saya berjumpa Jakob Oetama.
Dengan ramah, Ia menyapa dan mengajak saya berbicara ke ruangannya. Jakob membesarkan hati saya. Ia memuji. Ia memberi jalan. Ia memberi wejangan.
Sejak jumpa fisik pertama, mendengar wejangannya, terasa oleh saya, Jakob Oetama memiliki hati seorang guru.
Ia tak hanya mampu membangkitkan hati saya untuk terus menulis. Ia juga ikut mencari cara agar saya tumbuh sebagai penulis, intelektual, aktivis, pemimpin.
“Coba Denny kumpulkan anak anak muda. Buat diskusi di Kompas, bulanan. Rumuskan topik diskusi yang memberikan inspirasi. Soal demokrasi. Soal keberagaman. Tapi kita pilih isu yang hati- hati.”
Pak Jakob lalu menunjuk St. Sularto dan Richard Bagun, untuk saya kontak selanjutnya.
Secepatnya otak saya bekerja. Saat itu di tahun 80an, saya sudah banyak diberitakan mempopulerkan jalan lain aktivis mahasiswa; kelompok studi.
Saya menulis khusus di Kompas, mengapa di era Suharto sangat berkuasa, kelompok studi mahasiswa, jalan intelektual, jalan politik konseptual menjadi pilihan aktivis mahasiswa. Mewujukan tawaran Pak Jakob, Saya pun menyatukan tiga lembaga untuk bekerjasama: Kompas, Paramadina dan LP3ES. Saya jumpai Nurcholish Madjid dan Oetoma Dananjaya (Paramadina), juga Aswab Mahasin (LP3ES). Mereka pucuk pimpinan tiga lembaga.
Para pimpinan itu sepakat. Dibentuklah Forum Indonesia Muda, kerja sama Kompas, Paramadina dan LP3ES. Saya ditunjuk menjadi pemimpinnya. Saya menentukan topik diskusi dan pembicara, termasuk pihak yang diundang, bersama St.Sularto dan Richard Bagun.
Betapa senangnya saya. Setiap bulan di Kompas diadakan diskusi. Berbagai aktivis muda, kadang dari luar kota, diundang ke sana. Setiap bulan pula, berita diskusi Forum Indonesa Muda acapkali dimuat di halaman satu.
Ketika menghadapi Pilkada Jakarta, tahun 2017, Anies Baswedan sempat bercerita. “Bro Denny, waktu era mahasiswa, saya bangga sekali bro undang ke acara Forum Indonesia Muda, di Kompas.”
“Maklum bro, saya merasa dari daerah, di Jogjakarta. Dapat undangan dari pusat, di Kompas pula. Saya ingat, betapa bangganya saya naik kereta ke Jakarta.”
-000-
Dalam beberapa kali jumpa, Pak Jakob Oetama sangat senang dengan perkembangan Forum Indonesia Muda.
Tapi saya saat itu harus melanjutkan sekolah ke Amerika Serikat. Untuk S2, saya mendapatkan beasiswa penuh dari OTO Bappenas. Tapi untuk S3, saya hanya dapatkan beasiswa bebas uang kuliah.
Untuk setahun pertama, saya harus mencari sendiri biaya hidup. Di tahun berikutnya, sekolah akan mencarikan pekerjaan untuk saya.
Momen itulah saya rasakan sentuhan kedua Jakob Oetama. Kembali saya memgunjungi Pak Jakob. Saya ceritakan apa yang ingin saya raih. Juga kendala yang ada.
Pak Jakob mendorong saya untuk sekolah setinggi mungkin. Pak Jakob bertanya, berapa biaya hidup setahun di sana.
Biaya sekolah tahun pertama saya Ph.D di Ohio State University, Amerika Serikat, diberikan oleh Jakob Oetama. Pesan pak Jakob, bawalah sesuatu yang baru dari sana. Gali apa yang bisa dibawa pulang.
Ketika saya pulang dari Amerika Serikat, membawa profesi baru konsultan politik, saya sempat jumpa pak Jakob. Saya kisahkan apa yang kini saya kerjakan.
Ujar saya, “Sesuai pesan Pak Jakob, bawalah sesuatu yang baru ke Indonesia. Ini pak Jakob. Saya bawa profesi baru ke Indonesia: konsultan politik. Ia mengawinkan politik praktis dan ilmu pengetahuan.”
Pak Jakob senang. Tapi spiritnya sebagai seorang guru terasa. Ia kembali memberi nasehat. Tumbuhkanlah demokrasi. Hati hati jangan sampai pula konsultan politik itu menjadikan politik sebagai komoditas.
-000-
Mengenang Jakob Oetama dan Kompas itu seperti membaca satu bab pertumbuhan Indonesia. Itu momen ketika koran cetak dan buku cetak menjadi raja.
Dari tangan Jakob Oetama yang dingin, baik Kompas ataupun Gramedia menjadi raksasa dan raja peradaban cetak.
Namun zaman kini berubah. Kultur Internet of Everything pelan tapi pasti membunuh peradaban cetak. Washington Post tahun 2018 menurunkan tulisan. “Bersiaplah menghadapi dunia tanpa koran cetak”.
Berita bertukar setiap detik. Koran cetak hanya mampu menukar berita per hari. Berita online banyak yang gratis. Koran cetak memerlukan kertas dan distribusi. Sulit menggratiskan koran cetak. Berita online menggabungkan berita dengan video. Koran cetak hanya mampu menampilkan teks dan foto.
Dengan perubahan di atas, pelan tapi pasti, koran cetak surut. Juga toko buku Gramedia surut. Peradaban online: berita online, e-book datang menjadi zaman baru.
Peran Jakob Oetama di ruang publik Indonesia juga meredup bersama dengan redupnya peradaban cetak.
Namun bagi yang pernah berhubungan personal dengan Jakob Oetama, sosoknya terus hidup.
Saya pribadi selalu mengingat pak Jakob sebagai guru. Memang sebelum Ia berkiprah di dunia media dan bisnis, Pak Jokob Oetama seorang guru. Ia pernah mengajar sebagai guru SMP Mardiyuana di Cipanas (1952-53), Guru SMP Van Lith, Jakarta (1954-56).
Selamat jalan pak Jakob Oetama. Selamat jalan, Sang Guru. Selamat Jalan, Guruku. [ ]
September 2020